Thursday, March 13, 2025

Medsos itu Candu

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Urusan bermain media sosial (medsos) bukanlah urusan kecil. Sampai Presiden Prabowo Subianto telah memberi lampu hijau pada rencana pembatasan penggunaan medsos. Sementara itu pemerintah Australia telah lebih dulu mengeluarkan aturan pembatasan usia dalam bermedsos. Usulan pembatasan ini menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan orang tua, anak-anak, pemerhati, lembaga pendidikan, dan para pecandu medsos.

          Ide pembatasan bermain medsos ini sangat beralasan mengingat tak sedikit, terutama anak-anak, yang tak bisa lepas dari penetrasi medsos. Kehadiran medsos telah banyak menyita perhatian para penggunannya. Medsos telah menjadi sumber informasi utama bagi kebanyakan masyarakat Indonesia. Sementara belum semua pengguna media ini yang punya kemampuan melek media (media literacy) sehingga tak jarang mereka terkena dampak buruknya.

-Advertisement- Satu Harga Tiga Media

          Tak jarang kita lihat anak-anak, remaja, dan para orang tua yang sibuk dengan aneka gadget-nya masing-masing asyik bermain medsos. Aktivitas seperti berselancar (scrolling), mengunggah, mengunduh, menyematkan like, emoticon, share, dan comment menjadi kesibukan yang menyita waktu. Belum lagi para pengguna medsos yang harus meladeni para pemilik akun yang sering “mengemis” subscribe demi monetisasi konten mereka.

Candu Medsos

          Indonesia kini sudah menjadi negara yang menduduki peringkat satu dunia kecanduan medsos. Merujuk laporan State of Mobile 2024, menyebutkan masyarakat Indonesia menghabiskan waktu terbanyak di dunia untuk menatap layar smartphone. Lebih dari seperempat hari atau sekitar 6,05 jam dihabiskan dengan gawai. Sementara Thailand di peringkat kedua, yang menggunakan ponsel selama 5,64 jam per hari dan Argentina 5,33 jam per hari.

          Candu medsos bisa terlihat dari banyaknya orang yang terjangkiti budaya scrooling. Budaya menggulir layar gadget telah mengubah gaya komunikasi manusia di internet. Kini pesan-pesan komunikasi harus singkat, menarik, dan seringkali disertai dengan gambar atau video untuk menarik perhatian. Situasi ini telah mengubah cara individu, organisasi, dan institusi berkomunikasi dan berinteraksi dalam dunia digital.

          Tak jarang pengguna medsos telah berusaha menjauh dari medsos namun gagal. Kecanduan medsos sulit diobati karena di medsos ada yang disebut algoritma. Algoritma medsos mampu membuat personalisasi sajian konten yang sesuai dengan apa yang disuka, dilihat lebih lama, dan komentar yang lebih banyak dari penggunan medsos. Hal ini terkait dengan pembentukan ruang atau isolasi topik dan isu tertentu pada konten yang akan muncul di internet dan medsos yang individu miliki (filter bubble) dan efek gema (echo chamber effect) medsos.

          Sejumlah riset telah dilakukan tentang candu medsos yang dampaknya serupa dengan kecanduan narkoba. Candu medsos setara kokain seperti dilansir laman Addiction Center. Penelitian terkini menemukan bahwa dampaknya pada otak dapat mirip dengan efek narkoba. Beragam platform medsos seperti Facebook (meta), Instagram, Twitter (X), TikTok, YouTube, Snapchat, dan Instagram mampu memicu hormon kesenangan (dopamine). Dopamine ini bisa jadi candu yang minta terus dipenuhi. 

Detok Medsos

          Mengingat angka kecanduan pada medsos yang sangat tinggi maka upaya mengurangi (detok) penggunaan medsos perlu dilakukan. Upaya pengurangan bisa melalui regulasi pemerintah lewat aturan dan pembatasan penggunaan medsos. Namun yang lebih penting adalah cara detok medsos yang perlu dilakukan oleh masing-masing pribadi dan di lingkungan keluarga.

          Detok ini perlu dilakukan dengan dukungan semua pihak. Tak bisa anak-anak dilarang bermain medsos sementara ibu, bapak, atau anggota keluarga yang lain terlihat masih tak bisa lepas dari gadget-nya. Tak efektif kalau para orang tua hanya melarang anaknya bermedsos, sementara mereka sendiri masih terlihat oleh anak-anaknya selalu sibuk menatap layar smartphone guna bermain medsos.

          Detok medsos perlu dilakukan dengan menekan kebiasaan scrolling. Scrolling adalah tindakan menggeser konten secara vertikal atau horizontal untuk menampilkan informasi. Tak jarang pengguna medsos punya kebiasaan mendapatkan informasi secara instan, cepat, dan tanpa usaha besar. Mereka lebih suka scrolling guna menemukan beragam informasi secara acak, namun tetap menarik.

          Upaya detok medsos sangat urgen mengingat medsos telah mengubah cara orang berkomunikasi, berpikir, dan merasakan kehidupan. Kecemasan, perbandingan diri, tekanan untuk selalu terlihat sempurna menjadi bagian yang tak terpisahkan dari realitas generasi saat ini. Setiap like, komentar, dan share seolah menjadi validator eksistensi, membentuk konsep diri yang rapuh dan sangat bergantung pada pengakuan orang dari dunia maya.

          Bill Gates, pendiri Microsoft sekaligus tokoh teknologi dunia menyatakan bahwa anak-anaknya tak diizinkan memiliki ponsel sendiri hingga berusia 14 tahun. Ia juga menetapkan waktu bermain gadget dan tak memperbolehkan anaknya membawa ponsel di meja makan. Ia memperbolehkan penggunaan gadget untuk belajar bukan bermain medsos. Gates percaya bahwa menunda pemberian ponsel kepada anak-anak dapat membantu mereka lebih aktif mengembangkan keterampilan sosial dan akademis tanpa terdistraksi gadget.

          Saat ini Indonesia telah disebut sebagai “the Social Media Capital of the World. Ini bukanlah prestasi yang seratus persen positif. Justru dampak buruk medsos yang ternyata lebih dominan alih-alih manfaat positifnya. Terutama bagi anak-anak dan remaja, usulan pengaturan dan pembatasan bermedsos sangat penting dengan tetap menimbang untung ruginya.(*)

-Advertisement-

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img