Kota Malang sebagai Center of Halal Tourism sesungguhnya telah lama digaungkan.Pertanyaannya, apakah visi ini telah berjalan dengan stabil dan benar-benar efektif untuk menarik minat para pelancong?
Tantangan sebagai Wisata Halal
Konsep kota wisata halal sendiri sesungguhnya merujuk pada satu kesatuan area yang menawarkan lokasi menginap, akses makanan-minuman, rumah ibadah, tempat belanja, dan juga komunitas yang aman dan telah teregulasi halal dengan baik.
Target dari kota wisata halal sendiri tentu adanya pemasukan dan aktifnya daya jual-beli masyarakat atas semua unit bisnis yang terdaftar pada satu kesatuan kota wisata tersebut. Pada konsep tersebut, jika melihat dari sumber daya Kota Malang, pastinya yang menjadi ujung penggerak adalah para pelaku bisnis UMKM.
Pada Jurnal “Halal Certification Awareness Perceptions in Indonesian Food SMEs: An Investigation on Understanding, Knowledge, Impact, and Regulations (2024)” dilaporkan bahwa tingkat kesadaran pelaku UMKM terhadap halal telah tinggi. Presentasi rendah justru pada tingkat pemahaman akan regulasi halal.
Sesungguhnya pemerintah telah menggandeng beberapa lembaga halal perguruan tinggi di Kota Malang sebagai pendamping halal. Akan tetapi, adanya perubahan dari segi stake holder yang mengurus dan berpengaruh ke alur, serta penggunaan teknologi, dan perubahan jenis regulasi halal menjadi perhatian khusus.
Saat ini, stake holder yang berperan untuk regulasi halal ada tiga yaitu, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). BPJPH untuk administrasi pendaftaran dan me-release sertifikat halal, MUI penetapan fatwa, dan LPH sebagai laboratorium untuk penelusuran produk halal.
Sesungguhnya informasi ini telah tercantum di berbagai media sosial ataupun website resmi dari stake holder tersebut. Akan tetapi tampaknya, kemampuan mengakses teknologi oleh para pelaku UMKM masih menjadi poin untuk diperhatikan.
Kemudian jenis regulasi yaitu sertifikasi halal reguler dan self declare juga menjadi tantangan. Hal ini dikarenakan regulasi self declare belum tersosialisasi secara merata. Hanya beberapa UMKM yang aktif tergabung dalam komunitas bisnis halal yang dapat mengakses informasi ini.
Regulasi self declare sendiri merupakan regulasi alternatif yang bisa diakses para pelaku UMKM dengan tingkat risiko yang rendah dan berbahan yang sudah terjamin kehalalannya. Apa contohnya? Pelaku UMKM seperti kaki lima dengan produk jus buah, dengan bahan dasar buah (halal) dan gula yag digunakan sudah berlogo halal, sudah bisa mengakses regulasi halal dengan self declare.
Alur ini sesuai dengan Keputusan Kepala BPJPH Nomor 33 tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pendamping PPH dalam Penentuan Kewajiban Bersertifikat Halal Bagi Pelaku UMK yang didasarkan atas Pernyataan Pelaku Usaha. Permasalahannya adalah tidak semua pelaku UMKM memiliki wawasan tentang bahan baku dan bagaimana menentukan titik kritis halal.
Mengapa? Perkembangan pengolahan pangan yang luar biasa, membutuhkan wawasan khusus untuk telusur. Seperti halnya gula. Tentu masyarakat akan mengira bahwa gula itu jelas halalnya. Akan tetapi, perkembangan proses pengolahan gula melewati proses pemurnian, membutuhkan bahan tambahan, yang biasanya bisa diambil dari bahan baku enzim dari babi. Lalu bagaimana mengatasi semua? Jawabannya tentu ada pada ilmu pengetahuan.
Bioteknologi dan Halal
Penggunaan enzim dari babi sesungguhnya bagian dari proses aplikasi bioteknologi pada pangan. Bioteknologi sendiri merupakan ilmu sains yang sedang berpacu pesat karena lahir dari multidisiplin dari berbagai bidang ilmu seperti biologi, kimia, informatika, industri, dan lain-lain. Saking pesatnya berkembangnya bioteknologi, saat ini bioteknologi pun sudah terbagi menjadi bioteknologi tradisional dan modern.
Bioteknologi tradisional mengembangkan fitur genetik dan manajemen agronomi untuk hasil pertanian dan juga hewan. Hal ini tampak pada kultur jaringan, inseminasi buatan, vaksin, biokontrol, biofertilizer, pengolahan limbah, breeding tumbuhan dan hewan.
Sedangkan bioteknologi modern telah menggunakan genetically modified (GM) pada tumbuhan, hewan, mikroorganisme untuk memproduksi solusi pertanian yang lebih efektif sebagai alternatif. Bioteknologi modern juga melahirkan riset-riset pengembangan pangan fungsional berbasis genom.
Hubungannya dengan halal? Kunci halal adalah di kemampuan telusur. Proses produksi yang melibatkan banyak bahan baku, untuk saat ini tentu akan membutuhkan daya telusur dengan wawasan bioteknologi yang jelas dan nyata.
Hal ini merujuk pada bagian bahwa halal itu hasil telusur, yang divalidasi dari laboratorium, disahkan dengan fatwa, dan teregulasi dengan sertifikasi halal. Artinya identifikasi halal ya mau tidak mau harus bersinggungan dengan bioteknologi. Secara global hal ini telah terfasilitasi dengan sub bidang yang disebut halal autentikasi.
Bioteknologi-Halal sebagai Investasi
Potensi market menjadikan Kota Malang sebagai center of halal tourism sangat menjanjikan. Namun melalui pemaparan sebelumnya, perlu adanya kesepakatan pola pikir bersama bahwa market adalah hilir sedangkan hulu ada pada ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan dengan konsep bioteknologi-halal adalah investasi. Disebut sebagai investasi karena pada akhirnya juga akan berujung pada benefit. Sosialisasi yang semakin profesional melibatkan hasil publikasi penelitian dan layanan laboratorium autentikasi halal adalah investasi yang rasional.
Hal ini tentu memerlukan sinergi antara pemerintah, akademisi, UMKM, serta masyarakat dalam menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan wisata halal-bioteknologi. Dengan begitu, Kota Malang dapat menjadi pusat riset, produksi, dan pemasaran produk halal berbasis bioteknologi yang berdaya saing tinggi. Belum ada, dan sangat prospek sebagai pioner. Tahun 2025 masih awal, cukup menarik untuk dipertimbangkan secara nyata.(*)