MALANG POSCO MEDIA – Rangkaian Imlek di Kota Malang masih berlanjut. Dua pekan setelah Imlek, pementasan Wayang Potehi kembali hadir untuk menghibur masyarakat dengan cerita-cerita sejarah masa kerajaan dari Tionghoa. Pementasan wayang berbentuk boneka Tionghoa ini dapat disaksikan langsung di Klenteng Eng An Kiong sejak Sabtu (8/2) kemarin, hingga selama kurang lebih satu hingga dua bulan kedepan.
Wayang yang cukup unik yang berasal dari tradisi Tionghoa ini pun menarik perhatian masyarakat luas. Seperti salah satunya Kevin Sugiarto (27) warga Sukun, yang menonton pentas Wayang Potehi, Selasa (11/2) kemarin.
“Sengaja datang kesini karena dikasih tahu Cece (kakak perempuan, red) saya, kalau ada Potehi tiap sore. Ya nostalgia aja. Kebetulan sengaja datang sekarang yang sepi, kalau besok (hari ini, red) biasanya lebih ramai karena ada Cap Go Meh,” ujar Kevin.
Wayang Potehi ini memang biasanya lebih ramai karena sesuai agenda, pada Rabu (12/2) hari ini bakal diadakan acara Cap Go Meh. Dalam acara itu, disiapkan sedikitnya 3.000 porsi lontong Cap Go Meh yang bisa dinikmati masyarakat umum. Ketika Cap Go Meh, salah satu daya tariknya adalah pentas Wayang Potehi.
Pada tahun ini, Wayang Potehi ditampilkan oleh Grup Fu Ho An, dari Jombang. Total ada sebanyak lima orang yang memainkan wayang Tionghoa ini dengan dua di antaranya sebagai dalang. Wayang Potehi kali ini mengangkat judul Yo Bun Kong, dengan cerita sejarah sebuah kerajaan di era Dinasti Sung.
Yakni menceritakan kehebatan Jendral Yo Bun Kong dari kerajaan Song Kio saat memimpin serangan untuk menaklukkan kerajaan La Ban Ko.
“Memang itu sejarah nyata kerajaan dulu di China. Ada sebuah kerajaan kecil yang membangkang untuk melawan kerajaan besar. Kerajaan kecil ini terus diserang sampai takhluk. Kalau menguasai, otomatis tiap tahun mendapatkan upeti dari kerajaan kecil yang ditakhlukkan,” terang Andiyanto, Pemimpin Grup Fu Ho An.
Cerita yang diangkat dalam Wayang Potehi, memang tidak bisa langsung diselesaikan dalam waktu satu kali pementasan. Satu cerita, biasanya membutuhkan waktu beberapa pekan untuk sepenuhnya selesai rangkaian ceritanya. Sementara untuk cerita Yo Bun Kong ini diproyeksikan selesai dalam tiga pekan.
Sama seperti seni budaya wayang Indonesia, Wayang Potehi ini juga punya makna filosofis yang dibawakan tiap kali pementasan.
“Filosofinya, siapa yang berbuat jahat, ada akibatnya. Siapa yang berbuat baik, pasti ada pahalanya. Intinya kehidupan dan sifat manusia di dunia,” tegas Andiyanto.
Terkait animo masyarakat yang menonton Wayang Potehi, diakui Andiyanto sekarang sudah tidak seramai dulu. Rata-rata yang menonton Wayang Potehi ini adalah Umat Tridharma, budayawan dan beberapa kalangan tertentu yang memang menggemari tradisi Tionghoa.
“Anak muda tetap ada, tapi sudah jarang. Mungkin bagi anak-anak sekarang, seni Wayang Potehi ini dianggap sudah kuno. Sama seperti kesenian tradisional lainnya. Tapi kalau yang tua-tua tidak melestarikan, ya bisa hilang,” ucapnya.
Walaupun grupnya ini berasal dari Jombang, Andiyanto sendiri merupakan warga asli Malang. Ia merupakan satu-satunya yang menguasai seni Wayang Potehi di Kota Malang. Tidak hanya di Malang, Andiyanto juga beberapa kali menggelar pentas Wayang Potehi di beberapa daerah untuk menarik lebih banyak animo masyarakat terhadap Wayang Potehi ini.
Bahkan, grup Wayang Potehi yang dipimpinnya ini sudah beberapa kali tampil di luar negari seperti Belanda, Belgia, Jerman hingga Amerika.
“Potehi sekarang mulai sering dipentaskan di mal, di hotel, tempat-tempat keramaian, itu untuk menarik minat masyarakat, terutama anak muda. Generasi muda yang minat, nanti bisa kami ajari bermain agar seni ini biar tetap lestari,” pungkas warga asli Mergosono ini. (ian/van)