Pasangan calon kepala daerah 2025 yang terpilih sudah dilantik presiden, 20 Februari 2025. Setelah itu, paslon akan bekerja menjalankan pemerintahan melalui mesin birokrasi yang sudah tersistem, namun akan bergerak dengan kepemimpinan baru. Kepala daerah bekerja dengan strategi-strategi mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan politik dan melaksanakan kebijakan publik kepada warga. Tidak mudah melaksanakan niat baik ini, maka diperlukan strategi-strategi khusus.
Menurut penulis, beberapa strategi efektif yang bisa ditempuh oleh kepala daerah bisa dijelaskan sebagai berikut. Pertama, Bekerja untuk kesejahteraan rakyat. Kepala daerah bekerja untuk memenuhi kesejahteraan rakyat, hal ini karena warga memiliki kebutuhan dan keinginan yang harus dipenuhi pemerintah.
Pemenuhan kebutuhan diwujudkan melalui perumusan program secara baik dan menyeluruh. Program sebaiknya berbasis data-data lapangan, maka tidak heran begitu dinyatakan terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), tim transisi bekerja menyesuaikan visi misi kepala daerah terpilih dengan birokrasi.
Sejatinya pilkada merupakan kerja politik dengan logika praktis, taken for granted sederhana dan cenderung common sense. Namun dalam pemerintahan pengetahun seperti itu dihindari dengan membuat perencanaan kebijakan baik dalam bentuk RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah). Di sini kepala daerah meminta para politisi di pemenangan dan tim pakar-pakar untuk merumuskan kebijakan tersebut dalam dokumen perencanaan.
Kedua, Memperbaiki Kelemahan Program Sebelumnya. Kepala daerah terpilih sejatinya bukan melakukan pekerjaan awal dalam memimpin birokrasi, tetapi sebenarnya melanjutkan program sebelumnya. Program tersebut ada yang baik dan terus berjalan, ada pula yang kurang bagus, maka bisa murni melanjutkan, atau merevisi bagian-bagian yang tidak penting atau memodifikasinya.
Perbaikan-perbaikan bisa dilakukan pada isi, formulasi dan implementasi serta dampak kebijakan di lapangan. Misalkan, desa wisata. Dari regulasi sudah sangat lengkap, namun di lapangan masih belum efektif, maka evaluasi dibuat dalam produk kebijakan ataukah implementasi atau mindset pelaku.
Ketiga, Membuat Perencanaan dengan Baik. Perencanaan menjadi kewajiban dalam struktur pemerintahan hari ini, maka kebijakan masuk pada perencanaan daerah. Di sinilah perencanaan dibuat dari gagasan besar, kebijakan sampai penganggaran dan OPD yang mengeksekusi. Sinergisitas dibutuhkan karena perencanaan program dibuat dalam aras lokal yang mengacu kepada perencanaan regional dan perencanaan nasional.
Keempat, Tim Handal Implementator Program Kerja. Setelah merumuskan kebijakan dan program selanjutnya dipikirkan tim implementator, baik dari birokrat atau pihak ketiga. Tim terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki visi sama dan di bawah satu komando. Ia bukan “gerombolan” dimana setiap individu memiliki tujuan sendiri, terpisah dan tunduk pada tuannya masing-masing, maka sebisa mungkin tim harus bekerja dalam teamwork. Namun realitas organisasi selama ini tidak sesederhana itu. Penyakit birokrasi adalah ego-sektoral dan egopersonal, maka kerja-kerja lintas dinas yang dikomando kepala daerah menjadi penting.
Kelima, Evaluasi dan Monitoring. Setelah dilakukan formulasi dan implementasi kebijakan, evaluasi menjadi kebutuhan melekat sebab sebaik-baik perencanaan, pastilah melahirkan kelemahan dan keterbatasan yang muncul belakangan. Setiap program mewajibkan tim evaluasi untuk menilai dan merekomendasikan apakah program diteruskan, dimodifikasi atau bahkan dihentikan. Tanpa tim ini, pemerintah selalu menggunakan kaca mata kuda dan mengklaim impelementasi program sudah benar.
Keenam, Mengelola Pekerja Politik. Baik para pekerja politik internal sebagai pendukung dan pekerja politik bukan pendukung pasti mendekat kepada kepala daerah. Pasti terdapat orang yang bekerja pada partai dan aktivis organisasi masyarakat. Hukum pertukaran sosial menyatakan mereka tidak mau bekerja dengan imbalan gratis tetapi minta balasan dari sumberdaya yang dipunyai kepala derah. Tantangan kepala daerah harus merawat relawan-relawan dan politisi yang telah bekerja untuknya.
Ketujuh, Tim Publikasi yang Piawai. Tidak bisa dipungkiri, kerja-kerja kebijakan dan politik pastilah diselipi “pamrih.” Penulis setuju dengan ajaran agama dan adat bahwa bekerja sebaiknya ikhlas, namun naluri manusia mengharapkan pihak penerima kebaikan “tahu” terima kasih. Sayangnya, di era pragmatis ini warga jarang berterima kasih. Selain itu, kegiatan politik memiliki banyak dimensi, dari dimensi idealis sampai praktis.
Bagi kepala daerah, program-program yang berpihak rakyat adalah bagus, tetapi bagi rakyat program tidak penting, yang terpenting uang ketika pencoblosan. Di sini publikasi penting, dengan memanfaatkan hiperealitas, kepala daerah bisa memainkan isu, sehingga program pemerintah menjadi terlihat penting di mata warga, akhirnya jika kepala daerah akan mencalonkan lagi investasi politik masih cukup.
Kedelapan. Komunikasi dengan Legislatif. Kepala daerah harus membangun keseimbangan dengan legislatif sebagai kekuatan penting pada sistem politik. Peran nyata legislatif terletak pada penganggaran (budgetting). Eksekutif tidak bisa memutuskan sendiri penganggaran, tanpa persetujuan legislatif. Persoalannya, rasionalitas legislatif seringkali benturan dengan eksekutif. Rasionalitas eksekutif pada manajemen pengelolaan kegiatan, harus berbenturan dengan legislatif dengan rasionalitas kontrol politik. Di sini pentingnya komunikasi politik dibangun terus. Semoga.(*)