Ramadan satu-satunya bulan yang namanya disebut secara eksplisit dalam al-Qur’an. Tidak ada bulan lain yang namanya disebut seperti Ramadan. Selain itu Ramadan memiliki makna spiritual mendalam, yakni masa penyucian jiwa, peningkatan ketakwaan, bulan turunnya Al-Qur’an, dan memiliki malam Lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan (Quraisy Shihab, 2021).
Al-Qur’an surat al-Baqarah (2):183 menjelaskan bahwa tujuan puasa (Ramadan) adalah “la’allakum tattaquun” (mencapai derajat ketakwaan sejati). Firman tersebut mengilhami segenap umat Islam untuk mengistimewakan Ramadan melebihi bulan-bulan lainnya. Wujud pengistimewaan terhadap bulan Ramadan antara lain rutinitas sehari-hari yang biasanya terfokus pada pemenuhan kebutuhan duniawiyah menurun drastis. Sebaliknya, tempat-tempat ibadah menjadi semarak dan penuh dengan kegiatan keagamaan. Seperti salat tarawih, tadarrus al-Qur’an, ceramah agama, bersedekah atau santunan bagi kaum dhuafa dan lain sebagaimya.
Said Hawa (1987) berpendapat: al-shaumu madrasatun lil mukminin (puasa tempat pendidikan bagi kaum muslimin) konsep ini mempertegas bahwa Islam mewajibkan puasa bagi pemeluknya dengan paradigma baru. Pada masa pra Islam puasa dimaksudkan semata-mata mengurangi makan, minum dan tidur, agar penderitaan yang dialami seseorang segera sirna. Maka Islam menjadikan puasa (Ramadan) sebagai sarana meningkatkan ketakwaan dan kepekaan terhadap signal-signal Ilahiyah agar guratan nafsu duniawiyah dapat diluruskan kembali.
Mencermati bulan Ramadan yang penuh berkah, Ramadan sangat strategis dijadikan momentum untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan. Artinya, kesalehan yang ditampilkan tidak sekadar serimonial tahunan yang bersifat tentatif, melainkan bertahan sampai Ramadan berlalu. Ramadan bukan sebatas ajang penebusan dosa, atau ruang istirahat dari perjalanan panjang berbuat dosa.
Fenomena kesalehan tentatif dalam psikologi agama dikenal dengan sebutan: religious booster effect, yakni fenomena di mana seseorang mengalami lonjakan spiritualitas dalam situasi tertentu, tetapi kembali ke keadaan semula setelah situasi tersebut berakhir.
Janji-janji pahala yang dilipat gandakan selama Ramadan, mendorong kesadaran spiritual masyarakat sehingga antusias untuk berbondong-bondong ke tempat ibadah. Momentum kebangkitan spiritual selama Ramadan telah menjadikan tempat-tempat ibadah yang biasanya sepi menjadi ramai, bersedekah yang sering terlupakan menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari.
Ramadan yang seharusnya memberikan pengalaman autentik dan mendorong setiap individu untuk menjadi lebih saleh masih menghadapi tantangan besar, berupa komitmen mempertahankan kesalehan setelah Ramadan berlalu. Fenomena ini dapat dilihat dari berkurangnya tingkat kehadiran jamaah ke tempat-tempat ibadah, menurunnya intensitas membaca al-Qur’an, bahkan tidak jarang mereka kembali kepada kebiasaan lama yang kurang mencerminkan nilai-nilai Islam
Rasulullah bersabda: “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang dilakukan secara konsisten, meskipun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim). Menunjukkan bahwa kesalehan sejati bukan terletak pada ibadah musiman, melaikan ibadah yang dilaksanakan secara konsisten, bukan tentatif.
Kesalehan tentatif merupakan kesalehan yang bergantung pada situasi dan waktu tertentu, bukan karena kesadaran internal yang mendalam. Banyak individu mengalami peningkatan ibadah hanya karena pengaruh lingkungan dan momentum tertentu, seperti di bulan Ramadan.
Selama Ramadan terdapat sejumlah perintah dan larangan yang harus dikerjakan sekaligus ditinggalkan. Perintah dan larangan tersebut sejatinya sarana instrospeksi tentang semua aktivitas yang telah dilakukan di luar Ramadan. Dengan spirit semacam ini berarti perintah dan larangan selama Ramadan merupakan simbol dalam kehidupan sebenarnya, tepatnya di luar Ramadan-pun larangan dan perintah tersebut tetap ditegakkan.
Menurut Imam al Ghazali (2017), ibadah Ramadan erat kaitannya dengan pendidikan, baik hakikat maupun nilai-nilai pendidikan. Fungsi utama pendidikan untuk menumbuhkan kreativitas peserta didik dan menanamkan nilai-nilai yang baik. Karena itu tujuan akhir pendidikan adalah mengembangkan potensi kreativitas peserta didik agar menjadi manusia yang baik menurut pandangan manusia dan Allah SWT. Dalam ibadah Ramadan (kata al-Ghazali) terkandung nilai-nilai pendidikan untuk menjadi dasar kehidupan manusia. Statmen al-Ghazali tersebut menggambarkan sesungguhnya persoalan pendidikan tidak hanya bertumpu pada persoalan fakta dan kebenaran rasional, melainkan terkait erat dengan masalah penanaman dan penghayatan. Maka, Ramadan tidak hanya dijadikan tempat mencari kenikmatan spiritual terlebih yang bersifat tentatif semata, melainkan sebagai basis pendidikan untuk: Pertama, Mendidik manusia berjiwa sosial tinggi. Kedua, Mendidik manusia bersikap jujur dan amanah. Ketiga, Mendidik manusia hidup sederhana. Keempat, Mendidik manusia bersifat sabar. Kelima, Mendidik manusia mengendalikan hawa nafsu. Hal mana hasil pendidikan yang dimaksud terinternalisasi sampai di luar Ramadan, semoga.(*)