MALANG POSCO MEDIA, MALANG– Hampir separuh abad Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Nurul Huda Mergosono Malang eksis sampai saat ini. Dari waktu ke waktu, pondok pesantren yang didirikan oleh KH. Drs. A. Masduqi Machfudh di Mergosono Gang 3B ini mengalami perkembangan yang positif dan memiliki banyak santri.
Sederet tokoh dan ulama, diketahui belajar di pondok tersebut. Misalnya seperti Alm. KH Chamzawi, atau Dr. KH. Marzuki Mustamar, M.Ag, Prof. Dr. KH. Kasuwi Syaiban, MA. dan lain-lain.
Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Nurul Huda Malang K.H Muhammad Taqiyyuddin Alawiy S.T., M.T sekaligus putra keempat dari KH. Drs. A. Masduqi Machfudh menceritakan, pondok ini telah didirikan sekitar 1977 lalu. Namun sebelumnya sekitar tahun 1960an, sudah dimulai dengan pengajian. “Abah (Masduqi Machfudh) itu kesini sejak 1965an, baru pindah dari Kalimantan. Beliau waktu itu masih kontrak, dan rumah pertama itu disini. Waktu itu belum ada musala, tapi mulai ada mengaji,” urai Gus Taqiyyuddin, sapaan akrabnya.
Di awal menempati rumah di Mergosono itu, ternyata tidak mudah. Betapa tidak, beberapa kali penghuni rumah kontrak sebelumnya tidak pernah betah menghuni rumah tersebut. Sebab, di rumah itu rupanya diketahui ada penunggu ghaibnya yang seringkali mengganggu penghuninya.
Gus Taqiyyuddin bersama ibu dan saudaranya pun beberapa kali merasakan gangguannya. Hingga akhirnya, suatu ketika Kiai Masduqi meminta agar penghuni gaib untuk tidak mengganggu. Singkatnya, karena tidak mau berhenti mengganggu, Kiai Masduqi akhirnya melakukan wirid dan mengusir para jin tersebut.
“Yang punya rumah sampai heran, orang ini kok tahan. Biasanya sebelumnya hanya betah dua bulan, ini sampai setahun lebih,” ucap Gus Taqiyyuddin.
Singkatnya, suatu ketika rumah itu pun dijual, dan kemudian dibeli oleh salah satu murid atau santrinya. Ternyata oleh santrinya itu diberikan kepada Kiai Masduqi. Sejak saat itu, Kiai Masduqi terus mengembangkan pengajiannya hingga resmi menjadi pondok pesantren pada 1977. Karena Kiai Masduqi merupakan dosen di IAIN, santri-santrinya ketika itu, kebanyakan merupakan mahasiswa.
Namun berjalannya waktu, warga sekitar di Kota Malang juga berangsur tertarik belajar kitab di pondok asuhan Kyai Masduqi. Materi yang diajarkan lebih banyak adalah tentang Nahwu Sorof. Kemudian juga ada Tafsir Jalalain dan mengkaji Kitab Bukhori dan lain lain.
Sekitar 1991, Gus Taqiyyuddin bersama adiknya KH. Isroqunnajah membentuk Madrasah Diniyah agar santri-santri bisa terprogram dengan baik. Begitu juga program penghafal Qur’an juga kemudian terbentuk dengan dipimpin oleh istri dari KH. Isroqunnajah. Sejak saat itu, jumlah santri terus bertambah.
“Sekarang sudah 130 lebih, berasal dari Lampung, Riau, Lombok juga ada. Memang kebanyakan mahasiswa. Dulu awalnya banyak Blitar, karena Abah dulu dakwahnya ke Blitar, Nganjuk, makanya banyak santri dari sana,” sebutnya.
Kiai Masduqi sendiri wafat pada 1 Maret 2014 di Malang. Kini diasuh oleh Gus Taqiyyuddin bersama adik-adiknya. Meski sudah satu dekade ditinggalkan oleh pendirinya pemikiran dan prinsip-prinsip Kiai Masduqi tetap diteladani oleh santri-santri, bahkan masyarakat luas.
“Penekanan yang diteladani dari beliau tidak hanya keilmuan, tapi paling pokok adalah Takdib atau pendidikan karakter. Ini tidak diberikan di pendidikan pendidikan formal. Kalau masalah taklim atau transfer ilmu, banyak orang pintar ilmu tapi tidak punya takdib, tidak punya tata krama,” tutupnya. (ian/udi/bersambung)