Thursday, March 6, 2025

Realitas Sampah Makanan dan Ironi Ramadan

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Puasa Ramadan merupakan momen refleksi, pengendalian diri serta solidaritas sosial, di mana kita belajar tentang nilai-nilai kesederhanaan, kesabaran, kejujuran, serta keyakinan akan pahala dan keberkahan.  Sayangnya, tidak semua umat Islam mampu merasakan manfaat dan menginternalisasi kemuliaan Ramadan.           Masih banyak tabiat dan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai puasa, yang bahkan dilakukan di tengah warga masyarakat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, menjalani hidup berhemat, dan penuh kesederhanaan. Seolah menjadi ironi di dalam bulan yang suci ini.

          Contohnya, tanpa kita sadari sepenuhnya, ternyata kita juga turut menyumbang terjadinya peningkatan food waste atau sampah makanan selama bulan puasa. Sampah makanan merupakan jenis sampah terbesar di Indonesia. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2024 (sipsn.menlhk.go.id) mengungkapkan bahwa sampah makanan mencapai hampir setengah dari total sampah yang dihasilkan masyarakat di 192 kabupaten/ kota, yaitu sebanyak 39,23 persen. Mengalahkan gabungan sampah kertas, karton, dan plastik sebesar 30,87 persen. Sampah selama Ramadan, yang didominasi limbah makanan, disebutkan meningkat sekitar 20 persen.

-Advertisement- Pengumuman

Emotional Eating

          Food waste merupakan kehilangan makanan yang terjadi pada saat distribusi dan penjualan retail seperti di supermarket, pasar, dan warung, hingga ke konsumen, baik di tingkat individu, rumah tangga, hotel, sekolah, dan lainnya (Lipinski et al., 2013).

          Mengapa terjadi peningkatan sampah makanan? Salah satu sebab paling umum adalah emotional eating. Yaitu kebiasaan makan yang lebih dipicu oleh faktor emosi, ketimbang rasa lapar secara fisik. Dalam konteks puasa Ramadan, terjadi euforia setelah hampir seharian berpuasa, menahan lapar dari terbit fajar hingga azan Maghrib terdengar, sehingga cenderung mengambil makanan terlalu banyak namun akhirnya tidak habis dikonsumsi.

          Lalu mengapa muncul emotional eating?. Pertama, setelah belasan jam berpuasa, hormon ghrelin atau hormon yang mengendalikan rasa lapar, biasanya meningkat secara signifikan. Ghrelin diproduksi oleh lambung dan dilepaskan saat perut kosong, mengirim sinyal ke otak untuk meningkatkan rasa lapar. Saat mendekati waktu berbuka puasa (break fasting), hormon ghrelin dapat mencapai puncak sehingga terdorong ambil porsi berlebihan tetapi ada sebagian yang terbuang sia-sia.

          Kedua, terjadinya “kalap” makan, terutama saat berbuka puasa di tempat yang berkonsep makan sepuasnya, prasmanan, all you can eat, dan buffet. Bisa terjadi di rumah shohibul bait saat berbuka puasa bersama, atau di restoran dan hotel. Mindset “tidak mau rugi”, membuat orang terlalu banyak mengambil makanan.

          Dalam beberapa kesempatan, penulis menjumpai fakta di akhir acara buka puasa bersama, masih banyak sekali piring makanan yang tampak tidak habis, atau bahkan nyaris masih utuh tidak tersentuh. Sungguh mubazir. Merujuk pada pada perilaku boros, berlebihan, termasuk menyia-nyiakan makanan, sangat dilarang dalam ajaran Al-Quran. Para pemboros adalah saudara setan, yang digambarkan sangat ingkar kepada Tuhannya (QS Al-Isra [17]:26-27).

Makan Berkesadaran

          Banyak cara yang dapat dilakukan oleh umat Islam, agar “lapar mata” saat berbuka puasa tidak berujung pada perbuatan boros yang menjadi sebab tingginya sampah makanan. Pertama, mulailah berbuka dengan air putih dan makanan ringan yang manis namun tinggi serat. Seperti kurma, buah, atau sup hangat, sekadar untuk menstabilkan gula darah sebelum makan besar.

          Hindari langsung mengonsumsi gorengan atau makanan tinggi karbohidrat lainnya yang justru dapat memicu craving atau keinginan makan yang sangat kuat. Hal ini akan mengganggu keseimbangan hormon ghrelin dan hormon leptin, pengatur sinyal rasa kenyang, membuat pola makan tidak terkendali.

          Kedua, hendaknya selalu mengunyah makanan secara perlahan, nikmati dengan penuh kesadaran (mindful eating) untuk meningkatkan sensitivitas terhadap sinyal kenyang. Mindful eating membuat kita mampu lebih mengenali rasa lapar dan kenyang, mencegah makan berlebihan, menghindari distraksi, dan mengontrol porsi.

          Salah satu hikmah mindful eating adalah terjadinya penurunan jumlah kalori. Melanson et al. (2008), menyebutkan bahwa makan perlahan dapat membantu memaksimalkan rasa kenyang dan mengurangi asupan energi dalam makanan. Jeda sejenak di antara gigitan serta mengunyah makanan sebanyak 15-20 kali setiap suapan sebelum menelannya.

          Selain itu, otak manusia membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk mengirim sinyal kenyang, seperti dijelaskan oleh Monroe (2015) dalam artikel bertajuk Mindful Eating: Principles and Practice di  American Journal of Lifestyle Medicine. Kenyang (satiation) merupakan hasil dari mekanisme kompleks faktor fisiologis, kimiawi, dan mekanis dalam proses pra- dan pasca-penyerapan nutrisi.           Semoga kita mampu mengisi Ramadan 1446 H dengan banyak amalan kebaikan, menghindari makan berlebihan dan sampah makanan, sehingga di akhir Ramadan, kita menjadi lebih baik dan bertakwa. Marhaban ya Ramadan! (*)

-Advertisement-

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img