Sebagai fans Manchester United (MU) sejak duduk di bangku TK, melihat klasemen liga Inggris tahun ini cukup membuat stres. Jangankan bersaing meraih juara, sekarang posisi MU malah terancam terdegradasi ke kasta kedua. Namun, performa buruk MU ini masih jauh lebih baik daripada kondisi ‘Liga Korupsi Indonesia’ yang semakin ke sini, semakin memprihatinkan.
Beberapa tahun belakangan, korupsi di Indonesia makin menjadi-jadi. Miliaran hingga triliunan rupiah digerogoti para tikus negara. Tidak hanya satu tikus, tapi ratusan tikus di berbagai tingkatan daerah hingga nasional. Terbaru, korupsi tata kelola minyak di Pertamina terungkap dengan kerugian lebih dari Rp 193,7 triliun.
Kasus ini melejit menjadi peringkat kedua dalam liga korupsi Indonesia. Sementara, tahta klasemen masih dikuasai Korupsi Tata Niaga Timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun pada periode 2015-2022. Kemudian disusul oleh kasus BLBI di posisi ketiga yang terjadi saat krisis moneter 1997 dan merugikan negara sebesar Rp 138 triliun.
Peringkat tiga dan empat berturut-turut diraih oleh kasus Duta Palma yang melakukan penyerobotan lahan di Riau dengan kerugian Rp 78 triliun serta Kasus PT TPPI yang menggerogoti dana senilai Rp 37,8 triliun. Jika kita jumlahkan secara kasar, nilainya bisa mencapai Rp 700 triliun. Sebuah angka yang seharusnya bisa digunakan untuk meningkatkan pendidikan rakyat, kesejahteraan rakyat, penangan stunting, dan lainnya.
Khusus kasus tata kelola minyak Pertamina yang baru saja terkuak, banyak masyarakat yang merasa kecewa dan meluapkannya di media sosial. Rakyat sudah susah payah membeli Pertamax dengan harga tinggi, namun negara seakan mengkhianati rakyatnya dengan adanya dugaan ‘Pertamax oplosan Pertalite’. Kondisi yang sangat cocok dengan peribahasa ‘air susu dibalas air tuba.’
Fenomena korupsi Indonesia ini juga mencederai nilai-nilai Pancasila yang sejatinya menjadi pondasi kebangsaan. Tindakan korupsi menunda atau bahkan menghilangkan nilai kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Menghambat kemajuan bidang pendidikan, ekonomi dan layanan publik. Jika korupsi terus muncul dan merugikan bangsa, lalu untuk apa Pancasila ada?
Mempertimbangkan Pidana Mati
Pasal hukuman mati untuk koruptor dalam Undang-Undang layaknya peribahasa Arab ‘La yahya wa la yamut.’ Tidak hidup dan tidak mati. Ada di dalam peraturan, tapi sukar untuk ditegakkan. Padahal hukuman mati bisa menjadi salah satu alternatif untuk memunculkan efek jera. Paling tidak, para oknum yang berniat untuk melakukan tindakan korupsi dapat mengurungkan niatnya ketika melihat hukuman yang bisa saja menjeratnya.
Sayangnya, ada beberapa hal yang memang menyulitkan hakim dalam menetapkan hukuman mati bagi koruptor. Salah satunya yakni penjelasan kondisi ‘tertentu’ dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam penjelasannya, ‘tertentu’ yakni korupsi dilakukan di situasi bencana alam nasional, krisis ekonomi dan moneter, atau sebagai pengulangan tipikor. Ini menjadi syarat yang harus terpenuhi jika ingin menjatuhkan hukuman mati dan seringkali sulit untuk memenuhinya.
Bahkan ketika korupsi Juliari Batubara di masa Covid-19 terungkap, hukuman mati tetap tidak dijatuhkan. Padahal tindak pidana itu dilakukan saat kondisi krisis. Maka, banyak pakar hukum yang menilai kondisi ‘tertentu’ ini lebih baik dihilangkan dan memudahkan para hakim dalam menjatuhkan pidana mati.
Hal lain yang menghalangi pemberlakukan hukuman mati untuk koruptor di Indonesia adalah hak asasi manusia. Hukuman jenis ini dianggap bertentangan dengan prinsip rehabilitasi dan keadilan restoratif. Sehingga, para pelaku korupsi kerap kali bersembunyi di balik alasan-alasan ini.
Sebagai sarjana hukum sekaligus rakyat yang muak dengan berbagai kabar korupsi di Indonesia, penulis memang ingin pidana mati benar-benar dapat dilakukan. Apalagi Indonesia sudah beberapa kali memberlakukan hukuman mati di sederet kasus. Seperti kasus narkotika Freddy Budiman, kasus terorisme Amrozi, kasus pembunuhan berencana Ryan, dan lainnya.
Sebagai perbandingan, kasus Amrozi telah menewaskan ratusan korban, lalu pada akhirnya dihukum mati. Kemudian, kenapa hukum di Indonesia seakan menghalangi hukuman mati untuk kasus korupsi yang membuat ribuan bahkan jutaan rakyat menderita?
Meski begitu, Indonesia juga harus melihat bagaimana hukuman mati diterapkan di negara lain serta tingkat efektivitasnya. Contohnya Tiongkok yang beberapa kali menghukum koruptornya dengan pidana mati, termasuk Xu Maiyong dan Jiang Renjie pada 2011. Begitupun dengan Iran pada 2018 yang menghukum mati Vahid Mazloumin terkait kasus korupsi. Tetapi, banyak pihak yang melihat bahwa hasilnya tidak begitu signifikan.
Berdasarkan indeks persepsi korupsi (CPI), Tiongkok hanya mampu memperoleh skor 42 dari skala 1-100 pada 2020, di mana skor tinggi menunjukkan tingkat korupsi yang rendah. Hal serupa juga terlihat di CPI Iran yang bahkan hanya mendapat skor 25 dari 100. Nilai ini menunjukkan bahwa korupsi yang terjadi masih tinggi dan hukuman mati belum tentu mampu menurunkan angka kasus yang terjadi.
Situasi sebaliknya malah terjadi pada negara-negara yang tidak menerapkan hukuman mati untuk koruptor. Misalnya Finlandia, Denmark, dan Selandia Baru yang indeks CPI-nya di antara 85-87. Dibanding memberlakukan hukuman mati, negara-negara ini melakukan pendekatan lain seperti peningkatan transparansi, penegakan hukum yang kuat, dan akuntabilitas.
Pada akhirnya, Indonesia harus memilih untuk mempertimbangkan hukuman mati bagi koruptor. Meski di beberapa negara hasilnya tidak memuaskan, namun bukan berarti pilihan hukuman mati dihilangkan. Siapa tahu, hukuman jenis ini manjur dan bisa menekan angka kasus korupsi yang ugal-ugalan.(*)