Idul Fitri merupakan peristiwa religius dan kultural yang memiliki posisi sentral dalam kehidupan umat Muslim, khususnya di Indonesia negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, mencapai lebih dari 237 juta jiwa pada tahun 2023 (BPS, 2023). Hari Raya Idul fitri selalu identik dengan kebersamaan, kebahagiaan, dan tradisi saling memaafkan. Namun di era media sosial, makna Lebaran tak jarang bergeser menjadi ajang pamer dan rasa takut ketinggalan FOMO alias Fear of Missing Out.
Dalam konteks Idul Fitri, FOMO termanifestasi melalui tekanan untuk menampilkan gaya hidup tertentu, membagikan momen kebahagiaan secara visual di media sosial, serta memenuhi standar-standar representasi yang dikonstruksi secara kolektif dalam ruang digital. Dari unggahan foto keluarga dengan busana seragam, deretan hidangan mewah, hingga pameran THR.
Mulai dari bagi-bagi uang THR segepok dan liburan eksklusif, bahkan ada sebagian orang rela merogoh uang cukup banyak untuk menyewa kendaraan mewah untuk dibawa saat mudik ke kampung halaman dan dipamerkan kepada para tetangga dan saudaranya sebagai simbol kesuksesan.
Lebaran kini sering kali menjadi ajang unjuk eksistensi di dunia maya. Alih-alih fokus pada silaturahmi dan kebersamaan, sebagian orang lebih sibuk memastikan momen Lebaran mereka tampak “sempurna” di mata orang lain. FOMO saat Lebaran tidak terjadi begitu saja. Ada berbagai faktor yang mendorong perilaku konsumtif ini, mulai dari tekanan sosial, ekspektasi budaya, hingga strategi pemasaran yang semakin agresif.
Sejak kecil, kita sudah terbiasa dengan tradisi membeli baju baru, menyajikan makanan melimpah, hingga memberikan uang Lebaran kepada keluarga dan kerabat. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga dewasa, menciptakan pola pikir bahwa lebaran tidak akan terasa lengkap tanpa belanja besar-besaran.
Tekanan sosial juga berperan besar dalam memperkuat FOMO Lebaran. Media sosial menjadi salah satu faktor utama yang membuat seseorang merasa harus mengikuti tren. Foto-foto keluarga dengan busana seragam, hampers mewah yang dipamerkan selebriti, hingga potret meja makan penuh hidangan lezat menciptakan standar baru dalam perayaan Lebaran.
Banyak orang merasa perlu menunjukkan hal serupa agar tidak terlihat “ketinggalan zaman” atau berbeda dari lingkungan sekitarnya. Selain faktor sosial dan budaya, strategi pemasaran juga turut mendorong perilaku konsumtif ini. Menjelang Lebaran, diskon besar-besaran, cashback, dan promo cicilan menjadi daya tarik yang sulit ditolak.
Media Sosial Picu Tren
Platform seperti Instagram, TikTok, dan Facebook dipenuhi dengan foto-foto keluarga yang berpose dengan outfit seragam, lengkap dengan keterangan merek dan harga pakaian mereka. Algoritma media sosial yang menampilkan konten berdasarkan tren membuat unggahan semacam ini semakin viral, menciptakan tekanan sosial bagi banyak orang untuk ikut serta dalam budaya konsumtif tersebut.
FOMO dalam Lebaran bukan lagi sekadar soal mengikuti tren, tetapi sudah berubah menjadi gaya hidup yang bisa berdampak pada kesejahteraan finansial seseorang. Budaya FOMO dan flexing saat lebaran tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan.
Salah satu dampak terbesar adalah meningkatnya tekanan sosial untuk selalu tampil sempurna. Banyak orang merasa tidak percaya diri jika tidak mengikuti tren, yang pada akhirnya dapat memengaruhi kesejahteraan mental mereka. Dari sisi finansial, budaya ini bisa menjadi pemicu gaya hidup konsumtif yang tidak sehat.
Orang-orang yang terbiasa membeli barang mahal demi gengsi bisa terjebak dalam pola pengeluaran yang tidak terkontrol. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini dapat menyebabkan masalah keuangan, terutama jika mereka menggunakan kartu kredit atau pinjaman untuk memenuhi keinginan tersebut.
Selain itu, budaya flexing juga bisa menciptakan kesenjangan sosial yang semakin lebar. Mereka yang tidak mampu mengikuti tren mungkin merasa tersisih atau dianggap kurang sukses, padahal ukuran kebahagiaan dan keberhasilan seseorang tidak seharusnya diukur dari barang yang mereka kenakan.
Salah satu cara untuk menghindari FOMO adalah dengan memahami bahwa menghabiskan banyak uang untuk mengikuti tren yang sifatnya sementara hanya akan menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Di sisi lain, media sosial seharusnya digunakan sebagai sarana berbagi kebahagiaan, bukan ajang untuk membandingkan diri dengan orang lain.
Jika kita merasa terpengaruh oleh unggahan-unggahan yang memicu FOMO, ada baiknya untuk mengurangi konsumsi konten semacam itu atau mengikuti akun-akun yang lebih inspiratif dan positif.
Esensi Lebaran yang Sebenarnya
Berpenampilan apa adanya dan sesuai dengan kemampuan tidak perlu sampai memaksakan diri demi validasi sosial. Pada dasarnya, Idul Fitri adalah kesempatan untuk kembali ke kemurnian, baik secara spiritual maupun dalam hal kehidupan sehari-hari. Menurut perspektif pendidikan karakter, Idul Fitri seharusnya mengajarkan orang-orang nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, dan empati.
Nilai-nilai seperti disiplin dalam berpuasa, kejujuran dalam berzakat, dan kepedulian terhadap sesama dalam berbagi adalah contoh pendidikan karakter Islam yang kuat. Jika nilai-nilai ini ditanamkan dengan benar, Idul Fitri tidak hanya akan menjadi perayaan seremonial tetapi juga akan menjadi titik tolak untuk meningkatkan moral seseorang dan masyarakat.(*)