Dari Rp 5 Juta Menjadi Rp 10 Juta
MALANG POSCO MEDIA, MALANG – Pemerintah Kota Malang siap merelakan potensi hilangnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 4 miliar hingga Rp 8 miliar per tahun. Hal ini menyusul rencana kenaikan ambang batas penghasilan pelaku usaha yang dikenai Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sektor makanan dan minuman, dari semula Rp 5 juta menjadi Rp 10 juta per bulan.
Kebijakan ini tengah dibahas dalam Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) oleh legislatif dan eksekutif Kota Malang. Bila diterapkan, pelaku usaha dengan omzet di bawah Rp 10 juta per bulan akan dibebaskan dari pungutan pajak PBJT, sehingga harga jual produk pun bisa lebih murah di tangan konsumen.
“Ambang batas penghasilan sebuah usaha yang akan dikenakan pajak omzet memang kami inisiasikan untuk diubah di ranperda ini. Dari Rp 5 juta ke Rp 10 juta. Angka Rp 10 juta batasnya, itu sudah melalui kajian dan paling rasional,” tegas Ketua Pansus Ranperda PDRD DPRD Kota Malang, Indra Permana, Kamis (15/5) kemarin.
Indra mengungkapkan, sebelumnya sempat muncul usulan untuk menaikkan batas hingga Rp 15 juta. Namun, berdasarkan kajian bersama tim ahli dan akademisi, potensi PAD yang hilang akan membengkak hingga Rp 28 miliar. Sementara jika ambang batas hanya dinaikkan ke Rp 10 juta, potensi PAD yang hilang masih bisa ditekan di angka Rp 8 miliar.
“Kami mempertimbangkan agar kebijakan ini secara fiskal tetap seimbang. Artinya, tidak terlalu besar kehilangan potensi PAD, tetapi juga pro terhadap masyarakat, khususnya pelaku UMKM di Kota Malang,” ujar politisi PKS ini.
Indra juga menjelaskan bahwa kebijakan ini sejatinya sudah lama diwacanakan DPRD, mengingat ambang batas Rp 5 juta telah berlaku selama 15 tahun. Padahal, di tengah pesatnya perkembangan UMKM, kebijakan itu dirasa sudah tak lagi relevan.
“Nah, melihat kondisi saat ini, dan UMKM di Kota Malang yang makin berkembang pesat, kami rasa akan sangat membebani jika omzet Rp 5 juta sudah dikenakan pajak,” tuturnya.
Ia menegaskan bahwa pajak PBJT bukanlah pajak yang dibebankan langsung kepada pelaku usaha, melainkan kepada konsumen. Oleh karena itu, dengan kenaikan ambang batas ini, pelaku usaha kecil tak perlu membebankan harga tambahan kepada pembeli, sehingga harga jual tetap lebih terjangkau.
“Kami ingin meluruskan, pajak ini adalah pajak yang dibebani ke pembeli. Bukan ke pelaku usahanya ya. Jadi jika tidak kena pajak ini, pelaku usaha atau UMKM bisa menjual produknya lebih murah dan pembeli bisa lebih senang karena tidak ditambah harga pajaknya,” pungkas Indra.
Senada dengan Indra, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang, Dr. Handi Priyanto, menyebutkan bahwa potensi PAD yang akan hilang akibat kebijakan ini diperkirakan sebesar Rp 4,6 miliar. Hal ini didasarkan pada jumlah Wajib Pajak (WP) yang akan dikecualikan dari pungutan karena memiliki omzet di bawah Rp 10 juta per bulan.
“Ada total 931 wajib pajak yang omzetnya di bawah Rp 10 juta per bulan,” jelas Handi.
Di sisi lain, pelaku usaha, khususnya kelompok UMKM di Kota Malang, menyambut baik wacana ini. Ketua Paguyuban UMKM Kelurahan Karangbesuki, Susy Kurnia, mengatakan bahwa pajak PBJT selama ini dirasa cukup memberatkan.
“Iya memang sudah waktunya dinaikkan. Kasihan juga konsumen kena pajak seperti itu. Pengaruhnya kan ke pelanggan ya. Dan padahal produk UMKM juga masih butuh berkembang,” papar Susy.
Sementara itu, Ketua Paguyuban UMKM Malang Jati Asri, Herry Suharto, menyampaikan dukungannya atas rencana ini. Ia mengatakan, dari total 70 anggota UMKM di paguyubannya, sebagian besar masih memiliki penghasilan di bawah Rp 10 juta. “Sangat baik. Dinaikkan ambang batasnya, karena selama ini sepertinya memberatkan juga. Kami dukung dan tetap tolong disosialisasikan jika nanti mau diterapkan,” tegas Herry. (ica/aim)