20 Mei selalu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. 20 Mei 1908 lahir organisasi Boedi Utomo yang didirikan oleh sekelompok pelajar STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) dan dipimpin oleh Dr. Soetomo.
Namun, peringatan ini tak hanya soal mengenang masa lalu. Hari “kebangkitan” adalah panggilan moral untuk meneguhkan kembali semangat kebangsaan, terutama di tengah kondisi bangsa yang sedang tidak mudah saat ini.
Tepat 117 tahun yang lalu kondisi sosial ekonomi, politik dan hukum Indonesia belum menemui titik terang yang benar-benar benderang di masa depan. Data BPS awal tahun 2025 mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat pada kuartal terakhir 2024, hanya mencapai 4,8 persen, turun dari 5,1 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Perlambatan ini tidak hanya dipicu oleh faktor global dan krisis ekonomi internasional. Tetapi juga faktor struktur ekonomi dalam negeri yang lesu. Hal itu dibuktikan dengan kondisi beberapa Perusahaan besar Indonesia yang mengalami lay-off besar-besaran. Seperti industri tekstil PT. Sritex, industri media, isu tarif ojek online, dan startup yang berguguran.
Di sisi sosial, jurang ketimpangan masih cukup lebar. Menurut data World Inequality Database, 10 persen penduduk terkaya di Indonesia menguasai lebih dari 75 persen kekayaan nasional. Sementara itu, jutaan warga masih hidup dalam kemiskinan atau berada pada zona rentan miskin. Menurut World Bank, sekitar 60,3 persen dari jumlah penduduk pada 2024 Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan atau sekitar 171,91 juta jiwa.
Perhitungan didasari dari acuan garis kemiskinan untuk kategori negara dengan pendapatan menengah ke atas (upper middle income country) sebesar US$ 6,85 per kapita per hari atau setara pengeluaran Rp 115.080 per orang per hari (kurs Rp 16.800/US$). Persoalan kemiskinan dan ekonomi ini menjadi efek domino bagi persoalan lain. Itu semua menunjukkan bahwa fondasi sosial ekonomi kita belum cukup kokoh.
Membangun mentalitas
Gerakan revolusi mental yang pernah trending beberapa tahun lalu tampaknya hanya sebatas tagline saja. Tidak memiliki dampak hingga saat ini. Pejabat politik dan publik dengan koalisi besar yang diharapkan memperkuat sistem demokrasi kita justru seringkali “bersekongkol” di belakang. Secara tidak langsung mentalitas ini menjadi karakter bangsa yang menggerogoti sendi sosial ekonomi masyarakat.
Jika dibandingkan dengan wilayah Asia timur mentalitas bangsa kita cukup tertinggal dari segi apapun; kedisiplinan, moralitas, tanggung jawab seolah kabur di tengah modernitas yang dibangun bangsa ini. Praktis, yang tersisa dari karakteristik masyarakat kita adalah budaya kesopanan. Itu saja lagi-lagi juga mulai terkikis dengan perangai netizen Indonesia yang dicap “tidak sopan” dan terlalu cerewet.
Berbeda dari fakta tersebut, kita perlu melihat nilai yang diajarkan pada “Confucianism.” Sistem kepercayaan dan nilai bagi bangsa” timur seperti China, Korea, Jepang yang menjadi pendorong bagi kemajuan bangsanya. Kita lihat bagaimana tiga negara tersebut dengan kekuatan ekonomi yang mereka miliki. Ini menjadi modal kuat membawa rakyatnya lebih sejahtera.
Pendidikan berkualitas
Pendidikan tidak hanya memenuhi aspek formal saja, tetapi lebih dari itu. Kemajuan bangsa dimulai dari bagaimana negara memberikan perhatian pada aspek ini. Pendidikan bukan hanya soal mencetak tenaga kerja, melainkan membentuk karakter, nalar kritis, dan empati sosial. Sayangnya, akses terhadap pendidikan berkualitas di Indonesia masih timpang.
Laporan Indeks Pembangunan Manusia 2024 menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah di Indonesia masih sekitar 8,6 tahun, dan kualitas pembelajaran di berbagai daerah tertinggal jauh dari standar minimal. Para pengajar juga masih “berperang” pada isu kesejahteraan.
Reformasi sistem pendidikan sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing bangsa. Negara harus menjadikan pendidikan berkualitas sebagai prioritas fundamental, bukan sekadar jargon pembangunan, misalnya terkini “kampus Merdeka” menjadi “kampus berdampak.” Investasi pada guru, kurikulum yang kontekstual, infrastruktur sekolah, dan literasi digital harus dilakukan secara konsisten dan merata.
Lebih dari itu, pendidikan harus ditanamkan sebagai gerakan sosial yang melibatkan masyarakat, orang tua, dan komunitas. Sebab hanya dengan pendidikan yang memerdekakan dan memberdayakan, kita bisa menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga tangguh dan berintegritas—generasi yang siap meneruskan semangat kebangkitan nasional ke masa depan.
Ekonomi kerakyatan
Kebangkitan konomi dapat terwujud jika ekonomi yang diperjuangkan adalah murni untuk rakyat. Yang terjadi selama ini pemerintah selalu memberikan keran lebar bagi investor, pemodal besar. Kebijakan tersebut hanya menguntungkan para kapitalis (pemilik modal) tanpa keadilan yang bertanggung jawab.
Pemerintah sebelumnya memang telah menggulirkan berbagai program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), bantuan UMKM, dan pelatihan kewirausahaan. Menurut penulis, pemerintah saat ini lebih fokus pada sektor makroekonomi. Dominasi ekonomi oleh korporasi besar dalam sektor pangan, energi, dan perdagangan kerap membuat harga tak berpihak pada produsen kecil. Ini menjadi tantangan serius ketika kita bicara tentang kedaulatan ekonomi yang dipromosikan pemerintahaan saat ini.
Momentum Hari Kebangkitan Nasional seharusnya menjadi titik refleksi untuk mengembalikan arah pembangunan ekonomi ke jalur yang lebih berkeadilan dan berbasis pada kekuatan lokal. Ekonomi kerakyatan bukan sekadar narasi romantik, tetapi strategi konkret untuk menciptakan ketahanan nasional dari bawah.
Negara harus hadir sebagai fasilitator dan pelindung, bukan hanya regulator. Dukungan terhadap koperasi, BUMDes, pasar tradisional, dan pelaku usaha mikro harus menjadi agenda utama, bukan pelengkap. Semoga semangat kebangkitan kali ini tidak hanya menjadi ritual seremonial, tetapi menjadi energi baru untuk membangun Indonesia yang lebih adil, cerdas, dan sejahtera.(*)