spot_img
Thursday, July 3, 2025
spot_img

Wisata Tidur

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Goenawan Mohamad pernah bilang “tidur adalah mencintai libur dengan cara yang sederhana.” Saat libur diisi dengan tidur itu bukan berarti tidak liburan. Liburannya ya tidur itu. Saat ada libur tanggal merah yang disambung dengan cuti bersama seperti yang terjadi pada akhir bulan Mei ini, kita bisa coba wisata tidur (sleep tourism). Liburan yang murah meriah dengan manfaat kesehatan mental dan fisik yang luar biasa.

          Kata sejumlah pakar kesehatan, orang Indonesia dewasa butuh tidur normal sehari setidaknya 6-8 jam. Itu kalau mau sehat. Kalau kurang dari jumlah waktu itu, biasanya kesehatan bisa terganggu. Orang bisa saja dalam suatu waktu kurang tidur, tapi pada kesempatan berikutnya badan terasa tak enak. Biasanya disebut punya utang tidur. Dan perlu “nyaur utang” tidur, mengganti waktu tidur yang kurang dengan tambahan jam tidur.

          Menurut beberapa studi kesehatan, orang bisa bertahan lebih lama tidak makan daripada tidak tidur. Orang bisa bertahan tak makan 1-2 bulan sementara orang tak bisa tanpa tidur hanya dalam beberapa hari saja. Kebutuhan untuk memenuhi waktu tidur lebih utama ketimbang makan. Faktor usia juga memengaruhi durasi yang dibutuhkan untuk tidur. Seorang bayi bisa membutuhkan waktu tidur lebih lama daripada anak-anak, remaja, dan dewasa.

          Akhir bulan Mei ini ada libur akhir pekan yang cukup panjang (long weekend). Mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, pemerintah menetapkan Kamis, (29/5/2025) sebagai hari libur nasional memperingati Hari Kenaikan Yesus Kristus. Kemudian dilanjutkan dengan cuti bersama pada Jumat, (30/5/2025). Libur terus berlanjut hingga Sabtu dan Minggu. Total akhir bulan ini ada jeda istirahat selama empat hari libur berturut-turut.

‘Hustle Culture’

          Budaya hustle (hustle culture) adalah gaya hidup dan sistem nilai yang memuja kerja keras tanpa henti, produktivitas ekstrem, dan kesibukan sebagai identitas serta prestasi utama seseorang. Dalam budaya ini, orang dianggap sukses jika mereka terus “bergerak”, “ngegas”, dan “berjuang 24/7”. Budaya hustle membungkus eksploitasi dengan narasi heroik. Ia membuat orang merasa bersalah saat istirahat, dan merasa gagal saat tidak sibuk.      

          Manusia itu bukan mesin. Kita tak boleh dzalim pada tubuh. Tubuh tak bisa terus diforsir. Tubuh bisa letih dan lelah. Butuh istirahat. Namun di era kehidupan modern yang serba cepat saat ini, tak sedikit orang justru tak cukup waktu istirahat. Banyak yang super sibuk dengan ritme pekerjaan yang padat. Tak sedikit orang hidupnya hanya kerja, kerja, kerja, kurang waktu istirahat. Istilahnya orang kerja bagai kuda.

          Saat ini banyak orang tak hanya sibuk hidup di alam nyata, namun juga sibuk eksis di dunia maya. Melalui beragam platform media sosial (medsos) tak sedikit orang menghabiskan waktunya untuk doom scrolling, unggah konten, memberi like dan subscribe, serta menulis komentar. Tak jarang aktivitas bermedsos ini yang mengganggu waktu kerja dan istirahat. Aktivitas ini banyak memicu kelelahan digital yang berujung pada kelelahan fikiran dan mental.

          Budaya hustle diperkuat oleh medsos, influencer, dan entrepreneur yang sering menampilkan kerja tanpa henti sebagai gaya hidup ideal. Muncul tekanan sosial untukselalu terlihat produktif. Dampaknya, muncul kelelahan fisik dan mental (burnout), kecemasan dan depresi, kehilangan makna hidup, dan menurunnya relasi sosial.

Seni Bermalas-malasan

          Seni bermalas-malasan adalah konsep yang memaknai kemalasan bukan sebagai kelemahan atau kebiasaan buruk, melainkan sebagai bentuk seni atau filosofi hidup yang menghargai ketenangan, kehadiran, dan jeda dari produktivitas berlebihan. Istilah ini muncul dalam konteks kritik pada budaya kerja modern yang terlalu menekankan efisiensi dan kesibukan sebagai tolok ukur nilai diri.

          Konsep seni bermalas-malasan telah dibahas oleh banyak pemikir, penulis, dan filsuf, baik secara eksplisit maupun melalui ide-ide sejenis seperti slow living, idleness, anti-work, atau kritik terhadap budaya produktivitas. Bertrand Russell (1935) dalam “In Praise of Idleness” berargumen bahwa kerja berlebihan adalah hasil sistem ekonomi yang salah, dan waktu luang seharusnya dianggap sebagai bagian penting dari peradaban.

          Tidur memiliki kaitan yang erat dan penting dengan seni bermalas-malasan, bukan hanya sebagai kebutuhan biologis, tetapi juga sebagai tindakan simbolikdan perlawanan terhadap budaya produktivitas berlebihan. Dalam konteks seni bermalas-malasan, tidur adalah bentuk kemalasan yang paling alami dan tak bisa dipaksakan. Banyak studi menunjukkan bahwa tidur memperkuat memori, menumbuhkan kreativitas, dan menjaga kesehatan mental.

          Di sejumlah negara, wisata tidur (sleep tourism) telah dikembangkan dengan serius. Ini model wisata modern yang menitikberatkan pada pengalaman beristirahat dan tidur berkualitas sebagai tujuan utama liburan. Konsep ini muncul sebagai respons terhadap gaya hidup yang penuh tekanan, budaya hustle, dan masalah kesehatan terkait kurang tidur.           Di Indonesia, meskipun belum banyak destinasi yang secara eksplisit mengusung konsep wisata tidur, di beberapa resort telah menyediakan pengalaman serupa yang menonjolkan ketenangan dan perawatan diri. Wisata tidur diperkirakan akan terus berkembang menjadi bagian penting dari industri wellness dan pariwisata masa depan.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img