spot_img
Thursday, July 3, 2025
spot_img

Memahami Fenomena Kemarau Basah

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Biasanya bulan Mei ditandai dengan curah hujan yang berkurang drastis dibandingkan saat musim hujan. Penurunan curah hujan ini biasanya sudah terjadi sejak akhir Maret. Bulan “Maret” dikaitkan dengan mulai “mampet” dan “seret”-nya hujan atau dimulainya musim kemarau. Masyarakat Jawa menandai awal musim kemarau ini dengan nyanyian tonggeret atau garengpung.

          Namun, yang terjadi hampir sepanjang bulan Mei 2025 lalu, curah hujan masih tinggi. Bahkan, BMKG mengingatkan kewaspadaan peningkatan cuaca ekstrem untuk sejumlah wilayah di Jawa Timur pada 18-27 Mei 2025. Cuaca ekstrem menyebabkan bencana hidrometeorologi di sejumlah wilayah Jawa Timur.

          Hujan pertengahan (14/5) lalu menyebabkan longsor yang memutus jalan penghubung Ponorogo-Trenggalek. Yang terbaru, banjir juga menggenangi Kecamatan Winongan, Kabupaten Pasuruan akhir pekan lalu (25/5). Kondisi ini tentunya membingungkan kita. Lantas, apakah di tahun ini tidak ada musim kemarau?

Penyebab Musim di Indonesia

          Gerak matahari tiap tahun yang melintasi ekuator dari belahan bumi selatan menuju utara memengaruhi perubahan tekanan atmosfer di kedua belahan bumi. Matahari yang berada di utara garis khatuliswa menandai musim panas di belahan bumi utara.

          Hal ini diikuti dengan penurunan tekanan udara di Benua Asia. Sebaliknya, tekanan udara di Benua Australia meningkat. Akibatnya, angin bertiup dari Australia. Angin ini melintasi wilayah gurun dan perairan yang sempit sehingga bersifat kering. Hal ini menandai musim kemarau di Indonesia.

          Perubahan arah angin setiap enam bulan ini sudah dikenali pelaut Arab sejak beberapa abad silam. Mereka menamainya dengan angin “mausim” yang berarti “musim.” Kita lebih mengenalnya sebagai angin muson atau “monsoon.” Angin muson barat yang basah dari Asia berhembus sepanjang Oktober-Maret (Ok-mar).        Sementara itu, angin muson timur yang kering dari Australia berhembus sepanjang April-September (A-sep). Begitulah, angin muson barat dan timur bergantian arah bertiup di atas Indonesia. Peralihan arah angin ini ditandai dengan musim pancaroba.

          Posisi Indonesia yang diapit dua benua (Asia dan Australia) serta dua samudera (Pasifik dan Hindia) membawa konsekuensi lain. Di Samudera Pasifik kita mengenal El Nino Southern Oscillation (ENSO) yang memengaruhi tingkat musim kemarau dan hujan di Indonesia.

          Seperti yang kita ingat, El Nino terjadi di tahun 2023, lalu disusul La Nina di tahun 2024. Tidak ketinggalan di Samudera Hindia terdapat fenomena serupa yang dikenal sebagai Indian Ocean Dipole (IOD). Namun, BMKG melaporkan bahwa ENSO dan IOD cenderung netral di tahun 2025.

          Oleh sebab itu, peningkatan curah hujan di bulan Mei lalu ditengarai oleh faktor lain. Pertama, kemunculan gangguan tropis di perairan Indonesia. Kedua, fenomena MJO. Ketiga, aktifnya gelombang Rossby ekuator dan Kelvin.

MJO, Kelvin, dan Rossby Ekuator

          Madden-Julian Oscillation (MJO) merupakan aliran atmosfer yang bergerak ke arah timur di sepanjang ekuator. Aliran ini terpantau jelas di wilayah Samudera Hindia dan Pasifik. MJO memengaruhi pembentukan awan, curah hujan, angin, dan suhu permukaan air laut wilayah yang dilintasinya. Diperlukan waktu 30-60 hari bagi MJO untuk kembali ke titik awal.

          Fenomena MJO dikenali sejak awal 1970-an oleh Ronald Madden dan Paul Julian saat memelajari pola tekanan dan angin di wilayah tropis. Terdapat dua fase dalam MJO, yaitu fase basah dan fase kering. Saat fase basah melintasi wilayah Indonesia seperti saat ini, maka ditandai dengan peningkatan curah hujan.

          Apabila wilayah Indonesia dianalogikan panggung sebuah pentas, kita menyaksikan lakon “angin muson” yang bersepeda bolak-balik dari sisi kiri dan sisi kanan sepanjang pentas. Lalu, ada pula lakon “ENSO” yang menaiki sepeda statis di tengah panggung.

          Namun, ada pula lakon yang mengayuh sepeda, masuk panggung dari sisi kiri, melintasi pesepeda statis (ENSO), lalu keluar panggung di sisi kanan. Lakon ini melintasi panggung beberapa kali sepanjang pentas. Lakon ini merupakan MJO.

          Selain MJO, terdapat aliran atmosfer dan samudera di wilayah ekuator dalam skala luas (gelombang planet ekuator). Gelombang ini muncul akibat interaksi atmosfer dan samudera dalam sebuah planet yang berputar. Gelombang planet ekuator yang mencolok adalah Kelvin dan Rossby ekuator.

          Gelombang Kelvin bergerak dari barat ke timur dengan kecepatan 2,7 meter/detik. Sementara itu, gelombang Rossby ekuator bergerak dari timur ke barat dengan kecepatan lebih lambat, yaitu 0,5-0,6 meter/detik. Kedua gelombang ini memengaruhi tinggi muka air laut dan sebaran suhu air laut secara vertikal. Ketika gelombang planet ini melintasi wilayah Indonesia, perairan Indonesia menghangat sehingga memicu pembentukan awan hujan.

          Saat ini kombinasi MJO fase basah dan aktifnya gelombang Kelvin dan Rossby ekuator yang melintas di wilayah Indonesia menyebabkan peningkatan curah hujan di bulan Mei. “Kemarau basah” ditandai dengan hujan di musim kemarau. Sebelumnya, fenomena kemarau basah tercatat terjadi pada tahun 2010, 2013, 2016, dan 2020. Dengan demikian, musim kemarau di tahun 2025 ini diperkirakan lebih pendek dari biasanya.

          Namun, yang perlu kita waspadai adalah dampak perubahan iklim terhadap pola hujan di Indonesia. Pemanasan global yang diikuti menghangatnya air laut akan memicu pembentukan awan hujan yang masif. Akibatnya, hujan ekstrem semakin kerap terjadi. Tentunya, cuaca ekstrem perlu kita antisipasi sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img