spot_img
Thursday, July 3, 2025
spot_img

TikTokisasi Idul Kurban

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Hari Raya Idul Kurban jadi momentum ibadah bagi umat Islam. Hari raya ini juga jadi konten di beragam platform media sosial (medsos). Idul Kurban tak sekadar ritual penyembelihan hewan, tetapi juga perayaan nilai pengorbanan, solidaritas sosial, dan spiritualitas. Di era medsos saat ini, kegiatan Idul Kurban juga direkam, diedit secara estetik, diberi musik latar, dan dibagikan di TikTok, Reels Instagram, dan YouTube.

          Apapun kini bisa dijadikan konten medsos. Tak terkecuali momentum Idul Kurban. Sejak beberapa pekan lalu, tak sedikit orang yang berjualan hewan kurban yang dijajakan di TikTok. Aneka jenis sapi dan kambing dijual lewat platform audio visual itu. Beragam hewan kurban dengan berbagai ukuran dan harga divisualisasikan di TikTok dengan menarik yang mengundang minat pembeli.

          Hewan kurban ukuran super jumbo dari sejumlah artis dan pemengaruh (influencer) juga jadi konten di TikTok. Di TikTok beredar konten seorang pesohor yang menuntun sapi berukuran sangat besar untuk dijadikan kurban. Banyak artis tak cukup berkorban seekor, banyak juga yang berkorban puluhan ekor. Aneka konten terkait Idul Kurban diunggah dan dibagikan para pengguna medsos.

          Seperti pada Idul Kurban tahun-tahun sebelumnya, pernik-pernik momentum tahunan ini diprediksi banyak yang menjadikannya konten medsos. Konten saat sholat Idul Adha, momentum penyembelihan dan pembagian hewan kurban, bahkan saat memasak rame-rame bersama warga juga tak luput diabadikan dan diunggah di TikTok. Video bakar sate dan makan bersama bisa dipastikan akan membanjiri TikTok. Inilah era “TikTokisasi” Idul Kurban.

‘TikTokisasi’ Idul Kurban

          Istilah “TikTokisasi” merujuk pada proses di mana praktik sosial, budaya, dan agama, yang mengikuti logika platform TikTok yakni serba cepat, visual, menghibur, dan dirancang agar viral. Tak hanya hiburan dan politik, agama pun tak luput menggunakan TikTok. Kita melihat video penyembelihan sapi dan kambing dengan suasana dramatis, tayangan antrean orang menunggu jatah daging, hingga rekaman warga tersenyum sambil memegang kantong plastik bertuliskan logo lembaga tertentu. Semua dirancang untuk engagement TikTok.

          Menyebarkan semangat berbagi lewat unggahan konten Idul Kurban memang tak salah. Namun, kita juga menyaksikan bagaimana momen ibadah terkadang berubah menjadi ajang pencitraan dan content branding. Yang dikedepankan bukan lagi makna pengorbanan, melainkan lebih pada estetika visual. Yang diutamakan bukan rasa empati dan spirit berbagi, namun lebih pada mengejar algoritma popularitas.

          Kekhawatiran lain juga muncul atas aneka konten Idul Kurban yang melanggar batas etika. Potongan video dalam jarak dekat (close up) saat hewan disembelih, darah yang mengalir, atau ekspresi warga penerima daging yang dijadikan bahan lelucon. Banyak konten video itu dikemas tanpa konteks edukasi. Pertanyaannya, apakah semua hal layak dijadikan konten? Apakah tak ada ruang sakral yang sebaiknya dibiarkan tetap tenang tanpa intervensi kamera?

          Sudah saatnya kita memperhatikan etika digital dalam berkurban. Bahwa tidak semua ibadah harus ditayangkan. Bahwa tidak semua kebaikan perlu dipublikasikan dengan musik trending. “TikTokisasi” Idul Kurban adalah cermin zaman. Ia memperlihatkan bagaimana medsos mengubah cara kita menampilkan iman dan amal. Tugas kita bukan menyerah pada tren, melainkan memastikan bahwa di balik semua itu kita tetap menjaga ruh pengorbanan yang sejati.

Syiar Modern?

          “TikTokisasi” konten Idul Kurban memang bisa dianggap sebagai bentuk syiar modern. Anak muda jadi tertarik dan momen ibadah jadi lebih menjangkau mereka. Tetapi di sisi lain, kita perlu berhati-hati. Melalui cara ini apakah esensi kurban masih utuh? Apakah kita masih fokus pada nilai pengorbanan dan kepedulian, atau jangan-jangan sudah terlalu sibuk menyusun sudut pengambilan gambar (camera angle), tata suara, musik, dan caption yang menarik?

          Pada momentum Idul Kurban tahun lalu muncul kompetisi di antara pengunggah konten TikTok. Kompetisi tentang konten kurban yang paling estetik, paling banyak ditonton (views), dan paling banyak pujian. Padahal kurban sejatinya bukan soal tampil tetapi ketulusan memberi. Tentang menyembelih ego dan kelebihan, lalu dibagikan pada mereka yang kekurangan. “TikTokisasi” Idul Kurban rawan bergeser jadi ajang pamer (flexing) di ranah digital.

          Kurban yang seharusnya diniatkan sebagai ibadah dan bentuk empati sosial, menjadi ajang pencitraan digital. Fokus bergeser dari “mengapa berkurban” menjadi “bagaimana tampilan kurban saya di medsos.” Ritual sakral seperti penyembelihan hewan atau pembagian daging direduksi jadi materi konten. Agama dikemas dalam format hiburan demi likes, views, dan algoritma menjadikan nilai spiritual sebagai komoditas digital.

          Ironisnya dalam banjir konten kurban di TikTok justru makna sosialnya bisa terkikis. Padahal kurban sejatinya adalah ajakan untuk menyatu dengan derita orang lain, bukan untuk menunjukkan siapa paling banyak menyumbang. Saat kurban berubah menjadi tontonan digital, apakah kita masih merasakan penghayatan atau hanya hanyut terhibur dalam scroll, scroll, dan scroll?

          “TikTokisasi” Idul Kurban sejatinya bukan sekadar ikut tren teknologi terkini. Memang tak keliru dengan mendokumentasikan momen-momen penting saat Idul Kurban. Tapi kita perlu bertanya, “untuk siapa kurban ini dilakukan?” Untuk Allah? Untuk sesama? Atau untuk algoritma? Semoga ini bisa jadi renungan bersama.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img