Saat ini kita memasuki bulan Juni 2025, saat di mana umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Adha dan berkurban. Semangat keagamaan dan tradisi menyembelih hewan qurban semakin terasa: masjid ramai, penyedia hewan kurban banyak menawarkan jasa, dan masyarakat mulai bersemangat melaksanakan qurban. Namun, jangan sampai semangat ini berubah menjadi beban finansial.
Menjelang momentum besar seperti ini, muncul tren anak muda yang tergoda berutang, terutama melalui skema “Buy Now, Pay Later” (BNPL) dan pinjaman online. Anak muda semakin mudah membeli keperluan hidup atau gaya hidup dengan cicilan, termasuk kebutuhan Idul Adha. Padahal, pinjaman konsumtif cenderung mendorong gaya hidup tidak sehat dan berisiko menjerat dalam utang yang sulit dikendalikan.
Fenomena pembelian hewan kurban dengan cara berutang kini juga mulai mengemuka, terutama di wilayah urban. Beberapa platform daring maupun pedagang hewan kurban telah menawarkan skema cicilan dengan embel-embel syariah atau “tanpa bunga”, yang secara psikologis menarik bagi kalangan muda.
Sayangnya, tidak semua orang memahami implikasi jangka panjang dari cicilan ini. Cicilan tetaplah utang, dan jika tidak dibarengi dengan perencanaan matang, bisa mengganggu arus kas bulanan, apalagi jika seseorang juga sedang mencicil barang lain seperti gadget, kendaraan, atau kebutuhan gaya hidup lainnya.
Masalahnya bukan sekadar besar kecilnya nominal cicilan, tetapi pada akumulasi kewajiban finansial yang akhirnya memberatkan. Ini menjadi bukti bahwa sebagian masyarakat, khususnya generasi muda, masih memaknai kurban sebagai kebutuhan sosial dan simbol status, bukan sebagai ibadah berbasis kemampuan riil.
Padahal, berkurban sejatinya adalah praktik keikhlasan dan keberdayaan. Ketika hewan kurban dibeli dengan utang konsumtif, maknanya pun jadi bergeser: dari ketulusan menjadi tekanan sosial. Maka dari itu, perlu ada edukasi luas bahwa kemampuan berkurban bukan dinilai dari seberapa besar hewan yang dibeli atau seberapa cepat transaksi dilakukan, tetapi dari kesiapan finansial dan niat yang tulus.
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Januari–Maret 2025, plafon BNPL telah mencapai Rp 22–26 triliun dengan penyaluran tumbuh sekitar 44 persen dibandingkan tahun lalu. Situs Populix pada September 2024 melaporkan bahwa 42 persen anak muda pernah menggunakan pinjol untuk gaya hidup, bukan kebutuhan pokok. Kondisi gaya hidup melalui utang ini menggejala pada kelompok usia 19–34 tahun serta menyumbang hingga 37 persen dari total kredit macet P2P Lending pada Juli 2024 (sekitar Rp 652 miliar).
Dalam konteks gaya hidup konsumtif melalui utang ini, dua teori keuangan perilaku sangat relevan, yakni mental accounting dan locus of control. Mental accounting menunjukkan bahwa orang membagi uang ke dalam “kantong-kantong mental” (misalnya, anggaran konsumsi vs kurban), tapi skema BNPL merusak batas antara kantong tersebut.
Sementara itu, locus of control menjelaskan hubungan antara kontrol diri dan kecenderungan menganggap utang konsumtif seolah-olah “sudah ditentukan”, bukan sebagai hasil keputusan sadar. Hal ini tentu saja berpotensi menguras kemampuan finansial anak muda.
Agar ibadah kurban tetap terlaksana tanpa menimbulkan beban utang, beberapa strategi sederhana namun efektif dapat diterapkan. Pertama, biasakan menyisihkan uang secara rutin melalui tabungan kurban terencana. Misalnya, dengan menyisihkan Rp10.000 per hari, dalam waktu 12 bulan akan terkumpul sekitar Rp 3,65 juta. Jumlah ini cukup untuk membeli kambing atau berpartisipasi dalam patungan sapi.
Kedua, pertimbangkan untuk melakukan kurban kolektif bersama keluarga atau tetangga. Skema ini memungkinkan pembelian satu ekor sapi secara bersama-sama, dengan biaya yang dibagi merata, sehingga lebih ringan. Ketiga, pastikan dana darurat tetap terjaga, yakni minimal setara 3–6 bulan pengeluaran rutin, sebelum mengalokasikan dana untuk kurban. Ini penting agar keuangan tetap stabil jika terjadi kejadian tak terduga.
Keempat, hindari skema cicilan atau paylater untuk membeli hewan kurban. Meskipun tampak memudahkan, skema ini seringkali disertai bunga tersembunyi dan potensi gagal bayar. Terakhir, pahami prinsip syariah kurban: ibadah ini hanya diwajibkan bagi mereka yang mampu.
Jika belum mampu secara finansial, tak perlu memaksakan diri karena masih banyak cara lain untuk beribadah, seperti bersedekah atau memperbanyak amalan sosial. Dengan manajemen keuangan yang bijak, semangat Idul Adha tetap bisa dirayakan tanpa mengorbankan kesehatan finansial.
Kurban adalah simbol keimanan dan semangat berbagi, bukan ajang pamer kemampuan ekonomi. Ibadah optimal adalah yang tidak menimbulkan tekanan finansial. Dengan menanamkan literasi keuangan dan perencanaan sejak dini, tradisi kurban bisa jadi berkah bukan beban. Tahun ini, mari rawat spiritualitas dan keuangan secara bersamaan tanpa utang konsumtif.(*)