spot_img
Tuesday, June 17, 2025
spot_img

Alarm Serius Keracunan Makanan Program MBG

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Serangkaian kasus keracunan makanan telah terjadi secara beruntun sejak awal tahun ini di berbagai daerah di Indonesia. Akibatnya, timbul penyakit bawaan makanan (foodborne diseases), yaitu gangguan kesehatan yang muncul akibat mengonsumsi makanan atau minuman yang telah terkontaminasi mikroorganisme berbahaya (pathogen) seperti bakteri, virus, parasit, maupun zat beracun seperti racun alami, bahan kimia, atau kontaminan lainnya.

          Gejala keracunan yang sering muncul antara lain diare, mual, muntah, pusing, kram perut, dan demam. Meski umumnya tergolong relatif ringan, keterlambatan dalam penanganan dapat berujung pada kondisi serius yang berpotensi menyebabkan kematian.

          Hingga pertengahan bulan Mei lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan setidaknya 17 kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) yang diduga sebagai keracunan pangan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menimpa 10 provinsi di Indonesia. KLB ini tersebar di berbagai wilayah, mulai dari Jawa Barat hingga Sulawesi Tenggara.

          Meskipun klaim tingkat kasus kejadian keracunan makanan, dalam konteks program MBG secara kuantitatif “masih” 0,005 persen, namun tidaklah elok jika hanya melihatnya sebagai angka-angka (numbers). Sebab, insiden keracunan makanan bukan sekadar masalah kesehatan semata, tetapi lebih jauh juga menyangkut keamanan dan keselamatan nyawa manusia (people).

          Seyogianya para pemimpin lebih mengedepankan aspek manusiawi ketimbang hanya fokus pada angka semata. “Great leaders are willing to sacrifice the numbers to save the people. Poor leaders sacrifice the people to save the numbers” (Simon Sinek).

Isu Keamanan Pangan

          Sangat disayangkan, meski berisiko menyebabkan kematian, pengendalian isu keamanan pangan (food safety) seolah masih belum menjadi prioritas utama. Faktanya, hasil analisis data kasus keracunan obat dan makanan oleh BPOM (2024) menunjukkan dari 1.164 kasus, sebagian besar, hampir 70 persen, disebabkan oleh keracunan makanan dan minuman.

          Frasa “Safety is the first ingredient of food” menekankan bahwa keamanan pangan adalah syarat mutlak sebelum mempertimbangkan rasa, gizi, atau tampilan makanan. Ungkapan tersebut sejalan dengan prinsip Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), “If it’s not safe, it’s not food,” yang menegaskan bahwa tanpa keamanan, makanan gagal memberikan asupan gizi yang dibutuhkan untuk mendukung kesehatan yang optimal.

          Tingginya kasus keracunan makanan mencerminkan lemahnya pengawasan yang efektif serta ketiadaan program yang sistematis, terstruktur, dan berkelanjutan dalam mengatasi foodborne diseases di Indonesia. Oleh karena itu penanganan kasus yang selama ini dilakukan terasa belum mampu menyentuh akar persoalan.

Pembelajaran dan Strategi Pencegahan

          Hasil riset yang dilakukan Arisanti dkk. (2018) dari FK-KMK UGM dapat digunakan untuk memetakan beban permasalahan akibat kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan di Indonesia. Selain itu penting untuk menyiapkan strategi dalam mencegah kejadian serupa terulang di masa depan.

          Penelitian bertajuk  “Kontribusi agen dan faktor penyebab kejadian luar biasa keracunan pangan di Indonesia: kajian sistematis” menyebutkan bahwa telah terjadi 1.176 keracunan pangan dengan status KLB pada kurun waktu 2000-2015. Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian kasus mencapai 0,4 persen, artinya dari 1.000 orang yang keracunan, sekitar empat orang meninggal.

          Dari penelitian tersebut juga diketahui bahwa makan rutin dan hajatan merupakan jenis kegiatan yang paling berisiko dengan area kasus tertinggi di rumah tinggal dan sekolah. Selain itu, masakan rumah tangga dan makanan jasa boga sebagai jenis pangan penyebab tertinggi dengan agen penyebab tersering adalah bakteri patogen (74,9 persen) dengan E.coli sebagai penyebab tersering (20 persen). Lebih lanjut, faktor yang paling berkontribusi adalah pengolahan makanan yang tidak baik dan penyimpanan yang tidak sesuai.

          Dalam konteks MBG, terdapat pola keracunan makanan serupa dengan hasil riset di atas. Sebab utamanya meliputi kontaminasi bakteri patogen dan kegagalan pengendalian keamanan pangan sehingga terjadi pertumbuhan dan perkembangan bakteri.

          Untuk mencegah keracunan makanan, penyedia makanan wajib mematuhi Cara Produksi yang Baik atau Good Manufacturing Practice (GMP), ketat dan detail dalam merancang maupun menerapkan Skema Pemantauan Mutu atau Quality Monitoring Scheme (QMS) agar dihasilkan makanan yang aman dan sehat dengan prinsip quality by design. Yakni pendekatan perancangan parameter produk dan proses dengan mempertimbangkan kualitas terbaik sejak tahap awal.

          GMP menjadi praktik dasar penting dan pra-syarat (pre-requisite) utama sebelum HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), yang menjadi standar keamanan pangan, dapat diterapkan secara penuh. HACCP merupakan sistem manajemen risiko yang mengatur keamanan pangan di setiap fase. Mulai dari proses produksi, termasuk penyediaan air dan bahan baku, hingga distribusi makanan.

          Selain GMP, pra-syarat lainnya adalah supplier control, cleaning, sanitasi, staff training, pest control, hygienic water, serta keakuratan pencatatan data, validitas prosedur dan dokumentasi. Diperlukan kerja yang sangat keras dan komitmen yang amat kuat demi tersedianya pangan yang aman dan berkelanjutan.

          Maraknya insiden keracunan makanan perlu dijadikan alarm serius atau semacam wake-up call untuk memperkuat kesadaran akan pentingnya keamanan pangan, guna terus meminimalkan jumlah kasus dan tingkat keparahan atau severity-nya.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img