spot_img
Wednesday, June 18, 2025
spot_img

Mulanya Dicibir, Tapi Karyanya Dibeli Prabowo Subianto dan Diapresiasi Hermes

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Rahmi Masita Prihatiningtyas, Perajin Batik Organik Bermotif mangrove

Pengalaman dicibir sudah biasa dirasakan Rahmi Masita Prihatiningtyas, perajin Batik asal Buring, Kedungkandang, Kota Malang yang mengembangkan batik organik atau ramah lingkungan. Wanita yang sempat menghabiskan waktu cukup lama di Aceh dan Sumatera Utara itu mengembangkan batik bermotif mangrove yang dulu sering ia temui disana.

MALANG POSCO MEDIA– Ketika kembali ke Kota Malang, ia lalu mengembangkan dan memasarkan  batik organik dengan bahan mangrove. Respons pasar ternyata tidak sebagus yang ia sangka. Sebaliknya banyak yang mencibir karya batiknya.

“Dulu itu macam-macam omongannya. Orang-orang itu kan dulu terbiasa dengan batik yang warnanya terang. Nah batik kami karena menggunakan warna ekstrak dari kayu mangrove itu warnanya cokelat. Ada yang bilang batiknya ‘mbladus’ (kusam, red), dan macam-macam,” kenang Rahmi berkaca-kaca.

Beruntung, cibiran dan komentar negatif itu tidak sampai membuat Rahmi patah semangat untuk berkarya. Dengan ketekunan dan konsistensi, serta mengusung semangat ramah lingkungan,   karya Rahmi akhirnya banyak dilirik tokoh tokoh ternama.

Misalnya seperti Presiden RI Prabowo Subianto, pernah membeli batik organik miliknya semasa menjabat Menteri Pertahanan. Tidak hanya itu, juga ada Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Arumi Bachsin, beberapa duta besar juga telah membeli dan mengakui batik karyanya. Bahkan, batik organik ini pernah dipasarkan ke mancanegara, seperti Singapura, Malaysia, Filipina, dan beberapa negara Eropa.

Istimewanya, batik dengan memanfaatkan bahan dan motif mangrove ini sampai menarik perhatian brand ternama Hermes. Pada 2013 ia diundang ke Paris dan memberikan hadiah berupa batik organik miliknya karena Hermes tertarik dengan semangat konservasi mangrove yang ia lakukan.

Perjalanan batik organik milik Rahmi ini bermula sekitar 2006. Saat ia tengah berada di Medan, Sumatera Utara. Rahmi yang sejak awal memang pegiat lingkungan menghabiskan banyak waktunya untuk konservasi mangrove. Dari rumahnya, perlu waktu dua jam untuk ke lokasi mangrove.

Suatu ketika, ada rekannya terkena getah mangrove dan menempel di bajunya. Ketika dicuci, ternyata nodanya tidak hilang dan menempel kuat di bajunya. Momen itulah yang menjadi inspirasi bagi Rahmi untuk mengembangkan batik organik berteman mangrove saat pulang ke Malang.

“Untungnya saya sebelumnya dulu juga pernah belajar batik dan memang senang dengan batik. Belajarnya kemana-mana, dari Jogja, Solo sampai Pekalongan. Butuh tiga tahun lebih saya belajar itu,” ungkap Arek Malang asli ini.

Saat tiba di Malang, ia pun langsung mengembangkan usahanya dengan karya seni berupa batik organik. Sesuai semangat organik, semua bahannya menggunakan bahan alami atau non kimiawi.

Untuk mendapatkan warna alami dari mangrove, ia merebus kayu mangrove selama beberapa jam. Air dari rebusan kayu yang telah menyusut dan agak kental kemudian digunakan untuk bahan pewarnanya. Sementara untuk motifnya, juga didesain gambar-gambar mangrove.

“Warnanya memang agak cokelat kalau dari mangrove. Warnanya bisa keluar, salah satunya tergantung kainnya. Kalau kain sutra, cukup lima kali celupan sudah keluar warnanya dan sudah bagus. Kalau kain lain perlu sampai 10 kali,” ungkap wanita kelahiran 29 April 1963 ini.

Selain mengusung semangat ramah lingkungan, Rahmi juga memberdayakan warga setempat untuk mengembangkan batik organiknya. Ia merekrut sejumlah warga dan rela mengajari satu per satu agar menguasai kemampuan membatik dengan canting asli. Semuanya dikerjakan di Griya Batik Organik yang berlokasi di Jalan Mayjen Sungkono Gang 3, Buring Kedungkandang Kota Malang.

Bukan batik cap atau bahkan batik sublime yang langsung jadi dan dijual murah.

“Kekurangannya kalau dengan mencanting ya memang butuh waktu agak lama. Per bulan itu kami pernah produksi hanya tujuh sampai delapan kain. Ukurannya sekitar 2,5 meter kali 1,05 meter. Tapi dari segi harga otomatis lebih mahal, dari ratusan ribu sampai jutaan,” beber dia.

Usaha batik Rahmi pun terus mengalami perkembangan. Sekitar tahun 2010, ia sudah mulai diajak untuk pameran ke berbagai kota. Lalu beberapa tahun kemudian, ia juga diajak pameran ke berbagai negara seperti Slovakia, Serbia, Perancis dan sebagainya. Bahkan batik karyanya pun beberapa kali ditampilkan di event fashion show di luar negeri karena batiknya yang saat itu sudah berciri eksklusif dan premium.

Batik organik milik Rahmi pun tergabung dengan Yayasan Gajah Sumatera (Yagasu) karena memiliki semangat yang sama. Bahan baku mangrove untuk produksi batiknya juga dipasok melalui yayasan tersebut. Terutama mangrove dari Probolinggo dan Gresik.

“Alhamdulillah kalau bahan baku aman. Tapi tantangannya itu kalau kami adalah motif mangrove. Orang Jawa kan masih suka motif asli Jawa seperti parang dan sebagainya. Kalau mangrove kan kombinasi terumbu karang dan mangrove, belum terlalu populer saja,” sebut dia.

Pemasaran batik organik pun, sampai saat ini juga masih didominasi pasar luar kota. Seperti Bandung, Jakarta hingga Medan. Sementara untuk di dalam kota, terutama Jawa Timur tidak sebesar penjualan ke luar kota.

Namun demikian, Rahmi optimis hasil karyanya bakal terus mewarnai industri batik di Indonesia dan bisa mengharumkan nama bangsa. Sampai saat ini, Rahmi pun masih terus aktif mengikuti pameran dan mengenalkan karyanya kepada masyarakat mancenegara.

“Yang terdekat ini nanti agendanya pameran ke Osaka Oktober nanti. Makanya itu kami sekarang juga sedang berinovasi membuat kemasan batik berupa kardus yang dibuat dari daur ulang. Mulai dari kemasan hingga produk jadi, memang harus sustainable. Jepang sangat strength (ketat) kalau tentang itu,” ucap alumnus  S1 Akuntansi STIEKN Jaya Negara tersebut.

Rahmi pun berharap, dengan karya batik organiknya, selain menyebarkan semangat ramah lingkungan, juga bisa menginspirasi banyak orang untuk berkarya dan membuat batik. Ia yakin ide, gagasan dan kemampuan anak bangsa tidak kalah dengan orang orang mancanegara.

“Kalau saya sendiri hanya berharap batik ini bisa semakin berkembang, bisa semakin membawa berkah ke banyak orang. Tapi kalau secara umum, saya berharap batik bisa terus berkembang. Apalagi generasi muda makin canggih, bahkan kemarin ada yang memaparkan batik dengan AI (Artificial Intelligent),” pungkasnya. (ian/van)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img

RP8888