Inilah salah satu tren yang sejak beberapa waktu happening. Tren ini adalah pelari kalcer. Fenomena lari namun tak sekadar sebagai aktivitas olah raga, tetapi juga demi feshen (fashion). Perpaduan antara olahraga gerak tubuh dan penampilan ini muncul karena dipicu oleh niat demi konten media sosial (medsos). Fenomena maraknya pelari kalcer muncul sebagai gaya hidup kekinian besutan medsos.
Medsos telah berulang kali memunculkan istilah baru. Seperti halnya dengan istilah “skena” yang jadi tren sebelumnya, kali ini lahir “kalcer” sebagai istilah baru. Kata “kalcer” merupakan singkatan “kali lari cepat.” Istilah ini digunakan dengan nada bercanda atau ironis, untuk menggambarkan seseorang yang antusias berlari namun lebih mengedepankan penampilan modis, perlengkapan lari terbaru, dan demi konten medsos.
Menurut Handoko Hendroyono, istilah “kalcer” merepresentasikan subkultur urban yang menggabungkan olahraga dengan fashion dan gaya hidup, mirip dengan fenomena “Kawai” di Jepang, di mana estetika menjadi pusat identitas sosial. Pelari kalcer bukan hanya pelari, tetapi mereka adalah bagian dari subkultur yang memproyeksikan citra diri melalui penampilan, bukan sekadar kebugaran.
Tren pelari kalcer ini ditangkap oleh sejumlah penyelenggara event olahraga di beberapa daerah. Kompetisi lari jarak pendek sejauh 5 atau 10 kilometer, atau half marathon (sekitar 21,1 km) sering digelar. Peserta kegiatan ini pun membeludak. Ini bukan sekadar ajang lomba lari biasa, namun telah menjadi ajang bertemunya antara olahraga, tren fashion, sport photography, dan konten medsos.
Dalam sejumlah ajang lomba lari ini tak hanya pemenang yang mendapatkan trofi atau medali. Biasanya setiap peserta yang berhasil masuk garis finish, walaupun bukan yang pertama, kedua, atau ketiga, mereka tetap dikalungi medali. Biasanya medali itulah yang jadi target peserta buat flexing konten medsos mereka. Tak sedikit pemburu medali lari ini yang memajang koleksi medalinya di berbagai akun medsosnya.
Kebutuhan atau Demi Konten?
Fenomena pelari kalcer sejatinya kaitan antara olahraga, konsumerisme, dan gaya hidup yang berkelindan jadi satu. Aneka produk bermerek (branded) yang dibeli dan dipakai para pelari seperti Adidas dan Nike sebenarnya lebih dari sekadar barang perlengkapan untuk lari. Lari tak hanya sarana menjaga kebugaran fisik tetapi juga tentang estetika, simbol impian, gengsi, status sosial dan demi konten medsos.
Instagram, TikTok, dan aplikasi seperti Strava, Nike Run Club, Adidas Running, dan Runkeeper berperan besar dalam memicu dan memopulerkan tren pelari kalcer. Melalui aneka filter yang menonjolkan estetika, foto-foto pelari yang tampil modis dan stylish menjadi viral. Algoritma medsos juga secara tak langsung mendorong pengguna untuk mengikuti standar visual yang telah ditetapkan oleh para influencer.
Para pelari kalcer tak jarang membagikan lari yang dilakukannya lewat sejumlah aplikasi digital. Jadilah lari tak sekadar aktivitas olahraga namun juga bisa jadi ajang pamer atas beragam “kehebatan” yang dicapai seseorang, baik secara fisik maupun secara finansial lewat beragam produk bermerek yang mereka kenakan saat berlari. Dalam situasi ini tak jarang lari tak dilakukan demi tuntutan atau kebutuhan untuk hidup sehat, namun juga demi konten medsos.
Walaupun demikian, lewat tren lari kalcer bisa meningkatkan kesadaran, memberi inspirasi dan motivasi, mendukung gaya hidup sehat, menggelorakan partisipasi dalam event olahraga lari, dan pemanfaatan teknologi komunikasi. Guna menyeimbangkan antara kebutuhan lari untuk tujuan kesehatan dan kebutuhan demi konten perlu sikap bijak dari setiap orang yang mengikuti tren ini.
Konsumerisme Simbolik
Konsumerisme simbolik dalam fenomena pelari kalcer dapat dijelaskan bagaimana produk yang dibeli oleh para pelari kalcer tak hanya guna memenuhi fungsi praktis, namun juga jadi sarana untuk memproyeksikan identitas dan status sosial. Produk-produk dari merek ternama seperti Nike dan Adidas lebih dari sekadar barang namun sebuah simbol impian dan aspirasi yang dikonstruksikan melalui strategi pemasaran.
Tak sedikit para pelari kalcer termotivasi oleh keinginan agar diterima dan dianggap sebagai bagian dari kelompok bergengsi yang selalu mengikuti tren terkini. Sesungguhnya di tengah tren ini para pelari sering memandang harga tinggi sebagai indikator kualitas atau status. Banyak pelari kalcer percaya bahwa memiliki perlengkapan bermerek bukan hanya soal kenyamanan atau peningkatan performa, tetapi juga untuk memenuhi standar estetika yang berlaku dalam komunitas lari yang fashionable.
Tren pelari kalcer ini berpotensi menciptakan masyarakat menjadi lebih sehat dengan gaya hidup sehat, namun tak menutup kemungkinan justru dapat menjadikan masyarakat terjebak dalam lingkaran budaya konsumerisme yang tidak produktif. Seperti umumnya tren yang dibawa oleh media kekinian, menyikapi fenomena ini perlu sikap kritis, kejernihan berfikir, dan kewaspadaan.
Fenomena pelari kalcer tetap punya dampak positif. Setidaknya tren pelari ini bisa jadi pelopor dalam menujukkan bagaimana teknologi dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja lari, melacak kemajuan, dan menetapkan tujuan. Pelari kalcer tak hanya membantu memopulerkan olahraga ini, tetapi juga mendorong inovasi dan menginspirasi orang lain agar melakoni healthy lifestyle. (*)