Kebutuhan personal hygiene harus terpenuhi oleh setiap individu mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki, personal hygiene memiliki banyak jenis, salah satunya adalah kebersihan gigi dan mulut (oral hygiene). Oral hygiene atau kebersihan gigi dan mulut adalah tindakan untuk membersihkan dan menyegarkan mulut, gigi dan gusi.
Berdasarkan data dari Kemenkes (2014) target Rencana Aksi Nasional (RAN) pelayanan kesehatan gigi dan mulut tahun 2020-2025, antara lain anak umur 12 tahun mempunyai tingkat keparahan kerusakan gigi (Indeks DMF-T) kurang dari atau sama dengan 1,14. Provinsi Jawa Timur termasuk dari tiga provinsi yang mengalami peningkatan masalah gigi dan mulut tertinggi di Indonesia.
Penyebab timbulnya masalah kesehatan gigi dan mulut salah satunya yaitu faktor perilaku yang mengabaikan kesehatan gigi dan mulut. Hal tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan, sikap dan tindakan mengenai pentingnya menjaga kesehatan gigi. Edukasi kesehatan gigi dan mulut penting dilakukan, karena dapat menumbuhkan kebiasaan yang cenderung dapat menjadi perilaku menetap sampai dewasa. Salah satunya adalah kebiasaan menjaga kebersihan gigi dan mulut.
Salah satu sasaran dari edukasi kesehatan gigi adalah usia remaja awal 12-13 tahun sehingga dapat menumbuhkan perilaku menjaga kebersihan gigi dan mulut sedari dini. Remaja awal yang tinggal di pondok pesantren mengalami penyesuaian dengan situasi dan kondisi pondok pesantren. Berdasarkan hasil observasi didapatkan informasi melalui wawancara tidak terstruktur antara peneliti dan ustadzah bagian UKP (Unit Kesehatan Pondok) ponpes Baitul Manshurin mengeluhkan adanya para santri pondok yang mengalami gigi berlubang, bernafas tidak sedap, sering sakit gigi mengakibatkan tidak konsentrasi saat pelajaran. Para santri rata-rata melakukan gosok gigi 1 kali sehari saat mandi pagi dan gerakan dalam menggosok gigi secara horizontal dari kiri ke kanan, jumlah santri yang mengalami sakit gigi sebanyak 10% dari jumlah keseluruhan. Harapannya dapat diatasi dengan pemberian edukasi kesehatan agar kejadian gigi berlubang, nafas tidak sedap dan sering sakit gigi tidak terjadi kembali diperlukan “Upaya Peningkatan Perilaku Kebersihan Gigi dan Mulut Pada Santri Pondok Pesantren Baitul Manshurin Mangliawan Pakis Kabupaten Malang”.
Karakteristik sumber informasi santri tentang kebersihan gigi dan mulut pernah diperoleh 53,3% melalui sosial media. Media sosial yang sering diperololeh berupa modul elektronik, video, poster yang diakses melalui WhatsApp. Dari sini peneliti mempertimbangkan pembuatan media modul elektronik dan video dengan harapan media tersebut dapat diterima dan bisa mempengaruhi perubahan pengetahuan dan perilaku santri dalam kebersihan gigi dan mulut.
Sebelum dilakukan edukasi, perilaku menggosok gigi kategori baik masih 26,50%, sesudah diberikan edukasi terjadi perubahan menjadi 94,10%. Perilaku menggosok gigi santri sebelum dan sesudah diberikan edukasi dengan media video mengalami peningkatan 67,6%. Hasil nilai mean pada saat sebelum diberi edukasi 3,94 dan sesudah diberi edukasi 5,18. Standar devisiasi saat sebelum edukasi 0,814 dan saat sesudah edukasi 0.521. Hasil test statistik Uji Wilcoxon signed rank test didapat nilai 0,000 < 0,05, artinya ada perubahan/ada pengaruh perilaku sebelum dan sesudah dilakukan edukasi mandiri dengan media video. Dari Skor/Nilai tertinggi sebelum edukasi 83,33 sedangkan nilai terendah sebelum edukasi 33,33. Nilai tertinggi sesudah edukasi 100 sedangkan nilai terendah sesudah edukasi 66,66. Peran pembina UKP (ustadz/ustadzah) dalam edukasi menggunakan media video sangat mempengaruhi perilaku santri dalam kebersihan gigi dan mulut, adapun teknik pelaksanaan pemberian edukasi dilakukan secara berkelompok santri putra dengan ustadz dan santri putri dengan ustadzah.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sahihsinda Kurnia Ardita di Kepanjen Malang yakni terdapat perbedaan pengetahuan sebelum dan sesudah edukasi dengan menggunakan media modul elektronik. Media modul elektronik memiliki kelebihan salah satunya warna dan huruf lebih jelas dibandingkan jika modul dalam bentuk cetak. Penelitian ini identik dengan penelitian Rafika dkk yakni pemberian informasi melalui modul elektronik menghasilkan peningkatan pengetahuan. Pemberian informasi melalui modul elektronik lebih mudah dipahami dibanding tanpa menggunakan media, sehingga menumbuhkan pemahaman responden.
Hasil penelitian ini juga sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Enjelita M. Ndoen dan Helga J. N. Ndun bahwa perubahan perilaku menggosok gigi pada anak dengan menggunakan media audiovisual, anak-anak lebih tertarik pada animasi bergerak dan warna yang menarik. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Jusuf Kristianto dkk di Jakarta bahwa pemberian video dapat meningkatkan kebersihan gigi dan mulut dan terjadi peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Notoatmodjo mengatakan perilaku merupakan keseluruhan pemahaman dan aktivitas individu dimana ini adalah hasil bersama antara faktor yang berasal dari dalam diri seseorang (internal) dan faktor yang berasal dari luar diri seseorang (eksternal).
Faktor dari dalam seseorang dipengaruhi oleh keinginan, kemauan dan pemahaman terhadapat pentingnya kebersihan gigi dan mulut dengan cara menggosok gigi, faktor yang berasal dari luar dipengaruhi oleh dorongan orang lain. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, perubahan perilaku santri terjadi setelah diberikan edukasi oleh ustadz/ustadzah yang diberdayakan/yang sebelumnya telah dilatih untuk memberikan edukasi kesehatan, edukasi dilakukan dengan menggunakan media video edukasi yang menjelaskan kebersihan gigi dan mulut serta langkah-langkah menggosok gigi yang benar.
Perilaku menggosok gigi santri sebelum diberikan edukasi dengan media video mengalami perubahan yang baik, sesuai hasil Uji Wilcoxon signed rank test didapat nilai p 0,000 < α 0,05 artinya ada pengaruh perilaku menggosok gigi santri setelah dilakukan edukasi dengan menggunakan media video di Pondok Pesantren Baitul Manshurin Pakis Kabupaten Malang. (*/nda)