spot_img
Thursday, July 3, 2025
spot_img

Ingat Pesan Orang Tua, saat Tampil Wajib Diiringi Gamelan secara Live

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Sapto Tunggul Wulung Kota Batu Masuk 10 Pelestari Kesenian Reog 

Warga Kota Batu patut berbangga. Pasalnya selain terkenal dengan sektor pariwisata dan pertanian,  juga seni budaya. Terbaru kelompok kesenian Sapto Tunggul Wulung dari Kota Batu ikut tampil dalam Festival Nasional Reog Ponorogo 2025.

MALANG POSCO MEDIA– Tak hanya tampil di Festival Nasional Reog Ponorogo 2025. Kelompok kesenian Sapto Tunggul Wulung Kota Batu yang didirikan Sunarto ini juga diganjar penghargaan sebagai salah satu Pelestari Kesenian Reog dalam festival  yang digelar  22 Juni lalu itu.

Penghargaan tersebut tentunya membawa kebanggaan tersendiri. Sekaligus membuktikan bahwa Kota Batu memiliki kekayaan luar biasa di bidang seni budaya. Mengingat di tengah-tengah gempuran modernisasi dan akulturasi budaya, kesenian Reog masih tetap eksis di Kota Batu hingga saat ini.

Sunarto, pendiri Kelompok kesenian Sapto Tunggul Wulung Kota Batu menceritakan bahwa Sapto Tunggul Wulung lahir pada 1 Mei 2009. Jauh sebelum ia mendirikan kelompok kesian tersebut, Narto sapaan akrabnya bergabung dengan kelompok kesenian Reog Sardulo Seta di Kelurahan Sisir Kota Batu.

“Sebelum mendirikan Sapto Tunggul Wulung saya pernah tergabung di Reog Sardulo Seto, Kelurahan Sisir sebagai penari dadak merak sejak tahun 1998. Saat itu kami telah empat kali ikut Festival Reog Nasional di Ponorogo bersama Sardulo Seto,” ungkap Narto mengawali ceritanya kepada Malang Posco Media.

Lebih lanjut, seniman asal Desa Sumberejo, Kecamatan Batu, Kota Batu ini  mengatakan keaktifannya itu karena alm orang tuanya berasal dari Ponorogo.

Alm  bapak  orang Ponorogo yang dikenal dengan nama Mbah Marto Samidi alias Mbah Jegeg. Saat ia kecil, sang bapak berpesan agar anaknya bisa melestarikan kesenian reog.

Orang tua Narto, dulu seorang keturunan warok dan juga seniman tukang slompret reog serta jaranan sekaligus pemain wayang orang.

“Bapak saya pernah berpesan agar ketika saya dewasa bisa membeli barongan sendiri. Berangkat dari sini karena bapak adalah orang Ponorogo maka muncul dari hati niatan untuk mendirikan Reog Sapto Tunggul Wulung,” kenangnya.

Saat memulai untuk mendirikan Reog Sapto Tunggul Wulung, Narto dibantu Alm Mas Miswan Widodo atau Mas Iwan. Orang Semanding Sumoroto yang merupakan pelatih tari Narto di Sardulo Seto.

“Mas Iwan adalah orang yang mencarikan nama Sapto Tunggul Wulung yang sampai saat ini masih tetap eksis,” ujar pria yang juga Ketua Dewan Kesenian Kota Batu ini.

Tak hanya mendirikan komunitas Reog Sapto Tunggul Wulung. Kelebihannya reog yang ia miliki dengan berbagai ukuran, mayoritas dia rakit sendiri.

Bergelut di dunia seni budaya, diungkap Narto memiliki banyak tantangan. Apalagi untuk bisa melestarikan sebuah seni budaya harus berani berkorban.

“Cara Sapto Tunggul Wulung agar tetap eksis adalah semangatnya. Contohnya setiap kali ada yang ingin bergabung dengan kami, semangatnya adalah semangat pelestarian sesuai pesan alm Mbah Jegeg dulu,” kenangnya.

“Pesan yang masih saya ingat dan pegang adalah ‘ojo golek urip neng reog tapi uripono reog, Insya Allah rejeki tekane soko ngendi-ngendi’. Dan itu sudah saya buktikan kepada adik-adik saya yang sampai saat ini masih aktif Sapto Tunggul Wulung,” terang Narto.

Saat ini sejumlah 45 orang bergabung di Sapto Tunggul Wulung. Dengan sekitar 20 orang terbilang pasif karena pekerjaannya.

Di tengah-tengah modernisasi saat ini, Narto juga masih kukuh  untuk tidak menggunakan iring-iringan MP3 setiap kali tampil. Karena ia sangat ingin mempertahankan tradisi dan wajib hukumannya bagi Sapto Tunggul Wulung dengan tetap menggunakan iringan gamelan live.

“Ini sebagai wujud kita tetap teguh melestarikan gamelan reog. Meskipun pada akhirnya tidak sedikit juga kita harus menolak job dengan iringan Mp3 apalagi dengan sound horeg,” tegasnya.

Dengan prinsip yang dipegangnya tersebut membuat Sapto Tunggul Wulung tetap eksis hingga sekarang. Termasuk penghargaan yang ia raih sebagai pelestari reog dalam Festival Nasional Reog Ponorogo 2025.

Untuk bisa meraih prestasi tersebut ada kriteria yang harus diikuti. Di antaranya garapan reog harus versi bantarangin. Serta yang tergabung dalam Sapto Tunggul Wulung 100 persen, baik penari dan seniman lokal Mbatu.

Di sisi lain, untuk bisa ikut Festival Nasional Reog Ponorogo 2025, Sapto Tunggul Wulung harus mengeluarkan modal sendiri. Biaya itu ia dapat dari hasil urunan anggota, tabungan dari hasil pentas selama satu tahun dan dari beberapa donatur.

“Totalnya biaya yang kita keluarkan untuk bisa berpartisipasi untuk operasional mulai dari persiapan dan lainnya mencapai Rp 27 juta. Itu termasuk biaya paling minim dengan lainnya,” tandasnya. (eri/van)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img