Indonesia tengah menghadapi transisi demografi menuju populasi yang semakin menua (aging population), diperkirakan lebih dari 20 persen penduduk akan berusia di atas 60 tahun pada 2045. Perubahan ini membawa tantangan besar, khususnya bagi sistem kesehatan nasional, termasuk meningkatnya kasus sarcopenia, yakni penurunan massa dan kekuatan otot akibat penuaan. Kondisi ini berdampak serius pada kualitas hidup lansia, meningkatkan risiko jatuh, kecacatan permanen, serta ketergantungan terhadap layanan kesehatan dan jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan.
Jika tak diantisipasi, sarcopenia akan menambah beban ganda (compound burden) bagi sistem kesehatan: dampak penuaan biologis dan lemahnya kesiapan struktural yang masih kuratif. Tanpa pergeseran paradigma ke arah pencegahan, kombinasi lansia menua dan fisik melemah akan mengancam keberlanjutan sistem secara medis, sosial, dan fiskal.
Sebagai respons, pemerintah telah menerbitkan Perpres No. 88 Tahun 2021 tentang Strategi Nasional Kelanjutusiaan, yang menekankan kesejahteraan dan kemandirian lansia. Namun, meskipun peringatan Hari Lanjut Usia Nasional 2025 mengusung tema “Lansia Bahagia, Indonesia Sejahtera,” isu sarcopenia ironisnya masih belum menjadi prioritas utama dalam kebijakan dan praktik pelayanan kesehatan di Indonesia.
Risiko Kematian
Ungkapan yang terkesan seperti sebuah guyonan “mulailah angkat beban kini, agar tak jadi beban nanti” tetaplah menyiratkan pesan serius: latihan beban efektif membentuk massa otot (hypertrophy) dan menjadi cara ampuh untuk tetap bugar hingga usia lanjut.
Hasil “riset kasta tertinggi”, penelitian yang menggunakan metodologi systematic review and meta-analysis, mengonfirmasi isi pesan di atas. Berdasarkan bukti empiris dan kajian ilmiah, indeks massa otot (skeletal muscle mass index/SMI) merupakan prediktor risiko kematian (mortality risk) dan umur panjang (longevity).
Associate Professor Tan Thai Lian, seorang Geriatrician, Society Geriatric Medicine (Singapore), menegaskan pentingnya otot untuk mobilitas. Sejak usia 40, tubuh mulai kehilangan sekitar 8 persen massa otot tiap dekade. Jika kurang bergerak, penurunan ini bisa makin cepat, berujung pada ketergantungan kursi roda atau tempat tidur (chair or bed bound).
Sarcopenia sejatinya dipicu oleh beragam faktor, utamanya menurunnya aktivitas fisik, perubahan hormon, asupan nutrisi yang tidak memadai, serta faktor-faktor lain yang berkaitan dengan proses penuaan. Dampaknya sangat besar terhadap kualitas hidup, membatasi mobilitas, mengurangi kemandirian, dan meningkatkan risiko cedera.
Berita bagusnya, bila aging atau penuaan tidak bisa dihindari (inevitable), sebaliknya kehilangan massa dan fungsi otot bisa ditahan, jika kita serius mulai melakukan aksi untuk mencegahnya. “We don’t need to stop moving just because we’re old — in fact, we are getting old because we stop moving.”
Menjaga tubuh dengan tetap aktif bergerak, terutama melalui latihan kekuatan otot (strength training) dan latihan kardio untuk meningkatkan kesehatan jantung dan kapasitas paru-paru (cardio/aerobic training) serta diet yang tepat, dapat membantu kita menjalani proses penuaan dengan sehat dan bermartabat, kerap disebut sebagai ageing gracefully.
Riset bertajuk ”Low skeletal muscle mass index and all-cause mortality risk in adults: A systematic review and meta-analysis of prospective cohort studies” (Wang, Yahai, et al., 2023)menyimpulkan bahwa massa otot yang rendah secara signifikan berasosiasi dengan peningkatan risiko kematian akibat segala penyebab (all-cause mortality).
Perlu dipahami bahwa “berasosiasi” tak selalu berarti sebab-akibat. Namun temuan riset ini cukup kuat untuk mendorong upaya mencegah hilangnya massa otot demi menurunkan risiko kematian dan mendorong umur panjang yang sehat.
Hasil riset itu juga menyebutkan “rasio risiko” atau relative risk (RR) adalah sebesar 1,57. Artinya kelompok dengan massa otot rendah memiliki 57 persen lebih tinggi risiko kematian dibandingkan kelompok dengan massa otot normal. Hal ini seturut dengan hasil penelitian Srikanthan (“Muscle mass index as a predictor of longevity in older adults”, 2014), yang menegaskan bahwa indeks massa otot mampu memprediksi kelangsungan hidup responden.
(Tidak) Harus ke Gym
Membangun massa otot sering dianggap harus dilakukan di gym dengan peralatan berat, personal trainer, dan program latihan mahal. Akibatnya, banyak orang enggan memulai karena terasa rumit serta mahal.
Tanpa akses ke gym, secara mandiri olahraga dengan berat badan sendiri seperti kalistenik (calisthenics) tetap efektif membentuk massa dan kekuatan otot serta meningkatkan kekuatan fungsional dan stabilitas tubuh. Latihan ini meliputi push-up, pull-up, squat, plank, lunges, dan dips asal dilakukan dengan benar dan konsisten. Kalistenik sangat fleksibel dan bisa dilakukan di mana saja tanpa alat atau biaya khusus.
Penuaan adalah sesuatu yang alamiah dalam kehidupan. Namun, yang lebih utama adalah bagaimana kita merawat diri seiring bertambahnya usia. Dengan meningkatkan massa otot melalui latihan beban teratur dan diet sehat, maka kualitas dan harapan hidup meningkat serta risiko cedera dan risiko kematian akan semakin berkurang. “No matter your age or your past—it’s never too late to be strong. Start today. Invest in your health.” (*)