Thursday, August 28, 2025

Bukan Sekadar Seragam dan Buku Baru

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Libur semester telah usai. Anak-anak usia sekolah tentu telah bersiap dan bersemangat memulai hari pertama masuk sekolah, di tahun ajaran baru. Demikian pula untuk mereka yang telah menyelesaikan jenjang sekolah dan kini bersiap memasuki tahap pendidikan yang lebih tinggi.

Menjelang masuk sekolah, banyak keluarga sibuk mempersiapkan berbagai kebutuhan. Mulai dari seragam, alat tulis, hingga perlengkapan sekolah lainnya, sebagai bagian dari rutinitas awal tahun ajaran. Suasana pusat perbelanjaan dan toko buku terasa ramai oleh orang tua dan anak-anak yang berburu perlengkapan sekolah. Antusiasme sangat terasa, seolah awal tahun ajaran adalah momen spesial yang harus disiapkan dengan baik dan maksimal.

Apakah semua perlengkapan yang telah disiapkan cukup menjadi jaminan kesiapan anak menghadapi fase pendidikan berikutnya yang penuh tantangan? Secara fisik, semua perlengkapan dapat menjadi standarisasi persiapan menjelang tahun ajaran baru, terutama pada awal saja.         Kesiapan fisik memang membantu anak menjalani hari-hari awal sekolah. Tetapi kesiapan mental adalah bekal jangka panjang yang menentukan bagaimana anak menghadapi dinamika pembelajaran, tekanan sosial, hingga proses mengenal diri dan potensinya.

Kesiapan Mental Anak

Tahun ajaran baru bukan sekadar soal seragam, buku, atau perlengkapan baru semata. Tentu ada hal lain yang lebih penting untuk dipersiapkan dalam memulai petualangan di tempat baru. Khusus untuk siswa baru yang akan masuk jenjang lebih tinggi. Yaitu dari TK ke SD, SD ke SMP, atau SMP ke SMA/SMK dihadapkan pada tantangan adaptasi yang lebih signifikan.

Mereka memasuki dunia yang lebih kompleks, dengan ekspektasi akademik dan sosial yang lebih tinggi. Tentu juga membutuhkan kesiapan mental yang lebih dari sebelumnya. Kesiapan mental ini tidak dapat terwakili oleh kepemilikan seragam dan buku baru. Tetapi dapat dibentuk melalui kepercayaan diri anak, dukungan orang tua, pengalaman sosial di jenjang sebelumnya, juga kemampuan bersosialisasi dengan lingkungan baru.

Perlu dipahami bahwa kesiapan anak untuk menghadapi sekolah tidak cukup hanya dari sisi fisik. Tidak banyak disadari oleh para orang tua, bahwa hal yang tidak terlihat justru jauh lebih penting, yaitu kesiapan mental, motivasi, sikap, dan dukungan emosional. Dalam studi Britto et al. (2017) dalam The Lancet, menyatakan bahwa lingkungan keluarga, khususnya peran orang tua, merupakan ekosistem utama yang mendukung kesiapan anak untuk belajar.

Peran Orang Tua

Kesiapan mental anak dalam menghadapi situasi baru, dapat dibentuk dari dukungan orang tua, lingkungan dan sekolah. Salah satu yang sangat krusial adalah peran orang tua. Tahun ajaran baru adalah momentum untuk orang tua dalam membangun kembali komunikasi yang sehat dengan anak, menumbuhkan rasa percaya diri anak, serta menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar. Bukan hanya sibuk mempersiapkan barang-barang fisik yang baru, orang tua juga perlu memastikan psikologis anak.

Dukungan dari orang tua, untuk hal-hal sederhana juga sangat bermakna untuk anak. Bentuk dukungan itu dapat berupa menyiapkan rutinitas pagi sebelum berangkat, menceritakan hal-hal baik tentang sekolah, dan menyisipkan kata-kata penyemangat di bekal makan siang anak. Pada fase awal ini, anak akan merasa ‘memiliki kawan’  sejak dari rumah dan akan berpengaruh dalam menjalani hari-hari awal di sekolah.

Bentuk perhatian dan pendampingan dari orang tua sangat berpengaruh dan membantu meningkatkan rasa percaya diri anak. Orang tua yang terlibat dalam proses awal, juga lebih peka terhadap perkembangan anak, sehingga mereka dapat memberikan dukungan yang lebih tepat dalam aspek yang dibutuhkan, baik itu kognitif, sosial, atau emosional.(Ade Suhendar dkk., 2025).

Kolaborasi Rumah dan Sekolah

Sekolah memang menjadi tempat utama proses belajar mengajar, tetapi rumah tetap sebagai lingkungan belajar pertama dan paling penting. Oleh karena itu, kolaborasi antara rumah dan sekolah harus terus dibangun, terutama di awal tahun ajaran. Orang tua sebaiknya aktif terlibat dalam kegiatan orientasi sekolah, membuka komunikasi dengan wali kelas, serta memantau adaptasi anak di minggu-minggu pertama.

Di sisi lain, sekolah pun diharapkan tidak hanya fokus pada administrasi atau penyampaian kurikulum, tetapi juga memiliki program transisi yang memperhatikan kesiapan psikologis siswa, melalui aktivitas orientasi yang menyenangkan, sesi konseling, maupun penguatan relasi antarasiswa. Guru juga memiliki peran yang sangat penting dalam mempersiapkan transisi iklim belajar yang fleksibel dan bertahap, sehingga anak tidak mengalami kesulitan untuk beradaptasi.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ade Suhendar (2025) tentang mengukur kesiapan anak usia dini untuk masuk sekolah, diketahui terdapat tiga dimensi utama yang mendukung keberhasilan anak di lingkungan pendidikan formal, yaitu kognitif, sosial-emosional, serta fisik dan motorik.

Ketiganya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Namun aspek sosial-emosional tampak sebagai dimensi yang paling dominan dalam menentukan kesiapan anak. Ketiga dimensi tersebut dapat dibentuk oleh kolaborasi antara rumah dan sekolah. Tahun ajaran baru bukan sekadar kalender berganti, tetapi sebuah lembar awal yang menanti untuk ditulisi. Ketika sekolah memulai pelajaran, biarlah rumah tetap menjadi tempat belajar tentang keberanian, kasih sayang, dan semangat. Karena dari ‘guru’ di rumah, anak-anak akan berani melangkah, bukan hanya dengan tas baru di punggung, tetapi juga harapan dan kekuatan di dalam diri.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img