Kita hidup di masa serba cepat dengan teknologi yang semakin cerdas. Apa yang dulu terasa mustahil, kini dapat dilakukan dalam hitungan detik berkat hadirnya Artificial Intelligence (AI). AI telah merambah hampir semua sektor kehidupan: pendidikan, kesehatan, industri, komunikasi, hingga hiburan. AI bisa menulis, menggambar, mendiagnosa penyakit, mengelola data, bahkan menjawab pertanyaan kompleks.
Setiap tahun, semakin banyak profesi yang tergantikan oleh teknologi: kasir, customer service, hingga petugas entri data. Beberapa layanan dari profesi tersebut sudah tertangani dengan pengembangan teknologi pintar yang canggih, cepat, dan praktis. Namun, di balik kecanggihan itu, muncul pertanyaan mendalam.
Apakah kecerdasan hanya soal kecepatan dan ketepatan? Apakah segala hal harus diproses secara instan dan efisien? Bagaimana dengan proses tumbuh kembang manusia, terutama anak-anak dan pendidikan karakter mereka? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi sebuah renungan bagi kita untuk mencari refleksi menghadapi fenomena kecanggihan dunia saat ini.
Sebuah pepatah bijak mengatakan “ilmu tanpa adab ibarat pohon tanpa akar.” Ilmu yang tidak diiringi dengan budi pekerti, maka kebermanfaatannya tidak akan bertahan lama. Banyak yang semakin pandai berteknologi tapi tanpa hati nurani dan etika, maka perilaku penyimpang pasti akan banyak terjadi.
Di tengah kecanggihan AI, kita menyaksikan dampak negatif ketika teknologi disalahgunakan tanpa kendali moral. Penyebaran hoaks, pencurian data, penipuan digital, dan krisis empati yang merajalela. Banyak orang mengejar popularitas digital namun kehilangan kepekaan sosial. Terlalu fokus pada dunia digital dan mengabaikan hubungan nyata bisa menyebabkan krisis identitas dan mental.
Ada sisi lain yang tidak bisa ditinggalkan di tengah perkembangan kecanggihan ini. Sesuatu yang tidak bisa diprogram dengan coding, algoritma. Ini tidak bisa hanya dianalisis dengan data dan angka saja. Yakni, hati. Tentang rasa. Empati, peka, simpati, cinta dan kehangatan. Kecerdasan yang perlu seni asah, asih, dan asuh. Sentuhan ini dibutuhkan untuk tumbuh kembang kita sebagai manusia yang beriringan dengan perubahan peradaban. Melalui pendidikan hati.
AI pun sangat bermanfaat dalam kemajuan dunia pendidikan, terutama dalam personalisasi pembelajaran. Namun, pendidikan sejatinya bukan hanya mencerdaskan otak, tetapi juga membentuk karakter dan mengasah rasa. Teknologi tak boleh menjauhkan kita dari nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya, ia harus menjadi alat untuk mendekatkan kita pada esensi menjadi manusia.
AI mungkin bisa menghafal ribuan fakta, tapi hanya hati yang bisa mengerti makna tawa bahkan arti tangis dari seorang teman. AI bisa menyusun strategi canggih, tapi hanya hati yang bisa memilih untuk bagaimana manusia bisa memiliki rasa menyayangi keluarga, membalas kasih sayang Ibu, menghormati orang tua dan guru, serta menempatkan diri dalam tata karma. Itulah mengapa jika manusia kehilangan sentuhan hati, maka teknologi akan kehilangan arah.
Bukan artinya kita menolak era canggih saat ini. Justru hadirnya AI perlu kita pelajari. Tugas kita adalah mendampingi generasi muda agar tidak sekadar menjadi pengguna teknologi, tetapi menjadi manusia yang bijak di era digital. Kita perlu memastikan mereka tidak hanya terampil secara kognitif, tetapi juga cerdas secara emosional dan spiritual.
Kita bisa mulai dengan memberi contoh. Tunjukkan sikap bijak dan manusiawi dalam penggunaan teknologi. Ajak anak-anak berdiskusi, melakukan refleksi, dan memilah informasi. Buka ruang bermain dan komunikasi yang mampu menstimulus daya kritis mereka. Pastikan ada pendampingan saat mereka berselancar di dunia digital.
Dorong mereka untuk tidak hanya menjadi penikmat konten, tapi juga pencipta konten yang positif dan bermanfaat. Bersama di dunia nyata penting untuk diseimbangkan agar membantu membentuk empati dan kemampuan sosial generasi penerus kita. Banyak sekali cara memanfaatkan teknologi agar ke depan generasi kita menjadi lebih terarah tanpa mengesampingkan hati nurani.
Hal-hal lain yang lebih mindfulness adalah membangun ruang untuk ibadah dan berdoa. Ini menumbuhkan iman dan cinta yang baik dan benar. Spiritual dan sisi emosionalnya juga bertumbuh. Ini membantu mengembangkan koneksi batin dan kesadaran bahwa hidup bukan hanya tentang kecepatan dan data, tapi juga tentang makna.
Anak-anak akan belajar dari apa yang mereka lihat. Jika kita sendiri menunjukkan sikap bijak, hangat, dan manusiawi dalam menggunakan teknologi, maka mereka pun akan mencontoh hal ini. Kita adalah role model bagi generasi masa depan. Teknologi hanyalah alat. Tanpa bimbingan iman dan moral, teknologi hanya menjadi alat penghancur.
Maka tugas kita adalah menjadikan generasi penerus bukan sekadar konsumen, tapi manusia yang memanusiakan teknologi. Di dunia yang semakin digital ini yang paling dibutuhkan bukanlah teknologi yang lebih hebat, tapi manusia yang lebih bijaksana. Mari tumbuh bersama teknologi, bukan hanya cerdas, tapi juga berhati nurani.(*)