spot_img
Friday, July 18, 2025
spot_img

Hormati Fatwa MUI Berharap Ada Aturan Detail dari Pemda

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Sudah Ada Penyewa untuk Bulan Agustus

MALANG POSCO MEDIA – Penyedia jasa atau pengusaha sound di Malang angkat bicara. Mereka menghormati fatwa haram dari MUI. Namun demikian juga berharap ada aturan yang jelas dan detail. (baca grafis)

Apalagi mereka mengklaim hanya penyedia jasa. Memenuhi pesanan dari warga sebagai pemesan. 

Sebelumnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim  mengeluarkan fatwa haram bagi sound horeg dalam beberapa kriteria.

MUI Kabupaten Malang sendiri merujuk pada fatwa MUI Jatim  Nomor 01 Tahun 2025 tentang penggunaan sound horeg.

Penggunaan sound horeg diharamkan apabila mengganggu keamanan, mengganggu ketertiban umum, mengganggu kesehatan, dan merugikan orang lain.

Kemudian hal lain yang tidak diperbolehkan bila sound horeg didampingi laki-laki bercampur perempuan melakukan aksi joget-joget, apalagi sembari mengkonsumsi minuman keras (miras) dan berpenampilan tidak layak dan tak elok.

Ketua Paguyuban Sound Malang Bersatu David Stefan Laksamana menegaskan menghormati fatwa yang yang dikeluarkan MUI Jatim tersebut.

“Bagaimanapun bentuknya kami tetap menghormati apa yang dikeluarkan MUI. Apa yang dikeluarkan kami harus sendiko dawuh (patuh) dengan para kiai dan ulama,” jelas David.

Ia juga telah bertemu dengan MUI Jatim dan DPRD Jatim. Pada kesempatan itu, David juga menerangkan tentang realitas yang terjadi di masyarakat.

“Beliau yang di atas (pembuat kebijakan) hanya menilai dari sisi negatifnya saja dan yang di-up di media tidak ada sisi positif dari kegiatan sound horeg ini,” keluh David.

“Kemarin sudah saya jelaskan, sekarang sudah keluar fatwanya. Kalau menurut saya fatwa tersebut masih fair. Karena di situ ditulis kegiatan yang merusak dan menggangu,” sambungnya.

Owner Blizzard Audio Kecamatan Turen tersebut juga menegaskan, fatwa yang dikeluarkan MUI Jatim sejauh ini belum ada pengaruh terhadap penyewaan sound, termasuk pada sound miliknya.

“Kalau sementara ini tidak ada pengaruhnya bagi kami,” katanya. Ia  menguraikan bahwa, yang menyewa sound saat ini di area Malang dan sekitarnya seperti Blitar, Lumajang, dan Pasuruan. Bahkan untuk bulan Agustus mendatang tetap ada yang menyewa.

“Sementara ini untuk karnaval. Selain karnaval memang belum ada. Mungkin kan ada acara-acara, hajatan atau untuk yang lain,” tambah David.

Di sisi lain, pemilik usaha audio H  Shohibul Umam dari MHN Audio mengatakan  fatwa ulama terkait sound horeg agar tidak menjadi masalah berlarut di masyarakat.

Sosok yang akrab disapa Abah Shohin ini mengatakan bahwa dunia usaha persewaan sound baru saja pulih setelah terjun bebas saat pandemi Covid-19 lalu. Sebagai pelaku usaha, dirinya ingin pemda segera bersikap, memberikan batasan terhadap ‘penyewa’ jasa sound, agar tidak menjadi kebimbangan yang berlarut-larut.

“Fatwa MUI yang ada saat ini, artinya masih cukup luas. Seperti di Pati Jawa Tengah, tidak ada namanya sound horeg, tetapi diganti menjadi sound karnaval. Dan kemudian, ada batasan yang tegas. Fatwa ini tidak bisa dilihat secara mentah, karena efek dari dunia sound ini juga tidak melulu negatif, dan masih banyak yang positif,” ungkapnya saat dikonfirmasi Malang Posco Media, kemarin.

Ia  mengatakan, pembahasan terkait ini juga sepatutnya melibatkan lebih banyak pihak. Karena, maksud dari sound horeg ini bisa jadi karena penampilan joget-joget, atau hal lain yang memang tidak diperbolehkan, bukan soal sound system.

Menurutnya, sejumlah keputusan masih berlarut-larut. Pihak Pemda harus segera memutuskan, karena sound ini juga kerap digunakan untuk hal positif. Beberapa kegiatan kajian hinggan shalawat bersama, juga menggunakan sound. Saat ini ada kebimbangan dan keraguan bagi masyarakat dan pengusaha sound system.

Abah Shohib juga mengaku prihatin karena para pelaku usaha rental sound kerap menjadi kambing hitam. Ia menyebut sebagian besar operator hanya mengikuti pesanan dari masyarakat atau panitia acara yang menyewa alat mereka.

“Sound yang disalahkan, padahal kami cuma disewa. Tidak tiba-tiba datang sendiri, tapi disewa dan dibayar untuk acara. Kalau memang dilarang, harus ada aturan yang jelas, bukan setengah-setengah. Mana yang boleh dan tidak,” tegasnya.

Ia juga menyinggung masalah teknis seperti penggunaan subwoofer dan jumlah unit speaker yang dianggap berlebihan, saat digunakan untuk karnaval dan kegiatan di kawasan padat penduduk. Hal ini yang kerap jadi masalah, dan juga membuat getaran alias horeg.

“Kalau melihat milik teman-teman di Malang ini, kebanyakan pakai double sub (subwoofer). Kalau di Pati sudah jelas ada kewajiban tidak boleh melebihi 16 sub, sehingga kalau yang punya double hanya pakai delapan sub,” terang pemilik usaha asal Godanglegi itu.

Sementara ini, di Jawa Timur maupun Malang khususnya, belum ditegaskan adanya aturan seperti itu.

“Kalau memang harus dibatasi, tolong diberi aturan teknis yang jelas dan adil. Kemudian rapat menindaklanjuti agenda pertemuan dengan wagub dan perwakilan sound system beberapa hari lalu, harus segera ditindaklanjuti,” ujarnya.

Abah Shohib pun mengingatkan bahwa pelarangan tanpa sosialisasi yang tepat justru bisa menimbulkan gejolak. Ia menyebut, para pemilik sound di beberapa daerah sudah merencanakan aksi protes jika kebijakan dirasa tidak adil dan merugikan UMKM.

“Banyak pelaku usaha kecil menggantungkan hidup dari acara pengajian atau karnaval. Jangan sampai ada demo besar dari pelaku usaha dan teknisi sound karena merasa dimatikan usahanya,” katanya.

Sound horeg adalah istilah yang merujuk pada sistem audio berdaya tinggi yang digunakan dalam kegiatan masyarakat seperti hajatan, pengajian, dan karnaval, namun kerap dikritik karena tingkat kebisingannya yang dianggap mengganggu lingkungan. (den/rex/van)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img