spot_img
Monday, August 4, 2025
spot_img

Saatnya Pendidikan Berbudaya Bahari

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Berbagai terobosan baru telah diluncurkan oleh Presiden Prabowo untuk mewujudkan Asta Cita menuju Indonesia Emas khususnya dalam mengembangkan pendidikan berkualitas. Misalnya Revitalisasi 11.420 Sekolah, Pembangunan Sekolah Garuda, Program Makan Bergizi Gratis, hingga yang baru saja diterbitkan adalah Beasiwa Program Doktor untuk Dosen Indonesia (PDDI).        

Namun sepertinya ada satu variable penting yang terlupa dalam pengembangan sistem pendidikan di Indonesia. Yaitu fakta bahwa hampir 70 persen wilayahnya diselimuti lautan, namun mengapa pendidikan kita hanya berbasis di daratan?

Menurut Statistik Kewilayahan Nasional, luas wilayah perairan Indonesia mencapai 6,32 juta km2 atau sebesar 62 persen luas wilayah negara ini adalah perairan. Artinya sebagian besar anak Indonesia menghabiskan waktu mereka di laut dengan berbagai macam aktivitas.

Sistem pendidikan yang tidak adaptif terhadap kondisi geografi dan demografi penduduk Indonesia ini perlu dipertimbangkan oleh pemerintah untuk membangun sistem pendidikan yang ramah dan kontekstual untuk anak-anak pesisir.

   

          Sebagai bukti nyata realitas yang terjadi di tengah masyarakat, jagat sosial media pernah digemparkan dengan dua anak SD di Bone Sulawesi Selatan yang dengan berani menyeberangi Sungai Tangka untuk pergi ke sekolah. Kedua siswa tersebut bernama Muhammad Ammar Ramadhan dan Muhammad Rifki.

          Dengan membawa semangat ‘Laut Sedunia’ pada Juni 2025 lalu, pemerataan akses dan mutu pendidikan khususnya di wilayah pesisir perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah dengan membangun Pendidikan Berbudaya Bahari.

Problematika Pendidikan

          Pendidikan hanya berbasis daratan. Sekolah sejatinya harus menjadi laboratorium kehidupan yang membantu siswa mengoptimalkan potensi diri dengan memanfaatkan sumber daya di lingkungan sekitarnya. Bila memotret kondisi geografi Indonesia, bisa dikatakan bahwa sistem pendidikan kita hanya berbasis di daratan dan tidak hadir untuk mereka yang kesehariannya dihabiskan di pesisir.    Bahkan ada beberapa suku di Indonesia yang bertaut hidup bersama laut, salah satunya adalah Suku Bajo. Etnis yang tersebar di beberapa wilayah perairan Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Nusa Tenggara ini dikenal dengan kemampuan menyelamnya yang luar biasa.

          Mereka dapat menghabiskan lima jam dalam sehari di bawah air, dan dapat menyelam hingga kedalaman sekitar 70 meter dengan menahan napas. Bayangkan bila pendidikan yang kontekstual hadir untuk mereka, bukan tidak mungkin suatu hari nanti kita akan melihat juara olimpiade renang berasal dari Indonesia.

Tantangan Bonus Demografi

          Dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, Indonesia menjadi negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Ironisnya, Badan Pusat Statistik pada tahun 2022 mencatat ada 17,74 juta penduduk di wilayah pesisir Indonesia yang masih berada dalam kubangan kemiskinan. Jika penduduk miskin di Indonesia pada 2022 berjumlah 26 juta jiwa, kemiskinan wilayah pesisir menyumbang 68 persen dari total keseluruhan angka kemiskinan di negeri ini.

          Dengan problematika yang terjadi di wilayah bahari tersebut, rasanya tidak mudah negara kita menyambut bonus demografi yang sebentar lagi datang. Sehingga perlu hadirnya pendidikan yang mampu meningkatkan sumber daya manusia di wilayah bahari bumi pertiwi. Sejatinya, pendidikan harus menjawab kemiskinan dan pengangguran, bukan mencetak pengangguran baru.

Implementasi Pendidikan Berbudaya Bahari

Membangun pendidikan berbudaya bahari perlu mempertimbangkan dua unsur penting yaitu akses dan mutu pembelajaran. Dalam upaya membangun akses pendidikan, bisa dimulai dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang sudah tersedia di lingkungan sekitar agar lebih efisien dan efektif.

Misalnya, membangun sekolah terapung dengan menggunakan kapal penangkap ikan milik nelayan lalu dimodifikasi pada bagian-bagian kapal. Ini untuk menyesuaikan bentuk ruang kelas yang cukup untuk menampung 15 – 20 anak. Ruangan tersebut dapat ditambah beberapa perangkat pembelajaran, seperti papan tulis, kursi, rak buku, dan sebagainya. Mobilitas dan penjadwalan sekolah terapung ini akan diatur oleh dinas pendidikan atau pemerintah setempat sehingga dapat berpindah dari satu desa ke desa yang lain.

          Unsur lain yang penting diperhatikan adalah mutu pembelajaran berbasis bahari. Aspek ini setidaknya mencakup kurikulum, kualitas pengajar, dan bakat minat peserta didik. Melihat keseharian anak-anak pesisir yang sebagian besar waktunya dihabiskan di air, pengembangan kurikulum harus disesuaikan dengan potensi dan tujuan belajar mereka.

          Misalnya, bagi yang berminat pada bidang wisata bawah laut, akan disediakan mata pelajaran yang mendiskusikan tourism and hospitality, kesehatan dan keselamatan pengunjung, dan pembahasan lain yang sesuai. Kurikulum yang kontekstual dan berorientasi pada minat dan bakat akan melahirkan lulusan yang siap kerja, bahkan bisa menyumbang prestasi dalam bidang olahraga maritim.

          Selain kurikulum, kualitas tenaga pendidik juga perlu diperhatikan. Sebab mereka memiliki peranan penting dalam memberikan ilmu pengetahuan dan juga memengaruhi mutu pendidikan berbasis bahari. Oleh karena itu, selain memberdayakan para pengajar mata pelajaran umum, juga perlu dihadirkan pengajar yang memiliki pengalaman praktis dalam bidang kemaritiman. Misalnya nelayan profesional, pemandu wisata bawah air, penyelam dan tenaga profesional lain yang merupakan putra daerah setempat.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img