MALANG POSCO MEDIA – Pernahkah Anda melihat sekelompok orang mendatangi pusat perbelanjaan, galeri properti, atau pameran otomotif, antusias bertanya sana-sini, mengagumi produk yang dipamerkan, namun akhirnya pergi begitu saja tanpa membeli? Atau mereka yang mengisi keranjang belanja online penuh-penuh, tapi tak pernah menekan tombol “checkout”?
Fenomena ini akrab disebut warganet sebagai “Rojali” (Rombongan Jarang Beli) dan “Rohana” (Rombongan Hanya Nanya). Sekilas terlihat lucu, namun perilaku ini sejatinya mencerminkan realitas ekonomi masyarakat saat ini. Mereka hadir, melihat-lihat, bertanya, bahkan memberikan feedback, tetapi keputusan akhir pembelian tak kunjung diambil. Tidak sedikit pelaku usaha yang mengeluh, karena meski ada trafik dan atensi, transaksi tetap lesu.
Fenomena ini bisa dijelaskan melalui berbagai sudut pandang dalam manajemen keuangan. Dari perspektif keuangan pribadi, hal ini mencerminkan adanya kehati-hatian yang semakin tinggi dalam mengambil keputusan pembelian.
Teori perencanaan keuangan menyebutkan bahwa konsumen akan menyesuaikan alokasi anggaran berdasarkan prioritas dan kemampuan. Konsep ini sejalan dengan pendekatan household budgeting dalam personal financial planning yang mulai berkembang sejak 1970-an dan dipopulerkan oleh Jack Kapoor (2014), yang menekankan pentingnya pengelompokan kebutuhan berdasarkan urgensinya.
Dalam konteks ini, banyak konsumen menahan diri karena kondisi keuangan yang menuntut efisiensi. Kebutuhan primer seperti makanan, kesehatan, dan tempat tinggal tetap menjadi prioritas, sementara konsumsi barang sekunder atau tersier ditunda.
Di sisi lain, teori behavioral finance yang dipelopori oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky melalui Prospect Theory (1979) menjelaskan bahwa masyarakat cenderung mengalami loss aversion, yakni kecenderungan untuk lebih takut kehilangan uang daripada terdorong oleh potensi keuntungan dari suatu pembelian.
Dalam bahasa sederhana, rasa sakit akibat kerugian dirasakan lebih besar dibandingkan rasa senang dari keuntungan yang sama besar. Apalagi di tengah ketidakpastian ekonomi seperti saat ini, kecenderungan untuk menahan uang menjadi pilihan yang rasional, bahkan strategis. Maka, munculnya Rojali dan Rohana bisa dianggap sebagai bentuk adaptasi psikologis sekaligus finansial dalam menghadapi tekanan ekonomi.
Data yang tersedia pun menunjukkan adanya tekanan terhadap daya beli masyarakat. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Tendensi Konsumen (ITK) pada kuartal I 2025 tercatat menurun sebesar 1,3 poin dibandingkan kuartal sebelumnya. Hal ini menandakan bahwa ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi sedang melemah.
Di sisi lain, inflasi tahunan per Juli 2025 mencapai 3,2 persen, dengan kenaikan terbesar terjadi pada kelompok makanan dan transportasi. Beban hidup meningkat, sementara pendapatan tidak banyak berubah. Data dari Bank Indonesia juga menunjukkan penurunan Consumer Confidence Index, terutama pada kelompok pendapatan menengah ke bawah.
Secara digital, laporan dari Katadata Insight Center menyebutkan bahwa 68 persen pengguna e-commerce di Indonesia secara rutin mengisi keranjang belanja tanpa menyelesaikan transaksi, dengan alasan utama adalah ketidakpastian keuangan dan kebutuhan mendesak lain yang lebih prioritas.
Bagi pelaku usaha, fenomena Rojali dan Rohana menjadi tantangan sekaligus peluang untuk berinovasi. Konsumen kini jauh lebih selektif dan rasional. Mereka tidak hanya mencari produk, tapi juga pengalaman, jaminan nilai, dan justifikasi keuangan. Karena itu, pendekatan pemasaran konvensional perlu diubah.
Pelaku usaha perlu lebih memahami pola pikir konsumen masa kini, yang sering kali datang bukan untuk langsung membeli, tapi untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Memberikan nilai tambah seperti bonus, layanan purna jual yang baik, opsi cicilan ringan, hingga narasi emosional yang relevan dengan kehidupan sehari-hari bisa menjadi faktor pendorong keputusan beli. Pendekatan soft selling, yang mengedukasi dan membangun kepercayaan, lebih efektif dalam menjangkau konsumen yang masih ragu-ragu. Dalam jangka panjang, konsumen yang awalnya hanya bertanya atau melihat-lihat, bisa menjadi pembeli setia jika dikelola dengan komunikasi yang tepat.
Di sisi lain, perlu juga upaya kolaboratif untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat. Edukasi tentang perencanaan keuangan sederhana, penyusunan anggaran, dan cara membedakan kebutuhan dengan keinginan akan sangat membantu konsumen dalam mengambil keputusan pembelian yang sehat. Di sinilah peran strategis para pendidik, komunitas literasi, serta lembaga keuangan yang bisa bersinergi dengan pelaku usaha untuk menciptakan pasar yang lebih stabil dan berdaya beli.
Menjadi Rojali atau Rohana bukanlah kesalahan. Dalam situasi ekonomi yang penuh tekanan, masyarakat memang harus lebih berhitung. Justru dari fenomena ini, kita belajar bahwa konsumen semakin cerdas, penuh pertimbangan, dan tidak mudah tergoda. Namun di sisi lain, agar roda ekonomi tetap bergerak, dibutuhkan stimulus, inovasi, dan pendekatan yang lebih empatik dari semua pihak, baik pemerintah, pelaku usaha, maupun akademisi.
In this economy seperti sekarang, setiap transaksi menjadi hasil dari keseimbangan antara keinginan dan kemampuan, antara godaan dan ketahanan finansial. Dan di sanalah, letak tantangan sekaligus peluangnya.(*)