Thursday, August 28, 2025

Lestarikan Budaya Jawa, Wujudkan Kebahagiaan dengan Gamelan

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Kala Yudianto Menjaga Asa, Sanggar Manunggal Roso Tumbuh dan Eksis

Yudianto tak pernah kehilangan asa. Karena semangat dan kepeduliannya, Sanggar Manunggal Roso  eksis. Sanggar ini bermula dari seperangkat gamelan yang tidak terpakai, peninggalan mendiang ayah Yudianto. Warga diajak, belajar bersama. Kini eksis, tumbuh terkembang.

MALANG POSCO MEDIA– Bunyi gong yang bergema dari sebuah rumah di Perumahan LPK 1, Kelurahan Mulyorejo, Kecamatan Sukun, Kota Malang, bukan sekadar bunyi biasa. Itu adalah bunyi kebahagiaan, bunyi persaudaraan, dan bunyi semangat melestarikan warisan budaya Nusantara. Bunyi itu berasal dari Sanggar Karawitan Manunggal Roso, yang digerakkan oleh semangat dan dedikasi Yudianto.

Perjalanan sanggar ini berawal pada tahun 2010. Mulanya Yudianto memiliki seperangkat gamelan yang tidak terpakai, peninggalan mendiang ayahnya yang dahulu merupakan seorang perawi (pemain gamelan) di kelompok kesenian “Sena Putera”. Melihat warisan berharga itu hanya teronggok, timbul tekad dalam hatinya untuk menghidupkannya kembali.

“Awalnya ya sayang saja. Ini alat musik warisan budaya, sekaligus warisan orang tua. Kalau dibiarkan, bisa rusak dan terlupakan,” ujar Yudianto, mengenang masa-masa awal.

Dengan penuh kesabaran, ia merawat dan merelokasi seluruh alat karawitan tersebut ke kediamannya di Perum LPK 1 RT 2 RW 7, Kelurahan Mulyorejo. Namun, memiliki instrumen saja tidak cukup. Untuk membangkitkan jiwa dari logam dan kayu itu, dibutuhkan ilmu dan praktik. Di sinilah peran penting Dalang Ki Haryanto, yang dengan sukarela membantu melatih dan membimbing Yudianto untuk memahami seluk-beluk karawitan.

Namun jiwa sosial Yudianto tidak berhenti di situ. Ia tidak ingin bisa sendiri. Ia pun mulai mengajak tetangga-tetangga di sekitar perumahannya, baik ibu-ibu maupun bapak-bapak, untuk belajar bersama. Sebagian besar dari mereka adalah pemula total, tidak memiliki dasar sama sekali dalam memainkan gamelan.

“Saya ajak saja satu per satu. Awalnya mungkin ragu, tapi saya bilang, mari kita coba saja. Yang penting senang dulu,” tuturnya dengan senyum.

Dari nol, mereka belajar bersama. Dari sekadar memukul saron atau gender dengan irama yang belum tepat, lambat laun mereka mulai mampu menyatukan nada-nada itu menjadi sebuah gending (lagu gamelan) yang  enak didengar. Proses belajar-mengajar ini tidak hanya tentang musik, tetapi juga membangun keakraban dan solidaritas warga.

Semangat mereka pun mendapat dukungan nyata. Salah satu anggota DPRD Kota Malang, yang peduli dengan pelestarian budaya, mengalokasikan dana aspirasi (dana pokir) untuk pembelian seperangkat gamelan baru. Bantuan ini semakin memompa semangat kelompok ini untuk berkembang.

Bagi Yudianto, motivasi mendirikan Sanggar Manunggal Roso sangatlah sederhana namun mendalam: membahagiakan orang lain.

“Motivasi saya cuma satu, membahagiakan orang. Melihat yang awalnya tidak bisa menjadi bisa, itu sudah membahagiakan. Apalagi ketika mereka kemudian bisa tampil di depan banyak orang, rasa percaya diri mereka tumbuh, dan penonton juga terhibur. Itu kebahagiaan yang berlipat,” paparnya dengan mata berbinar.

Kini, Sanggar Karawitan Manunggal Roso telah menjadi salah satu ikon kesenian di Kecamatan Sukun. Mereka kerap diundang untuk menggelar pertunjukan di berbagai acara, baik di tingkat kelurahan maupun kecamatan. Setiap pukulan kenong, setiap tabuhan kendang, dan setiap alunan sinden mereka, adalah cerita tentang dedikasi seorang Yudianto yang berhasil memupuk rasa cinta budaya dan kebersamaan, menciptakan harmoni indah bagi masyarakatnya. “Yang terpenting dari kesenian budaya ini adalah kebagiaan bagi para pemain dan penonton,” pungkasnya. (hud/van)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img