Baru-baru ini perhatian masyarakat Indonesia tidak pernah lepas dari kebijakan elite politik. Memastikan proses, cara kerja sampai pelaksanaannya telah sesuai asas kebenaran. Meminjam sebentar definisi kebenaran dalam Film 12 Angry Men, disinggung bagaimana itu tidak selalu hitam putih, karena manusia cenderung membawa bias pribadi.
Di sisi lain, kebenaran seharusnya mendekati akal kritis, melalui reasoning, evidence, dan dialog. Mencapai kebenaran itu dengan kerendahan hati untuk mempertanyakan. Demikian, kebenaran terus dicari dengan akal dan kesabaran. Film itu juga menyoalkan pentingnya prinsip beyond a reasonable doubt.
Singkatnya, seseorang tidak boleh dihukum jika masih ada keraguan tentang kesalahannya. Ada prinsip kehati-hatian ekstrem. Jika hal ini diterapkan dalam kebijakan publik, maka keraguan-keraguan, apalagi ditemukan kebijakan yang tidak benar, bisa dianggap legitimasinya lemah, rawan resistensi dan menimbulkan kerugian.
Betul secara fakta, timbul demo dan protes. Masyarakat dari berbagai daerah menyuarakan pendapatnya. Ada banyak kebijakan baru, salah satunya soal menambah anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kebijakan itu dianggap kurang legitimasi karena tidak mendapatkan kepercayaan publik.
Terlihat dari keraguan masyarakat yang besar dan substansial. Polemik lempar masalah antara DPR dan Kementerian Keuangan menambah kenyataan, kalau transparansi, partisipatif, akuntabilitas, dan fleksibilitas tidak berjalan secara valid. Menegaskan kebijakan belum menyentuh konsep kebenaran.
Mayoritas memang tidak selalu benar. Demo yang masif belum tentu tepat menjatuhkan vonis. Itu mengapa penting sekali memahami konteks. Demo bukanlah bentuk mobilisasi massa. Namun demo berangkat dari kesadaran pribadi dan kerelaan hati untuk terlibat.
Masyarakat merasakan dampak langsung dari pajak yang naik, kebijakan yang tidak adil, bahkan baru-baru ini solidaritas sipil semakin meningkat karena rentetan kejadian yang menyakiti masyarakat. Mereka pun hadir ke jalan maupun “berisik” di media sosial karena isu yang dianggap penting. Ada keyakinan, keresahan, dan tindakan mempertanyakan kebijakan.
Paulo Freire, seorang pendidik dengan karya terkenalnya Pedagogy of The Oppressed menyetujui praksis revolusioner dari rakyat yang bersuara merupakan bentuk antitesis praksis elite yang mendominasi. Dominasi yang dimaksud merujuk pada pemegang kuasa, alat yang digunakan dalam membuat aturan-aturan dan regulasi. Namun tidak serta-merta, check and balance hadir sebagai penyeimbang. Tujuannya jelas, memastikan ruang dialog tetap terbuka lebar demi tercapainya revolusi yang hakiki. Sayangnya, kondisi negara sedang tidak ideal, diperparah oleh absennya elite yang seharusnya hadir. Kekosongan komunikasi pemerintah bukan lagi soal kelalaian, tapi pengkhianatan terhadap mandat kepemimpinan. Publik marah. Bentuk-bentuk ekspresi sosial dan politik lainnya bermunculan, sebut saja pembangkangan sipil. Masyarakat dengan kesadaran penuh, sengaja tidak menaati peraturan yang dianggap tidak sah.
Tidak berlangsung lama, istana merespons. Kebijakan populis yang dihadirkan tampak mengerdilkan tuntutan yang lebih krusial. Seolah-olah protes hanyalah perkara teknis. Padahal lebih dari pada itu, perubahan struktural dan perbaikan sistem adalah esensi utama persoalan. Jika ditanggapi dengan serius, narasi-narasi itu tentu sangat mudah ditemukan.
Bagaimana Kemudian?
Taklid buta itu menyesatkan. Membunuh daya kritis, akal sehat bahkan kemanusiaan. Legitimasi berdasarkan perintah atasan (command structure) kerap kali terjadi di organisasi, lembaga, kementerian termasuk di kepolisian dan militer negara.
Benar atau salah berpotensi diabaikan karena kuasanya bersifat memaksa. Jika menolak perintah, maka bisa dianggap insubordinasi. Akibatnya, berlaku sanksi hukum atau tindakan disipliner dan sebagainya. Cara paling mudah mengamankan posisi sering dengan mengikuti arahan. Demikian hal itu harus diubah.
Pertama, aparat bukanlah alat rezim. Ada urgensi aparat harus mengedepankan independensi nurani dan nilai moral sehingga tidak ada lagi korban jiwa. Termasuk dalam menjaga ketertiban agar tidak melanggar hukum dan kemanusiaan. Benturan antara aparat dengan rakyat tidak pernah seimbang. Aparat bersenjata lengkap, sedangkan rakyat hanya punya senjata moral untuk menembus hati dan legitimasi rezim.
Kedua, pemilik jabatan meluruskan niat, tidak tunduk pada rezim, tetapi hanya kepada nilai luhur, yaitu kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Di sanalah letak legitimasi sejati, yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Jabatan sebagai tameng kepentingan elite bisa menyebabkan seseorang kehilangan martabat.
Ketiga, rakyat membutuhkan solusi nyata dari pemerintah. Pejabat tidak boleh hanya bersembunyi di balik tembok kekuasaan, tidak peka terhadap penderitaan rakyatnya, pun bertingkah pongah. Jika terus terjadi, kemungkinan elit berputar di lingkungannya sendiri lalu terputus dari realitas sosial. Hal itu tentu menjadi ancaman nyata terhadap legitimasi kepemimpinan. Sinisme hingga perlawanan tidak mampu dibendung. Tinggal menunggu waktu untuk runtuh.
Keempat, angin perubahan itu keniscayaan. Datang cepat atau lambat. Pemerintah wajib belajar dari sejarah agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Dari Prancis dengan Revolusi 1789, Orde Baru 1998, hingga Arab Spring 2011. Pola kejatuhannya mirip, rezim merasa tak tergoyahkan, rakyat marah, lalu gelombang perubahan menenggelamkan kekuasaan yang pongah.
Demikian, kebijakan tanpa legitimasi ibarat dokumen kosong yang mudah digugat. Mandat Pancasila dan UUD 1945 telah menegaskan kedaulatan berada di tangan rakyat. Ia terus menuntun dan mempertahankan sifat mendidik (pedagogis) dari revolusi. Keyakinan untuk negara yang lebih beradab, tidak diskriminatif, lebih demokratis, serta manusiawi.(*)