Tuesday, September 9, 2025
spot_img

Senjakala Demokrasi dan Amoralitas Pejabat Publik

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Gelombang demonstrasi besar-besaran yang melanda berbagai kota di Indonesia dalam sepekan terakhir menjadi alarm keras bagi kondisi demokrasi kita. Ribuan massa, terdiri dari mahasiswa, buruh, hingga masyarakat sipil, turun ke jalan menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai semakin tidak berpihak pada rakyat.

          Kenaikan tarif pajak yang menambah beban masyarakat kecil, melemahnya daya beli akibat tekanan ekonomi, dan sederet kebijakan yang lebih pro-elite ketimbang pro-rakyat, menjadi pemantik. Namun, yang tak kalah menyakitkan justru komentar dan sikap sejumlah pejabat publik yang terkesan nirempati atas kondisi sulit penderitaan masyarakat.

Fenomena ini seakan menegaskan bahwa demokrasi kita tengah berada dalam “senjakala.” Demokrasi yang mestinya menjadi instrumen untuk menghadirkan keadilan sosial dan partisipasi publik, kini kian terjebak dalam kubangan pragmatisme politik. Para pejabat yang lahir dari sistem demokrasi justru menunjukkan perilaku amoral: sibuk menjaga kepentingan kelompok, mempertontonkan gaya hidup hedonis/ glamour, hingga tidak segan melontarkan pernyataan yang menyakiti hati rakyat. Ironisnya, aksi sepekan ini telah mengakibatkan kerugian materiil maupun korban jiwa, baik tindakan represif oleh aparat atau anarkisme dari oknum provokator.

Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam karya mereka berjudul “Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia” (2019) secara gamblang menggambarkan bagaimana demokrasi di Indonesia berjalan dengan biaya politik yang sangat mahal. Demokrasi kita dipenuhi praktik clientelism, dimana kandidat mengandalkan jaringan patronase dan distribusi uang untuk meraih dukungan elektoral.

Politik transaksional inilah yang pada akhirnya membuat pejabat publik merasa “berutang” pada modal politik (oligarki), bukan pada rakyat.  Akibatnya, para pejabat publik terutama di ranah legislatif justru fokus terhadap bagaimana mengembalikan modal, alih-alih memperjuangkan aspirasi rakyat yan terus terhimpit dengan situasi saat ini. Selain itu, kebijakan yang lahir lebih justru hanya menimbulkan masalah baru dan semakin memperlebar kesenjangan sosial di masyarakat.

Pandangan tersebut sejalan dengan riset Burhanuddin Muhtadi tentang vote buying di Indonesia. Ia menunjukkan betapa maraknya praktik pembelian suara dalam pemilu telah menjadi bagian dari budaya politik elektoral kita. Suara rakyat kerap diperlakukan layaknya komoditas yang bisa ditukar dengan uang atau sembako menjelang pemilu.          Fenomena ini menggerus idealisme demokrasi dan menempatkan pejabat terpilih dalam posisi pragmatis: setelah terpilih, orientasi utamanya adalah mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan, bukan menjalankan amanah rakyat.

Ketidakadilan

Tingginya ongkos politik ini berimplikasi langsung pada perilaku pejabat publik. Mereka cenderung mencari celah untuk mengakses rente dari kebijakan atau proyek pembangunan, alih-alih bekerja tulus demi kepentingan rakyat. Tak heran bila kita menyaksikan banyak pejabat terjerat kasus korupsi, memperlihatkan gaya hidup glamor di tengah kesulitan rakyat, atau bersikap tidak simpatik ketika publik menjerit akibat beban ekonomi.

Demokrasi yang seharusnya melahirkan pejabat berintegritas justru menghasilkan aktor-aktor yang terjebak pada amoralitas politik. Para pejabat menikmati segala tunjangan yang diberikan oleh negara yang jumlahnya fantastis. Sedang masyarakat hidup dalam serba kekurangan ini tentu tidak mencerminkan sila ke-5, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Terbaru, Laporan World Bank pada Juni 2025 berjudul “Updated to the Poverty and Inequality Platform (PIP)” menyebutkan bahwa 68,3 persen masyarakat Indonesia masuk kategori miskin. Presentase tersebut setara dengan 194,72 juta jiwa dari 285,1 juta jiwa penduduk Indonesia saat ini.

Anehnya, BPS (Badan Pusat Statistik) justru memiliki perhitungan berbeda mengklaim bahwa presentase kemiskinan Indonesia berada di angka 8,47 persen masuk kategori miskin per maret 2025 atau setara dengan 23, 85 juta jiwa.

Tidak hanya itu, di tengah mewahnya fasilitas para pejabat dan fenomena rangkap jabatan, profesi Guru/Dosen di Indonesia nyaris tidak memiliki nilai di mata negara. Justru seakan-akan Guru/Dosen atau pendidik lainnya layak digaji rendah. Glorifikasi makna “mulia” dengan menormalisasi gaji rendah acapkali disampaikan oleh para pejabat publik kita baik itu Menteri, DPR, maupun konteks kebijakan secara luas.

Isu krusial

          Demonstrasi yang menggema akhir-akhir ini menunjukkan bahwa rakyat mulai lelah dengan wajah demokrasi prosedural yang tidak menghadirkan keadilan substantif. Demokrasi hanya berhenti pada proses pemilu, tetapi gagal menghadirkan kebijakan publik yang adil. Jarak antara penguasa dan rakyat semakin lebar.

          Rakyat berteriak, namun pejabat sibuk dengan kepentingan kelompoknya. Sama-sama terluka saat protes, aparat mendapat kenaikan pangkat, rakyat dibiarkan menjadi “mayat” demokrasi. Persis, ini adalah pola pendekatan elitis, para elitis seperti hidup dalam “buble” nya sendiri.

          Meskipun aksi protes mulai sedikit meredam, tidak menutup kemungkinan jika pemerintah abai dengan tuntutan massa, eskalasinya bisa menjadi lebih besar daripada sebelumnya. Isu krusial seperti penghapusan tunjangan DPR, transparansi dan akuntabilitas pemerintah termasuk efisiensi anggaran yang tepat, kaji ulang project-project ambisisus seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), MBG (Makan Bergizi Gratis), pemerataan ekonomi dan tersedianya lapangan pekerjaan, serta memastikan kehidupan demokrasi adalah beberapa tuntutan yang harus terselesaikan oleh pemerintah.

Pemerintah masih punya waktu untuk menimbang dan memperbaiki tatanan pemerintahan dan demokrasi. Tetapi upaya bisa berhasil jika mengacu pada demokrasi pada esensi aslinya: kedaulatan rakyat, keadilan sosial, dan pemerintahan yang bermoral. Tanpa itu semua, kita hanya akan menyaksikan demokrasi yang terus meredup, dan pejabat publik yang semakin amoral.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img