Fenomena kenaikan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menjadi bahan perbincangan hangat. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan masyarakat yang masih berjuang menahan gejolak harga kebutuhan pokok, kabar bahwa tunjangan wakil rakyat akan naik terasa kontras dan menyesakkan.
Banyak yang mempertanyakan, mengapa di saat rakyat diminta berhemat, justru wakil mereka mendapat tambahan fasilitas? Kenaikan tunjangan yang bagi sebagian orang mungkin terlihat sekadar angka, sesungguhnya membawa implikasi yang dalam: soal moralitas, keadilan, dan prioritas kebijakan negara.
Kenaikan tunjangan DPR biasanya dibungkus dalam istilah teknis, entah berupa tunjangan komunikasi, perumahan, transportasi, maupun tunjangan lain yang melekat pada jabatan. Secara persentase, kenaikan itu mungkin terlihat wajar misalnya naik 10 atau 15 persen. Namun, jika dikalikan dengan jumlah anggota DPR yang mencapai ratusan orang, nilainya berubah menjadi miliaran rupiah per bulan.
Angka itu tentu tidak kecil, apalagi jika disandingkan dengan kondisi fiskal negara yang masih ketat dan utang publik yang kian membesar. Pada titik inilah masyarakat mulai bertanya: apakah kenaikan tunjangan ini memang mendesak dan relevan, atau justru menjadi beban tambahan bagi APBN yang seharusnya diprioritaskan untuk rakyat banyak?
Konflik sosial pun tak terelakkan. Masyarakat membandingkan gaji dan tunjangan anggota DPR dengan upah minimum regional (UMR) yang diterima setiap bulan. UMR rata-rata di Indonesia tahun 2025 berkisar Rp 3,5 hingga Rp 5 juta, tergantung wilayah. Bandingkan dengan take-home pay seorang anggota DPR yang bisa mencapai puluhan juta rupiah per bulan, bahkan Rp 100 juta jika ditotal dengan semua fasilitas.
Jurang kesenjangan ini menimbulkan rasa ketidakadilan yang membara. Buruh yang setiap hari bekerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar, guru honorer yang gajinya belum sepadan dengan tugas mulianya, dan tenaga kesehatan di pelosok yang masih berjuang dengan sarana terbatas, tentu merasa getir melihat para wakil rakyat menikmati tunjangan besar.
Kemarahan publik bukan hanya karena angka nominal. Lebih dalam, ia berakar pada rasa dikhianati: rakyat merasa kontribusi mereka melalui pajak tidak dikembalikan dalam bentuk pelayanan yang adil, melainkan tersedot untuk kesejahteraan segelintir elite politik. Kritik muncul deras di media sosial, aksi protes mahasiswa bergema, dan suara akademisi mengingatkan bahwa kenaikan tunjangan ini bisa semakin menggerus legitimasi DPR di mata rakyat. Inilah masalah utamanya, bukan sekadar uang, tetapi krisis kepercayaan.
Jika ditinjau dari perspektif teori keuangan, fenomena ini bisa dijelaskan dengan beberapa konsep penting. Pertama, agency theory menegaskan bahwa DPR sebagai “agen” rakyat memiliki kewajiban untuk bertindak sesuai kepentingan “prinsipal,” yakni masyarakat. Kenaikan tunjangan yang lebih mementingkan kepentingan internal DPR dapat dipandang sebagai bentuk kegagalan agen dalam menjalankan amanah. Kedua, prinsip efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan keuangan publik mengharuskan setiap rupiah dari APBN digunakan untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Apakah kenaikan tunjangan DPR memenuhi kriteria itu? Pertanyaan ini menggantung di ruang publik.
Ketiga, konsep opportunity cost atau biaya peluang menjelaskan bahwa setiap dana yang digunakan untuk satu tujuan berarti mengorbankan tujuan lain. Dana yang dialokasikan untuk tunjangan DPR sesungguhnya bisa digunakan untuk menambah beasiswa mahasiswa, meningkatkan layanan kesehatan, atau memperluas subsidi energi bagi masyarakat miskin.
Dengan kacamata teori keuangan, kenaikan tunjangan DPR jelas sulit dipertahankan. Bukan hanya soal nominal, tetapi soal prioritas. Negara yang masih berjuang keluar dari jebakan pendapatan menengah, menghadapi ketimpangan sosial, dan dikejar target pembangunan, seharusnya menempatkan kepentingan rakyat sebagai tujuan utama belanja negara. Di sinilah publik merasa bahwa orientasi DPR melenceng dari semangat keadilan sosial yang dijanjikan konstitusi.
Namun, di balik rasa marah dan kecewa, masyarakat tetap harus mencari cara untuk berbesar hati. Tidak semua anggota DPR bekerja buruk; ada pula yang serius memperjuangkan aspirasi rakyat di daerah pemilihan. Harapan selalu ada, meski sering tersandar.
Jalan terbaik adalah menuntut transparansi dan akuntabilitas. Publik berhak tahu, setiap kenaikan tunjangan harus dibarengi dengan peningkatan kinerja yang terukur: produktivitas legislasi yang nyata, pengawasan anggaran yang efektif, serta representasi aspirasi rakyat yang tulus.
Kritik keras memang penting, tetapi jangan sampai melahirkan apatisme. Demokrasi tetap memberi ruang bagi rakyat untuk bersuara, baik melalui media, demonstrasi, maupun kotak suara. Masyarakat perlu mengingatkan wakilnya bahwa tunjangan hanyalah sarana, bukan tujuan. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana wakil rakyat menjaga kepercayaan publik melalui kinerja.
Pada akhirnya, tulisan ini ingin menegaskan bahwa kenaikan tunjangan anggota DPR tidak bisa dipisahkan dari tuntutan kinerja yang lebih baik. Tunjangan boleh lancar, tetapi harapan rakyat jangan sampai tersandar. Hanya dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban, DPR bisa kembali meraih legitimasi dan kepercayaan dari rakyat yang mereka wakili.(*)