Memaknai Hari Kesadaran Pencegahan Bunuh Diri Internasional (World Suicide Prevention Day) setiap tanggal 10 September, dapat dilakukan dengan aksi yang tampak sederhana namun sejatinya berdampak signifikan. Tema “Mengubah Narasi tentang Bunuh Diri“ (Changing the Narrative on Suicide), mengajak kita kembali menumbuhkan kepekaan, menghapus stigma, serta lebih terbuka dalam menjalin komunikasi di dunia nyata dengan saudara, sahabat, tetangga, dan orang-orang dekat lainnya agar saling menguatkan secara emosional. Realitas sosial yang nyatanya telah sangat memudar.
Beberapa kasus bunuh diri yang menonjol telah terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Secara umum faktor ekonomi masih menjadi sebab utama. Awal September 2025 di Kabupaten Bandung, seorang Ibu 34 tahun ditemukan tewas di kontrakannya bersama dua anaknya, meninggalkan surat wasiat singkat berisi rasa kalah, malu, dan lelah menghadapi hidup. Sementara itu, di Dusun Borobugis Desa Saptorenggo Kecamatan Pakis Kabupaten Malang terjadi bunuh diri sekeluarga akibat jerat utang pada 12 Desember 2023.
Lebih lanjut, di Kabupaten Gunung Kidul angka kematian akibat bunuh diri per 100.000 penduduk jauh melampaui rata-rata nasional sebesar 0,46 (Pusat Informasi Kriminal Nasional/ Pusiknas, Bareskrim Polri, 2023). Bahkan, studi Sandersan Onie (UNSW) yang dipublikasikan di The Lancet Regional Health–Southeast Asia (2024) mengungkap bahwa angka bunuh diri di Indonesia berpotensi 860 persen lebih tinggi dari data resmi, tereduksi oleh stigma, rasa malu, dan praktik underreporting.
Sisi Gelap Medsos
Kini, banyak masyarakat—baik kota maupun desa—tanpa sadar terjebak dalam bayang-bayang media sosial (medsos), menjadikannya sumber utama informasi, dengan rata-rata penggunaan lebih dari 7 jam di internet dan lebih dari 3 jam di medsos setiap hari.
Realitas empiris menunjukkan, medsos telah menyatu dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia. Mudah membuktikannya. Menurut DataReportal, sejak Januari 2022, sebanyak 191,4 juta orang adalah pengguna aktif medsos, baik di YouTube, Facebook, Instagram, TikTok, WhatsApp, dan X (Twitter). Angka tersebut setara dengan hampir 70 persen total populasi Indonesia, atau meliputi hampir seluruh penduduk berusia 15–64 tahun.
Medsos sesungguhnya menyimpan sisi gelap yang mampu menjerat banyak orang dalam kehidupan semu, seakan terpisah dari dunia nyata dan larut dalam “kenyataan palsu.” Banyak orang hidup dengan selalu membandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang “tampak sempurna.”
Medsos turut memperkuat ilusi kehidupan yang tampak mudah dan indah, padahal kenyataannya bisa sangat berbeda. Dunia digital (maya) membentuk pola pikir bahwa segala masalah bisa diselesaikan secara cepat tanpa proses, termasuk urusan keuangan seperti meminjam lewat pinjaman online (pinjol).
Ketika menghadapi tekanan dan kesulitan nyata, individu yang terbiasa dengan ilusi kemudahan ini menjadi rentan “patah” dan memilih jalan pintas seperti bunuh diri. Semua ingin diselesaikan secara serba instan. Manusia-manusia “instan” yang enggan berproses, seperti meminta bantuan kepada keluarga, kerabat, atau tetangga, karena proses itu memerlukan waktu, kesiapan mental, serta hasil yang tak selalu sesuai harapan. Menggunakan jasa pinjol agar beragam kebutuhan diri atau keluarga segera terpenuhi. Demikian juga terlibat judi online (judol) karena ingin cepat kaya.
Nyatanya pinjol dan judol masih menjadi momok yang menakutkan hingga hari ini. Selain memiskinkan masyarakat, terbukti banyak kasus bunuh diri berawal dari terjerat skema pinjol, serta mereka yang terbelenggu dan kecanduan judol. Secara metaforis, keduanya bak racun yang pelan-pelan akan membunuh pengguna pinjol maupun pelaku judol.
Menjadi satu-satunya yang merasa “gagal” di tengah dunia serbamewah yang dipoles medsos bisa menjadi tekanan serius. Banyak orang tak ingin hidup susah atau terlihat susah, sehingga terjebak dalam ilusi kenyataan yang palsu. Padahal, menjalin hubungan nyata dengan orang sekitar, meskipun butuh usaha dan waktu, adalah pilihan yang lebih sehat karena berakar pada realitas, bukan hiperealitas.
Kearifan Lokal
Setiap kali bunuh diri dibicarakan, narasi dominan kerap menyalahkan korban sebagai lemah iman, rapuh, atau kurang bersyukur. Pandangan ini keliru sekaligus kejam, karena menutup mata pada akar persoalan: gagalnya sistem sosial melindungi warganya.
Seorang kolega penulis yang tinggal di Yogyakarta menilai budaya “sonja lan nangga”—tradisi srawung yang hangat dengan tetangga—telah benar-benar memudar, padahal masih sangat relevan untuk dihidupkan kembali sebagai solusi berbasis kearifan lokal. Di tengah gaya hidup instan yang merenggangkan ikatan sosial, dukungan keluarga dan lingkungan bisa mencegah situasi memburuk. Upaya menghentikan berulangnya kasus bunuh diri menuntut literasi dan edukasi yang mampu mengembalikan orang pada kehidupan nyata serta tanggung jawab bersama keluarga, masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah.
Dibutuhkan kolaborasi lintas sektor dengan mengesampingkan ego, disertai upaya nyata meningkatkan literasi keuangan dan digital serta memperkuat relasi sosial secara terencana dan berkelanjutan. Dengan dukungan anggaran memadai dan ikhtiar yang konsisten, angka bunuh diri diyakini dapat ditekan secara signifikan. Semoga! (*)