Thursday, September 11, 2025
spot_img

Distopia Digital

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Di tengah gelombang besar demokratisasi dan penetrasi teknologi digital, kita hidup dalam paradoks. Alih-alih sebagai ruang partisipasi, keterhubungan, dan kebebasan berekspresi, media sosial (medsos) justru kerap jadi mesin pengganda kebencian, polarisasi, ujaran provokasi, dan kekerasan. Di ruang digital telah terjadi distopia digital (digital dystopia) yakni kondisi kehidupan yang lebih buruk, sangat menakutkan, dan tak diinginkan.

          Wujud dari distopia digital itu bisa dilihat dari maraknya hoaks (hoax), berita palsu (fake news), ujaran kebencian (hate speech), kebohongan, fitnah, dan beragam narasi provokatif. Kendali algoritma digital juga telah ciptakan kecanduan, dusta yang dipercaya sebagai yang benar, polarisasi politik identitas, kedangkalan cara berfikir, dan aneka narasi setingan yang digemakan para influncer dan buzzer bayaran.

          Kini siapa orangnya yang tak tergantung pada internet dan medsos. Mulai bangun pagi hingga tidur malam banyak orang butuh internet. Beragam teknologi digital telah menjadi kebutuhan primer bagi kebanyakan orang. Tak sedikit urusan hidup saat ini yang butuh campur tangan teknologi. Kita tak lagi hidup hanya di dunia nyata. Di ruang-ruang maya kita justru dituntut bisa eksis.

          Kehadiran media baru (new media) berwujud internet mampu mengubah cara orang berkomunikasi. Begitu kata salah satu tokoh komunikasi, Marshall McLuhan. Lewat intenet lahir pula aneka teknologi digital yang lain. Pada perkembangannya, berbagai teknologi digital tak hanya mengubah cara orang berkomunikasi namun telah mengubah cara manusia menjalani kehidupannya.

Infobesity

          Teknologi digital telah memicu lahirnya banjir informasi. Infobesity atau obesitas informasi (information obesity) adalah kondisi ketika seseorang dihadapkan pada banyaknya pilihan informasi yang berdampak pada proses pengambilan keputusannya. Istilah lainnya adalah information explosion (ledakan informasi), yakni situasi ketika berbagai informasi baik dalam bentuk teks, audio, audio visual, dan bentuk lainnya membuat masyarakat kewalahan.

          Tingginya jumlah pengguna aktif internet di Indonesia dan beragamnya platform digital turut berkontribusi pada tingginya jumlah informasi yang diproduksi dan dibagikan. Keadaan ini juga menciptakan kecanduan dalam mengakses informasi yang dialami masyarakat. Kecanduan informasi ini dapat menyebabkan kecemasan terkait kebutuhan untuk selalu tahu segala hal. Kecemasan informasi bisa mengganggu ketenangan pikiran dan emosional.

          Infobesity itu bisa jadi residu yang harus ditelan oleh para pengguna teknologi digital. Tak sedikit masyarakat mengakses informasi yang sejatinya mereka tidak butuhkan. Seperti orang yang kebanyakan makan maka akan terjadi obesitas. Obesitas inilah awal munculnya beragam penyakit. Demikian halnya dengan terjadinya obesitas informasi yang bisa memicu distopia digital.

          Tak jarang kegaduhan dipicu oleh munculnya informasi simpang siur dan tak teruji kebenarannya. Beragam informasi palsu dan keliru justru menyerupai informasi yang benar. Informasi yang salah dan benar itu bercampur hingga sangat sulit dipilih dan dipilah untuk ditemukan yang benar. Tak jarang orang justru keliru mempercayai informasi yang abal-abal sebagai informasi yang dianggap benar dan turut menyebarkannya.

          Pemanfaatan teknologi digital memang harus dilihat secara lebih bijak. Tak hanya berfikir tentang hal-hal yang positif saja seperti percepatan ekonomi, kemajuan peradaban, atau kemudahan kehidupan. Namun, semangat memitigasi berbagai dampak negatif juga penting dilakukan. Pemanfaatan teknologi digital tanpa mitigasi sejatinya hanya akan menguntungkan sekelompok kecil orang.

Distopia Digital

          Algoritma medsos yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan, justru memberi panggung bagi konten-konten provokatif dan emosional. Hoaks, disinformasi, dan ujaran kebencian lebih cepat menyebar ketimbang fakta. Akibatnya, publik terseret dalam arus polarisasi, di mana lawan politik bukan lagi sekadar berbeda pilihan, melainkan dipandang sebagai musuh.

          Inilah wajah distopia digital yakni sebuah kondisi di mana teknologi yang seharusnya memajukan peradaban justru mengancam pondasi sosial dan politik. Di ruang digital, “kebenaran” kerap menjadi relatif, digantikan oleh narasi yang paling banyak diviralkan. Demokrasi pun terdistorsi, karena pilihan politik publik tak lagi semata hasil pertimbangan rasional, melainkan akibat manipulasi algoritma, buzzer, dan propaganda digital.

          Kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan bagaimana percikan api di dunia maya bisa dengan cepat menjalar ke dunia nyata. Narasi provokatif yang masif beredar di medsos kerap menjadi bahan bakar kemarahan kolektif. Situasi ini membuktikan ruang digital bukanlah dunia terpisah, melainkan cermin dan pemicu realitas sosial sehari-hari. Untuk itu masyarakat perlu dibekali kemampuan kritis untuk membedakan informasi dan memahami bias algoritma agar tak terjebak dalam pusaran polarisasi digital.

          Distopia digital itu tak berhenti di ruang virtual. Ia sering kali menjalar ke dunia nyata dalam bentuk kerusuhan sosial. Indonesia harus keluar dari jebakan distopia digital ini. Dengan jumlah pengguna internet yang besar, kita bisa membalik arah. Ruang digital dapat dijadikan arena memperkuat partisipasi, membangun solidaritas, dan memperkaya perdebatan kebangsaan dengan komitmen bersama untuk menjaganya.

          Negara perlu hadir bukan sekadar dengan pendekatan represif, melainkan dengan regulasi yang melindungi kebebasan berekspresi sekaligus mencegah penyalahgunaan ruang digital. Partai politik, wakil rakyat, media, dan aktor masyarakat sipil harus mengedepankan etika dalam penggunaan media. Demokrasi digital itu bukan hanya soal kebebasan tetapi juga soal tanggung jawab.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img