Nepal menjadi buah bibir dan trending bagi masyarakat dunia pada awal bulan ini lantaran protes besar yang dilakukan oleh generasi Z. Hampir porak poranda lantaran aksi protes masyarakatnya menjelma menjadi sebuah kekacauan. Fakta menarik kekuatan generasi Z yang melakukan protes itu di usia rata-rata 15 sampai dengan 25 tahun. Berdasarkan catatan demografi Nepal usia penduduk berusia 15 hingga 25 tahun sejumlah 6,79 juta jiwa. Kerugian yang disebabkan protes besar ini hampir menyentuh angka Rp 22,9 Triliun.
Tidak dipungkiri dalam protes tersebut masyarakat berbaur kalangan, menyuarakan satu hal terkait kebebasan berekpresi. Dengan diblokirnya 26 jenis media sosial oleh pemerintah Nepal telah memicu amarah yang luar biasa. Pemerintah Nepal dituding telah melakukan pembatasan berekspresi bagi rakyatnya serta pemerintah dianggap anti kritik dari rakyatnya.
Penyebab lainnya ditengarai adanya praktik korupsi yang merajalela, ketiadaan akuntabilitas anggaran negara, serta terjadinya nirempati pejabat terhadap kondisi rakyatnya. Hal ini adalah sebuah kasus siklis bahwa negara yang berpaham demokrasi sudah selayaknya menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Perubahan Mindset
Negara demokrasi hadir sebagai timbal balik dari sebuah paham monarki absolut, raja mengambil alih seluruh kebijakan tanpa pernah melibatkan rakyat. Selain Piagam Magna Carta (1215), Romawi kuno juga disebut sebagai peletak dasar negara demokrasi. Perkembangan modern terkait demokrasi dikuatkan oleh gagasan Montesqieu, JJ Rousseau maupun John Locke.
Demokrasi modern dimulai pada revolusi Inggris, Revolusi Amerika, dan Revolusi Prancis seakan menjadi sirine bahwa suara rakyat wajib didengar, dikompromikan serta dilibatkan. Keputusan besar yang menyangkut kehidupan rakyat tidak serta merta langsung diambil tanpa melibatkan rakyat.
Perwakilan rakyat pun diharapkan mampu menyerap aspirasi rakyat dengan sebaik-baiknya. Hal ini mengandung dua tantangan besar, rakyat berani mengeluarkan pendapat dan para wakil rakyat berani mengadu argumen di parlemen hingga terciptanya kesepahaman.
Memilih wakil rakyat yang berani membela kepentingan rakyatnya juga dibutuhkan pendidikan, wawasan, dan kemampuan yang kuat. Jangan sampai pilihan wakil rakyat tersandera hanya melalui bilik suara dengan durasi dua menit tanpa berpikiran lebih. Atau lebih parahnya suara perwakilan kita tergadai oleh beberapa rupiah dalam kurun waktu lima tahun. Wajibnya rakyat tidak terbuai dengan iming-iming itu. Filipina dan India sudah menerapkan adanya pembatalan kemenangan kontestasi pemilu apabila terbukti mempraktikkan money politics. Mengedepankan pilihan wakil rakyat yang mampu menyuarakan hak-hak rakyat adalah impian bagi terciptanya sebuah negara demokrasi. Seperti pidato Abraham Lincon pada pemakaman nasional Gettysburg (19 November 1863) bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Akuntabilitas dan Transparansi
Akuntabilitas dan transparansi menjadi tuntutan bagi rakyatnya pada sebuah negara yang berpaham demokrasi. Akuntabilitas bermakna sebagai pertanggungjawaban atas amanah yang diberikan oleh rakyatnya. Akuntabilitas ini berfungsi sebagai alat pendukung demokrasi salah satunya adanya kepercayaan publik.
Secara pengertian akuntabilitas menurut Peter J. Morgan (1988) adalah kewajiban untuk menjelaskan dan memberikan alasan atas tindakan atau keputusan yang diambil, serta untuk menanggung konsekuensi dari tindakan tersebut. Dari pengertian ini akuntabilitas secara tidak langsung adalah sebuah hal yang tanpa diminta seharusnya diberikan oleh pejabat negara kepada rakyatnya. Media massa otomatis juga menjadi salah satu alat pendukung akuntabilitas ini.
Mahmudi (2016) menjelaskan akuntabilitas adalah kewajiban pemegang amanah (agent) untuk mempertanggungjawabkan, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah yang memiliki hak dan kewajiban untuk meminta pertanggungjawaban tersebut.
Akuntabilitas dan transparansi sudah seharusnya hal yang tidak perlu diminta rakyat namun diberikan kepada publik (rakyat) secara periodik. Kesadaran ini wajib dimiliki bagi siapapun yang bekerja pada lembaga publik. Nepal memberikan gambaran signifikan gelombang protes karena tidak pernah adanya akuntabilitas serta transparansi dari keuangan negara oleh para pejabat-pejabatnya.
Nirempati Pejabat
Pada akhir-akhir ini sering kita jumpai kata nirempati. Dalam kaidah Bahasa Indonesia kata nir adalah prefiks atau imbuhan yang berasal dari bahasa Sanskerta yang berfungsi ketiadaan atau penolakan. Jika kita mau belajar dari Nepal, gaya hidup para pejabatnya berdampak pada Nepo Kids. Nepo Kids adalah perlawanan sosial generasi Z terhadap ketimpangan struktural, previlege, serta gaya hidup anak pejabat yang dinilai tidak mencerminkan realitas kehidupan ekonomi mayoritas rakyatnya. Hal ini yang disikapi rakyat sebagai sifat nirempati dari pejabat. Gaya hidup terkadang memang menjerumuskan tatkala sifat flexing tidak mampu kita kuasai, baik di kehidupan nyata maupun media sosial. Pejabat publik pasti diawasi dari sisi pribadi hingga keluarganya dewasa ini oleh mata netizen. Wajibnya pelajaran berharga dari Nepal ini menginspirasi kita berbenah dari segala sisi kehidupan tanpa terkecuali. Semoga sikap bangsa ini semakin dewasa menyikapinya.(*)