Saturday, September 27, 2025
spot_img

Menata Narasi Wisata Kota Malang

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Sebagai warga asli Kota Malang, penulis melihat banyak hal yang masih bisa dikembangkan lagi dari kota ini, salah satunya aspek wisatanya. Sebagai salah satu kota yang menjadi saksi sejarah tentunya banyak aspek-aspek yang potensial untuk dikelola menjadi trend wisata.

Saat ini banyak kota di Indonesia berlomba-lomba menciptakan kawasan heritage sebagai ikon wisata. Mulai dari Kota Lama Semarang, Braga Bandung, hingga Kota Tua Jakarta. Narasi sejarah lokal menjadi instrumen penting dalam membangun citra kota di tingkat nasional dan global.

Namun, tidak semua kota berhasil menjadikan kawasan heritage sebagai pusat interaksi budaya dan ekonomi yang berkelanjutan. Di sinilah Malang memiliki peluang besar, melalui Kampung Heritage Kayutangan, untuk mengambil peran penting dalam diplomasi budaya urban di Indonesia.

Potensi Kampung Heritage Kayutangan tak bisa dianggap remeh. Ia menyimpan lapisan sejarah kolonial yang otentik dalam bentuk rumah-rumah peninggalan Belanda yang masih berdiri kokoh, menyajikan edukasi sejarah yang sangat berharga. Selain wisata kuliner dan kafe-kafe estetik, kawasan ini juga menjadi ruang belajar sejarah perkotaan, arsitektur, dan dinamika sosial masa lalu yang bisa diakses langsung oleh publik.       Tetapi hingga hari ini, semua potensi itu belum terkelola dalam narasi besar yang saling menguatkan. Masing-masing titik bergerak sendiri, kafe yang estetik, spot mural yang artistik, event komunitas yang temporer, hingga rumah tua yang belum dikemas dalam konsep wisata edukatif. Tanpa tata kelola yang terintegrasi, Kampung Heritage Kayutangan akan kehilangan daya lekat sebagai destinasi unggulan, dan hanya menjadi tempat ‘singgah sekali, cukup.’

Kota Malang membutuhkan strategi branding kawasan yang lebih dari sekadar logo, slogan, atau dekorasi jalan. Branding sejati dibangun dari identitas: apa nilai budaya yang ingin ditampilkan, siapa yang mewakili narasinya, dan bagaimana kawasan ini dapat dikenali secara konsisten. Kampung Heritage Kayutangan belum sepenuhnya menjawab pertanyaan itu.

Dengan kekayaan historis yang dimilikinya, kawasan ini bisa menjadi laboratorium hidup untuk pendidikan sejarah kota, sekaligus etalase ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal. Di mana posisi warga lokal dalam narasi ini? Apa diferensiasi Kayutangan dibanding kawasan heritage di kota lain? Jika branding gagal dikelola secara autentik, maka yang tersisa hanya kesan semu tanpa memori.

Kayutangan butuh pengelolaan wisata yang lebih terarah. Mulai dari pilihan aktivitas yang ditawarkan, pembagian zona ruang, sampai melibatkan warga sekitar dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Tapi ada satu masalah penting yang sering diabaikan: Kayutangan sedang mengalami krisis identitas.

Banyak hiasan dan elemen visual di kawasan ini justru terlihat mirip dengan tempat wisata lain. Seperti lampu hias bergaya Eropa, lukisan dinding yang tidak mencerminkan sejarah lokal, dan dekorasi yang terasa tempelan saja. Ini membuat Kayutangan kehilangan ciri khasnya sebagai kawasan bersejarah yang unik.

Padahal, identitas yang kuat adalah kunci utama untuk menarik wisatawan. Orang datang ke tempat wisata bukan hanya untuk berfoto, tapi juga untuk merasakan suasana dan cerita yang berbeda dari tempat lain. Sampai sekarang, belum ada jalur wisata yang menjelaskan sejarah bangunan-bangunan lama di sana. Belum ada papan informasi digital dan belum ada sistem promosi UMKM lokal yang menyatu dengan konsep wisatanya.

Kota ini butuh cara baru dalam mengelola ruang publik—bukan sekadar mempercantik tampilan luar, tapi juga membangun jati diri kawasan, agar Kayutangan benar-benar terasa “Malang banget” dan tak bisa ditemukan di tempat lain.

Jika ditata dengan visi yang jelas, Kayutangan bisa menjadi model kolaborasi pusat-daerah dalam pengelolaan destinasi berbasis identitas lokal yang hidup. Ini bukan semata proyek estetika, tetapi bagian dari upaya nasional untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan pelestarian budaya. Peluang besar terbuka bagi Malang jika Kayutangan benar-benar ditata sebagai destinasi unggulan berbasis identitas lokal.

Pertama, ekonomi kreatif akan tumbuh lebih sehat jika didukung oleh ekosistem wisata yang konsisten. Kedua, pelestarian sejarah bisa dilakukan secara simultan dengan pemberdayaan warga, bukan hanya mengandalkan pendekatan museum yang pasif. Ketiga, positioning Malang sebagai kota budaya-kreatif bisa diperkuat di tingkat nasional bahkan internasional, jika narasi Kayutangan dibingkai sebagai proyek kolaboratif yang hidup dan terus tumbuh.

Kayutangan hari ini memang menarik secara visual, tetapi belum cukup kuat secara makna. Kota ini butuh visi yang lebih berani: menjadikan kawasan heritage bukan sekadar tempat yang indah difoto, tetapi juga sarana belajar sejarah, pusat pertumbuhan ekonomi warga, serta ruang hidup yang bisa memperkuat rasa memiliki warganya terhadap kotanya sendiri.

Kayutangan adalah peluang besar untuk membuktikan bahwa kota ini mampu menghadirkan destinasi wisata yang berbeda, lebih dalam, lebih berkarakter, dan lebih dekat dengan warga. Dengan konsep heritage yang ditawarkan, Kayutangan seharusnya bisa menjadi ruang wisata edukasi yang bernilai sejarah.

Pemerintah Kota Malang harus melihat penataan Kayutangan bukan hanya sebagai proyek mempercantik kota, tetapi sebagai langkah membangun identitas jangka panjang. Ini bukan semata soal jalan yang bersih atau bangunan yang dipugar, tapi tentang membentuk cerita kota yang utuh dan membanggakan.

Karena kota yang hebat tidak hanya dibangun dari beton dan cahaya, tapi dari ingatan kolektif, keterlibatan warga, dan keberanian untuk tampil beda. Kayutangan bisa menjadi awal dari langkah besar itu, asal dikelola dengan hati, bukan sekadar strategi.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img