Thursday, September 25, 2025
spot_img

Privilege Bubble

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Enaknya jadi pejabat dan orang kaya. Mereka punya keistimewaan (privilege). Anak keturunannya pun menikmati privilege itu. Privilege atau hak istimewa tak jarang menjadikan mereka yang bergelimang harta dan kuasa itu bisa berbuat apa saja. Kemanapun dikawal mobil pakai strobo dan sirine “tot tot wuk wuk” misalnya. Kebanyakan di antara makhluk istimewa itu bergaulnya hanya dengan sesama mereka. Orang-orang yang punya privilege itu hidup dalam gelembung lingkungan mereka (privilege bubble).

          Previlege bubble tak jarang menjadikan para orang kaya tak pernah bersinggungan dengan orang miskin. Demikian halnya dengan sejumlah pejabat yang berkuasa. Tak banyak pejabat yang benar-benar bisa menyelami dan merasakan nasib rakyatnya karena kebanyakan lingkungan mereka adalah orang-orang dengan kehidupan yang serba ada. Situasi ini menjadikan tak sedikit pejabat yang sikap, tingkah laku, dan kebijakannya tak pro pada rakyat miskin dan terpinggirkan.

          Previlege biasanya juga dinikmati oleh anak-anak pejabat. Tak sedikit anak pejabat yang senangnya umbar kemewahan dan kemudahan karena kekuasaan yang dimiliki orang tuanya. Bahkan tak sedikit pejabat yang menjadikan anak keturunan mereka sebagai penerusnya. Jadilah politik dinasti mengejala. Para penerus karbitan pun dengan gampang melenggang menduduki kursi kekuasaan melanjutkan orang tua atau dinastinya.

Privilege Bubble

          Negara Nepal dilanda demonstrasi besar berujung kerusuhan yang dipicu oleh kemarahan rakyat dan Gen Z terhadap anak-anak pejabat yang suka pamer kekayaan. Ini tak hanya tentang arogansi anak muda, melainkan juga cermin dari ketidakadilan struktural yang semakin terlihat jelas di era digital. Fenomena ini bisa disebut sebagai privilege bubble, yakni gelembung privilege yang melindungi, sekaligus memisahkan, anak-anak elite dari realitas sosial di sekitarnya.

          Privilege sejatinya adalah bawaan yang dimiliki seseorang karena status keluarganya, baik itu kekayaan, jabatan politik, ataupun akses sosial. Privilege bukan sesuatu yang salah dengan sendirinya. Banyak anak pejabat atau pengusaha yang memanfaatkan privilege mereka untuk membangun usaha, membantu orang lain, atau melanjutkan tradisi keluarga dalam pelayanan publik.

          Namun, masalah muncul ketika privilege digunakan secara demonstratif dengan dipamerkan, dieksploitasi, dan dijadikan alat untuk merendahkan orang lain. Anak-anak pejabat di Nepal yang memamerkan mobil mewah, pesta glamor, hingga akses eksklusif ke berbagai fasilitas, menjadi simbol dari jurang ketidakadilan yang dirasakan rakyat Nepal. Saat mayoritas masyarakat berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari, tontonan kemewahan ini melukai rasa keadilan sosial.

          Kenyataan ini tak jauh dengan yang terjadi di negeri ini.  Aksi sejumlah wakil rakyat pamer kekayaan dan berbagai tunjangan yang fantastik sementara situasi ekonomi rakyat sedang sulit. Sikap ini tentu dapat melukai hati dan perasaan rakyat. Jadilah aksi tuna empati yang didemonstrasikan sejumlah wakil rakyat itu memicu kemarahan dan jadi sulut api demonstrasi dan kerusuhan.

Medsos Ajang Pamer

          Jika pada masa lalu privilege para manusia tajir dan berkuasa bisa tersembunyi di balik pagar rumah besar atau lingkaran sosial terbatas. Kini melalui beragam platform media sosial (medsos) telah jadi ruang pamer (flexing) kemewahan di antara mereka.  Melalui Instagram, TikTok, dan YouTube telah jadi panggung bagi manusia-manusia elite untuk memamerkan kehidupan hedonistik mereka.

          Ironisnya, medsos yang semula dimaksudkan untuk berbagi kebahagiaan justru memperbesar jurang sosial. Setiap kali seorang anak pejabat mengunggah foto liburan ke Eropa atau pesta ulang tahun miliaran rupiah, publik yang melihat merasa makin teralienasi. Akumulasi rasa iri, marah, dan tak adil akhirnya melahirkan perlawanan sosial. Aksi nirempati itu jadi amunisi bagi aksi perlawanan kolektif sejumlah masyarakat.

          Demonstrasi di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia beberapa waktu lalu, termasuk demonstrasi masif Generasi Z di Nepal dan Filipina membuktikan bahwa publik tak lagi pasif. Ketika realitas kemiskinan bersanding dengan tontonan kemewahan, kemarahan bisa meledak. Privilege bubble yang selama ini melindungi anak-anak elite justru pecah dihantam gelombang kekecewaan rakyat.

          Kerusuhan di Nepal misalnya adalah bukti bahwa masyarakat dan Generasi Z tak lagi mau diam. Rakyat merasa para elite dan anak-anaknya hidup dalam realitas paralel, terputus dari kehidupan sehari-hari warga biasa. Gelembung keistimewaan itu rapuh. Begitu bersentuhan dengan kenyataan pahit masyarakat seperti kemiskinan, pengangguran, krisis ekonomi, gelembung itu mudah pecah.

          Fenomena kerusuhan di Nepal memberi pelajaran penting bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Amuk massa di Nepal jadi peringatan keras bahwa ketika jurang sosial terlalu lebar, masyarakat bisa memecahkan gelembung itu dengan cara radikal. Di negeri ini kita juga sering melihat anak pejabat atau figur publik memamerkan gaya hidup glamor. Di tengah ketimpangan ekonomi saat ini, pamer kekayaan hanya akan memperuncing rasa ketidakadilan.

          Menikmati privilege memang melenakan. Sesungguhnya lupa diri dengan beragam keistimewaan itu hanya bikin tumpul empati. Menjadikan hati dan perasaan tak peka situasi sekitar. Membuat sang pejabat yang berkuasa tak mampu peduli pada penderitaan rakyat. Untuk itu, sudahi keseringan berada dalam gelembung privilege agar jadi manusia yang tak tuna empati.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img