MALANG POSCO MEDIA, MALANG – Di tengah gempuran budaya luar dan gemerlapnya era teknologi, masih ada masyarakat yang tetap konsisten melestarikan budaya bangsa. Yaitu Ratna Ari Sandhy, warga Kelurahan Buring yang hampir satu dekade ini menjadi perajin wayang kulit.
Di tangan Ratna dan suaminya, lembaran kulit kambing diubah dan diolah menjadi beragam karakter wayang kulit dengan berbagai ukuran. Meski banyak orang menilai wayang kulit adalah sesuatu hal yang ‘jadul’, Ratna dan suaminya konsisten membuat wayang kulit, hingga diminati pasar luar negeri. Seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia, Korea Selatan hingga Jepang.
“Di Kota Malang itu sebenarnya tersisa tiga perajin. Tapi itu pun satu sudah meninggal beberapa waktu lalu karena beliau sudah sepuh, tinggal saya sama satu lagi ada di Sawojajar. Saya menggeluti ini karena memang suka dan cinta dengan wayang kulit,” ungkap Ratna kepada Malang Posco Media.
Ratna mulai menekuni kerajinan wayang kulit sejak tahun 2016 silam. Saat itu Ratna dan suaminya yang sedari lama memang cinta dunia wayang, berinisiatif untuk mencoba membuat wayang kulit. Setelah beberapa kali percobaan, Ratna akhirnya berhasil membuat wayang kulit dengan kualitas terbaik.
Berawal dari kecintaannya saat itu, Ratna dan suaminya akhirnya dibantu dengan dua orang sebagai asisten untuk membuat wayang wayangnya dan kemudian memenuhi permintaan konsumen yang berminat dengan hasil karyanya. Saat itu, ia banyak mensuplai wayang kulit ke dalang-dalang wayang kulit untuk keperluan pentas wayang. Usaha wayang kulitnya, ia beri nama dengan Bahasa Jawa, yaitu Tuladha, atau artinya adalah contoh atau panutan.
“Kebanyakan pelangganku dalang dari Jawa Tengah, daerah Boyolali, Jogja, Solo, justru banyak dari sana. Selalu ada saja PO (pre order atau pesanan) dari sana, satu bulan sebelum mereka pentas wayang kulit. Kalau dari Malang tidak terlalu banyak dari dulu sampai sekarang,” beber Ratna.
Saat itu, Ratna bisa memproduksi wayang kulit berukuran besar sekitar 60 sentimeter sebanyak 20 pieces tiap bulannya. Sementara yang berukuran sedang dan kecil, masing masing setidaknya minimal ada 10 pieces pesanan tiap harinya.
Kerajinan wayang kulit itu terus ia tekuni dengan konsisten hingga pasarnya meluas. Tidak hanya sekup regional dan nasional, tapi juga hingga mancanegara. Sayangnya, kondisi itu kemudian berubah total, ketika badai pandemi Covid-19 menghantam.
Produksi wayang kulitnya seketika anjlok hingga membuat Ratna dan suaminya harus putar otak. Sejak pandemi lalu, Ratna akhirnya memanfaatkan peluang wayang kulit untuk dipasok menjadi oleh-oleh atau souvenir.
“Sekarang, untuk permintaan dari dalang, PO masuk sudah sangat jarang sekali. Ada hanya sesekali saja. Untungnya masih ada pesanan dari souvenir. Jadi saya tetap produksi tiap hari, tapi memang sudah jauh kalau dibandingkan dengan dulu, walaupun ini sudah mulai naik untuk oleh-oleh,” jelas wanit kelahiran 8 Januari 1984 tersebut.
Biasanya, Ratna memasok wayang kulit sebagai souvenir untuk kalangan mahasiswa atau dosen saat pertukaran pelajar dan sebagainya. Tidak hanya itu, Ratna terkadang juga memasok ke tempat oleh-oleh hingga sejumlah hotel butik yang biasanya membutuhkan souvenir bagi pengunjungnya.
Beruntungnya lagi, Ratna sejak lama juga punya side-job atau pekerjaan lain dengan jenis kerajinan yang berbeda. Sehingga, ia tidak sampai berubah haluan atau bahkan gulung tikar, seperti perajin wayang kulit lain di berbagai daerah di Indonesia, yang jumlahnya makin sedikit.
Ratna tidak menampik, peminat wayang kulit memang sudah jauh berkurang. Makin sulit menemui generasi muda saat ini yang suka wayang. Bahkan, orang-orang yang dulunya merupakan seorang dalang atau juga pecinta wayang yang punya koleksi wayang, ternyata banyak juga yang menjual wayangnya.
Walau peminat maupun perajin wayang makin sepi, Ratna berkomitmen untuk membuat wayang, setidaknya sebagai bentuk kecintaannya terhadap budaya wayang.
“Kalau berhenti membuat wayang, saya rasa tidak akan ya. Saya merintis ini istilahnya sudah jatuh bangun, kalau orang Jawa bilang itu sudah ‘keloro-loro’, jadi ’eman’ kalau berhenti,” tutur Ratna.
Sulitnya menjual wayang di tengah masyarakat yang kini mulai didominasi oleh kalangan Milenial dan Gen Z, dikatakan Ratna juga bukan perkara gampang. Beragam komentar hingga cibiran sudah sangat sering mewarnai perjalanan berkarya Ratna selama hampir satu dekade ini.
Kendati demikian, Ratna tetap semangat menekuni pembuatan wayang kulit yang tentu prosesnya pun tidak sesederhana yang dibayangkan. Apalagi di rumahnya yang berada di perbukitan, dengan cuaca lebih dingin. Semuanya dilakoni Ratna dengan begitu ikhlas dan tetap penuh optimisme.
“Yang mengapresiasi ada, tapi yang bilang ‘sampean jual itu laku kah? Kok tetap konsentrasi di wayang?’, ya saya bilang dari awal memang saya itu melestarikan wayang. Wayang sudah melekat di saya. Walaupun ada yang beli atau tidak, saya tetap bikin wayang, saya pakai sendiri,” kenang Ratna.
Sebagai upayanya untuk eksis, Ratna pun kini berkreasi dan melakukan inovasi. Selain tetap memproduksi wayang kulit, Ratna juga memproduksi wayang berukuran kecil yang bisa digunakan sebagai aksesoris. Bahkan, terkini, Ratna mulai sukses mempopulerkan anting wayang yang mulai diminati banyak kalangan.
Dengan upayanya itu, ia berharap wayang kulit bisa tetap eksis, sehingga anak bangsa bisa menyaksikan kekayaan budaya Indonesia.
“Saya tidak langsung jual anting wayang. Tapi saya pakai dulu, untuk mengenalkan ke orang-orang. Tiap ada kesempatan seperti pameran atau acara apa, itu saya tunjukkan. Dari situ saya sampai dikenal ‘Mbak Wayang’ dan akhirnya mulai masuk pesanan anting wayang. Jadi saya akan terus menekuni kerajinan ini dengan memanfaatkan semua peluang yang ada,” pungkas wanita yang juga hobi merajut ini. (ian/jon)