Pidato penuh semangat Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum PBB dan gagasan tentang two state solution untuk mengakui kedaulatan Palestina, membuat banyak pihak berdecak kagum. Namun, kagum saja rasanya kurang. Kita perlu melakukan refleksi dari langkah diplomasi tersebut, terlebih sudah sepuluh tahun Indonesia selalu absen dalam sidang umum PBB.
Pertama, refleksi atas kedaulatan Palestina. Palestina dan Mesir merupakan dua negara yang pada awal kemerdekaan Indonesia, langsung mengakui eksistensi bangsa dan negara ini. Tentu, dalam konteks diplomasi, pengakuan dari kedua negara tersebut sangat penting. Sebab, dalam syarat berdirinya negara, yang lazim dipelajari oleh mahasiswa strata-1 di mata kuliah Ilmu Negara, ada empat syarat utama berdirinya sebuah negara. Yaitu adanya pemerintahan, adanya rakyat, adanya wilayah dan yang terakhir adanya pengakuan dari negara lain.
Palestina sebagai sebuah negara, sudah memiliki 3 dari empat syarat berdirinya negara tersebut. Hanya saja, eksistensi Palestina sebagai negara, terganjal oleh pengakuan dari Amerika Serikat, Israel dan sekutunya.
Kini, melalui sidang umum PBB di New York, lebih dari 150 negara anggota PBB telah mengakui kedaulatan Palestina. Termasuk beberapa negara besar Eropa seperti Prancis dan Inggris yang biasanya menolak. Pengakuan ini tentu menjadi syarat tambahan mutlak yang sudah diraih oleh Palestina. Dan tentu, upaya ini juga menjadi salah satu hasil manis, balas budi atas pengakuan Palestina kepada sebuah bangsa dan negara bernama Indonesia, puluhan tahun lalu.
Kedua, kedaulatan sama dengan berdaya saing. Meskipun menghadapi agresi dari zionis Israel selama puluhan tahun, Palestina berhasil menunjukkan daya saingnya. Setidaknya dalam kancah olahraga, timnas Palestina masih bisa eksis. Soal urusan sepak bola misalnya, timnas Palestina ikut ambil bagian dalam setiap seleksi dan piala sektor umur.
Refleksi yang harus diambil oleh Indonesia, mengapa kita lebih gemar mendatangkan pemain naturalisasi, misalnya dalam cabor sepak bola, basket dan yang terbaru di cabor hoki dengan me-naturalisasi atlet Rusia yang sudah berumur. Apakah bangsa Indonesia kurang jumlah penduduk? Ratusan jiwa penduduk kita punya, termasuk diaspora. Tapi kenapa masih gemar naturalisasi?
Padahal, di cabor bulu tangkis misalnya, atlet Indonesia bahkan harus dinaturalisasi oleh negara lain, seperti Kroasia, Azerbaijan, dan sebagainya. Bisakah kita yang sudah berdaulat penuh, menjadi bangsa yang berdaya dan diperhitungkan di kancah dunia? Inilah pertanyaan besarnya.
Di saat tetes tebu dan singkong melimpah, ternyata pasar justru merespon dengan penolakan. Alhasil, tetes tebu dan singkong yang sedang panen raya, justru harganya sangat murah. Petani menjerit, kalah bersaing dengan produk impor, yang konon berasal dari Thailand. Atau soal padi dan beras. Panen raya di depan mata, konon stok beras melimpah, namun harga beras di tingkat eceran tak kunjung turun.
Merdeka dan berdaulat artinya bisa berdaya saing. Bangsa ini, tidak sekadar sebagai bangsa tujuan empuk bagi para produsen asing. Tapi kita seyogianya bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri. Sungguh ironi, di saat para petani panen, namun harga jual rendah, sementara konsumen dipaksa membeli dengan harga tinggi. Adakah rantai pasok yang bermasalah, itulah yang harus segera diurai.
Ketiga, Negara berdaulat itu gemar berderma. Seperti janji Prabowo untuk segera mengirim pasukan perdamaian ke Palestina, maka itulah cermin negara berdaulat. Tidak terlalu banyak utang, mampu mengelola kekayaan SDM negaranya untuk kemakmuran seluruh rakyatnya, bukan kemakmuran kroninya.
Maka, dengan menjadi negara yang berdaulat, Indonesia sudah seyogianya menancapkan kuku taringnya di kancah dunia dengan memberikan bantuan. Kita tentu miris, dengan kuatnya peran diplomasi Malaysia. Kuala Lumpur sebagai ibu kota negara, dipilih oleh Thailand dan Kamboja sebagai meja perundingan yang aman.
Tak hanya di level ASEAN, Malaysia juga bersuara di kancah dunia dengan menjadi jembatan pertemuan antara Amerika Serikat dan China. Kedua Menlu negara adidaya tersebut saling bertemu untuk membahas perang tarif.
Tentu, ini bukan hanya soal perang tarif antara keduanya. Tapi ini lebih kepada kekuatan diplomasi Malaysia, sehingga Malaysia dipilih untuk menjadi tempat berunding bagi keduanya. Posisi ini pernah diperankan oleh Indonesia, dulu kala saat KTT Asia-Afrika. Indonesia mampu kala itu menjadi jembatan antara negara-negara di Asia dan Afrika untuk menyongsong era baru, era kemerdekaan bagi segenap bangsa di dunia.
Namun, kini, Indonesia seolah tertidur panjang. Menjadi negara berdaulat, namun di nina bobo-kan oleh gemerlap zaman.
Ketiga refleksi tersebut menjadi modal penting bagi Indonesia, untuk bisa terus berkiprah di kancah internasional dengan tidak menurunkan standar pemenuhan kesejahteraan bagi rakyatnya di tingkat nasional. Kebijakan demi kebijakan terus diperbaiki guna mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur. Semoga bangsa ini segera bangun dari tidur panjangnya dan menjadi the real Macan Asia.(*)