Tuesday, October 7, 2025
spot_img

Adik Jusuf Kalla Tersangka Korupsi Proyek PLTU 1 Kalbar

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Rugikan Negara Rp1,35 Triliun

MALANG POSCO MEDIA– Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri menetapkan 4 tersangka dalam kasus dugaan korupsi PLTU 1 Kalimantan Barat. Dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (6/10), Kakortastipidkor Polri Irjen Pol Cahyono Wibowo mengungkap salah satu tersangka yakni adik Wakil Presiden RI ke-10 dan 12 Jusuf Kalla, Halim Kalla, selaku Presiden Direktur PT BRN. Tersangka lainnya, yakni FM selaku mantan direktur perusahaan listrik milik negara, RR selaku Direktur Utama PT BRN, dan HYL selaku Direktur Utama PT Praba Indopersada.

Kortastipidkor Polri mengungkapkan bahwa kasus dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat merugikan negara sebesar Rp1,35 triliun. “Total kerugian keuangan negaranya itu Rp1,35 triliun dengan kurs sekarang,” kata Kepala Kortastipidkor Polri Inspektur Jenderal Polisi Cahyono Wibowo di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (6/10).

-Advertisement- HUT

Cahyono mengatakan jumlah kerugian itu merupakan total loss (kerugian total) dengan rincian 62.410.523,20 dolar AS atau setara Rp1,03 triliun dan Rp323.199.898.518.

Adapun kerugian tersebut didasarkan dari jumlah uang yang telah dikeluarkan perusahaan listrik milik negara kepada pihak swasta, yaitu KSO BRN, untuk proyek pembangunan PLTU 1 Kalbar berkapasitas output 2×50 megawatt (MW) yang tidak diselesaikan.

“Untuk kontraknya sendiri ini sebenarnya EPCC, yaitu Engineering Procurement Construction Commissioning. Artinya, yang dihasilkan adalah output-nya. Karena output-nya tidak berhasil maka dalam konteks kerugian keuangan negara ini adalah total loss,” katanya.

Kerugian tersebut ditetapkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI pada 22 Juli 2025. Dia memaparkan bahwa dalam kasus ini, perusahaan listrik milik negara pada tahun 2008 mengadakan lelang untuk pembangunan PLTU 1 Kalbar di Kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah, Kalbar.

Namun, sebelum pelaksanaan, terjadi pemufakatan untuk memenangkan PT BRN. Dalam pelaksanaan lelang, KSO BRN-Alton-OJSC juga telah diatur agar diloloskan dan dimenangkan meskipun tidak memenuhi syarat administrasi dan teknis. “Selain itu, diduga kuat bahwa perusahaan Alton-OJSC tidak tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai oleh PT BRN,” ucap Totok.

Kemudian, pada tahun 2009, sebelum dilaksanakan penandatanganan kontrak, KSO BRN mengalihkan seluruh pekerjaan pembangunan kepada PT Praba Indopersada, termasuk penguasaan rekening KSO BRN, dengan kesepakatan pemberian imbalan kepada PT BRN.

Selanjutnya, tersangka HYL diberi hak sebagai pemegang keuangan KSO BRN. “Dalam hal ini diketahui bahwa PT Praba juga tidak memiliki kapasitas untuk mengerjakan proyek PLTU di Kalbar,” ungkapnya.

Berikutnya, pada tanggal 11 Juni 2009, tersangka FM selaku direktur perusahaan listrik milik negara dengan tersangka RR selaku Direktur Utama PT BRN menandatangani kontrak dengan nilai 80.848.341 dolar AS dan Rp507.424.168.000,00. Tanggal efektif kontrak tersebut mulai 28 Desember 2009 dengan masa penyelesaian sampai tanggal 28 Februari 2012.

Pada akhir kontrak, KSO BRN maupun PT Praba Indopersada baru menyelesaikan 57 persen pekerjaan. Sampai amandemen kontrak yang ke-10 yang berakhir pada 31 Desember 2018, KSO BRN maupun PT Praba Indopersada tidak mampu menyelesaikan pekerjaan atau hanya mencapai 85,56 persen karena alasan ketidakmampuan keuangan. “Akan tetapi, fakta sebenarnya pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan 85,56 persen sehingga PT KSO BRN telah menerima pembayaran dari perusahaan listrik milik negara sebesar Rp323 miliar dan sebesar 62,4 juta dolar AS,” ucapnya.

Sampai saat ini, pembangunan PLTU tersebut belum juga selesai dan tidak dapat dimanfaatkan sehingga negara mengalami kerugian. (ntr/udi)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img