Era digital telah melahirkan teknologi algoritmik yang kian canggih. Melalui algoritma digital kita disajikan aneka konten yang sesuai dengan pandangan politik, agama, minat, gaya hidup, dan faktor lain. Algoritma juga menjadikan kita hanya berinteraksi dengan orang-orang yang serupa secara sosial, budaya dan ideologi. Inilah yang disebut dengan homofili yakni kecenderungan untuk menyukai hal yang sama.
Homofili telah menjelma menjadi sebuah gelembung kenyamanan. Homifili menjadikan dunia yang seragam. Di ruang-ruang digital penuh gema pendapat yang sama dan minim ruang dialog dengan perbedaan. Homofili digital tak hanya soal preferensi pribadi, tetapi juga hasil dari desain algoritma yang secara aktif memfilter informasi agar sesuai dengan minat dan keyakinan kita.
Pada dasarnya, manusia memang suka berteman dan bekerja sama dengan mereka yang memiliki latar belakang, nilai, atau pengalaman yang serupa. Mengutip Mark Granovetter (1973) dalam bukunya “The Strength of Weak Ties” menyatakan bahwa ikatan sosial yang kuat cenderung sama (homogen), tetapi justru ikatan akan menjadi sangat lemah dengan orang yang berbeda yang memberi akses pada informasi baru dan pandangan yang berbeda.
Anarkisme Digital
Algoritma digital telah menjadikan seseorang yang sering menyukai konten politik tertentu misalnya, akan semakin banyak disuguhi konten serupa. Mereka berinteraksi dengan orang-orang yang berpandangan sama, membentuk komunitas digital yang homogen. Akhirnya dunia maya terasa seperti ruang gema (echo chamber) yang hanya memantulkan pandangan yang sudah diyakini sebelumnya. Orang merasa selalu benar karena pandangannya divalidasi oleh lingkaran mereka. Sebaliknya, mereka mudah menganggap pihak yang berbeda sebagai musuh.
Situasi ini dapat memicu terjadinya anarkisme digital. Homofili dan anarkisme digital saling terkait dan berkontribusi terjadinya polarisasi dan disinformasi hingga kerusuhan sosial di dunia nyata. Ruang digital yang seharusnya menjadi tempat pertukaran gagasan berubah jadi arena pertempuran identitas. Polarisasi pun tak bisa dielakkan. Polarisasi itu tak hanya terjadi di dunia maya, tetapi merembes ke dunia nyata, memengaruhi pilihan politik, perilaku sosial, dan relasi antarwarga.
Di ruang-ruang digital siapa saja bisa menyebarkan informasi tanpa verifikasi, menyerang orang lain dengan ujaran kebencian, atau mengorganisasi massa untuk tindakan tertentu tanpa identitas jelas. Anonimitas dan algoritma memberi perlindungan sekaligus kekuatan bagi perilaku anarkis ini.
Homofili menciptakan kelompok-kelompok homogen di dunia maya yang membuat aturan formal melemah dan digantikan oleh aturan dan kesepakatan kelompok. Ketika sentimen marah atau kebencian dominan, anarkisme digital jadi mudah tersulut.
Saat homofili telah membuat orang buta terhadap pandangan lain dan anarkisme digital memberi kebebasan tanpa batas, maka ruang publik digital berubah menjadi hutan belantara. Kalau sudah begini, maka yang berlaku adalah logika kerumunan. Ruang digital dikendalikan oleh mereka yang homogen dan powerful. Hal ini menjadi komunikasi digital rapuh karena tak ada mekanisme kontrol yang seimbang antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial.
Homofili digital mempersempit cakrawala berpikir. Ia membuat kita merasa bahwa mayoritas orang berpikir sama seperti kita, dan bahwa pandangan berbeda adalah ancaman yang harus diserang. Di sinilah potensi anarkisme digital muncul. Ruang publik digital kehilangan struktur komunikasi rasional, digantikan oleh polarisasi, manipulasi, dan perpecahan. Media digital dikuasai oleh logika “aku” dan yang “seperti aku.” Demokrasi yang seharusnya dibangun atas dasar pertukaran pandangan, justru jadi arena perang opini penuh caci maki.
Ruang Digital yang Sehat
Salah satu akar persoalan homofili digital adalah rendahnya literasi digital masyarakat. Literasi digital adalah kemampuan untuk memilah informasi, memahami cara kerja algoritma, dan berpikir kritis terhadap beragam konten di media digital. Tanpa literasi, pengguna media digital rentan terjebak dalam konfirmasi bias dan hanya mencari dan mempercayai informasi yang sesuai dengan pandangan mereka dan menolak semua yang berbeda.
Situasi ini menjadikan dunia digital saat ini menjadi ladang subur bagi truth decay atau pembusukan kebenaran. Truth decay adalah kondisi di mana fakta objektif semakin tak dihargai, dan opini subjektif lebih dipercaya. Homofili digital menjadi bahan bakarnya. Jika tak dikelola dengan baik, fenomena ini bisa berujung pada krisis sosial. Polarisasi semakin tajam, masyarakat kehilangan kemampuan berdialog dan ruang digital menjadi arena konflik.
Masyarakat perlu dilatih untuk mengenali bias algoritma dan dampak homofili digital. Mereka harus menyadari bahwa informasi yang muncul di linimasa bukan cermin realitas, melainkan hasil kurasi algoritma. Platform digital maupun komunitas sipil perlu menciptakan ruang untuk mempertemukan pandangan yang berbeda. Dialog lintas kelompok bisa menjadi cara memecahkan echo chamber. Komunitas yang berbagi nilai positif juga perlu diperkuat agar bisa melawan gelombang anarkisme digital. Kita hidup di mana algoritma mampu membentuk opini publik, membelah komunitas, bahkan memengaruhi banyak sektor kehidupan kita. Dalam situasi ini, menjadi warga digital yang bertanggung jawab bukan pilihan, tetapi keharusan. Homofili digital bisa dikendalikan. Kuncinya ada pada kesadaran kritis, keberanian untuk mendengarkan, dan komitmen untuk membangun ruang digital yang lebih sehat. (*)