Di Balik Cerita Liputan Musibah Ponpes Al Khoziny
MALANG POSCO MEDIA- Ambruknya bangunan Musala Ponpes Al Khoziny di Buduran, Kabupaten Sidoarjo mendapatkan perhatian seluruh Indonesia. Bahkan, dunia internasional. Malang Posco Media pun tanggap dengan kejadian tersebut dengan menurunkan tim untuk Liputan Khusus ke Sidoarjo. Tiga orang yakni wartawan Stenly Rehardson, lalu Slamet Prayitno dan Arvidya Maulid Dana terjun ke lapangan di hari ketiga, yang kebetulan mulai ditemukan korban yang dievakuasi di balik reruntuhan.
Serba mendadak dan harus siap. Hari itu, Rabu 1 Oktober 2025. Masih pagi, mulai pukul 06.30 WIB. Kami masing-masing dapat calling untuk tugas spesial tersebut. Saya, Stenly Rehardson kala itu mendapatkan calling hanya beberapa menit sebelum pukul 07.00 WIB. Pemred Malang Posco Media Muhaimin terlihat dua kali melakukan panggilan tak terjawab. Saya sudah di kamar mandi, memang bersiap untuk berangkat liputan. Karena hampir setiap harinya, saya berangkat pukul 07.30 WIB.
Begitu tahu, saya calling balik untuk mendapatkan penjelasan dari penugasan, yang sudah dijapri juga by WA dan di grup Redaksi. ‘Siap’, itu yang ada dipikiran saya. 1,5 jam setelah tugas tersebut, saya sudah di kantor, bertemu Dana yang juga sudah menunggu. Setelah itu kami berangkat ke Lawang, menjemput Cak Tem (Slamet Prayitno).
Di perjalanan, kami belum ada gambaran apapun. Karena belum tahu kondisi di lokasi. Sekitar 1,5 jam, kami sampai di lokasi. Parkir yang sulit, karena dari pintu luar menuju Ponpes Al Khoziny, hampir 1 kilometer menjadi tempat parkir banyak pihak. Mulai dari mobil pribadi hingga mobil kantor media atau banyak lembaga lain. Kami pun berjalan lebih dari 500 meter untuk menuju lokasi.
Tujuan utama adalah posko. Karena belum tahu, tentunya kami masih bertanya-tanya. Mulai dari polisi yang berjaga tepat di timur rel kereta api sebelum menuju gerbang utama Kampus I Ponpes Al Khoziny, hingga berada di depan gerbang, ketika kami dicegat dan dilarang mendekat lewat pintu tersebut. Padahal, itu sudah sangat dekat dengan lokasi reruntuhan, yang tepat di belakang gedung empat lantai yang jadi asrama santri putra.
Kami harus berjalan lagi ke Posko Utama, tempat dimana para wali santri menunggu, dapur umum hingga area dimana pihak SAR Gabungan akan melakukan konferensi pers, atau pertemuan pula dengan para keluarga korban untuk menerangkan apa saja yang mereka kerjakan. Sekitar 30 menit kami coba memahami alur peliputan.
Tak lama, Kepala BNPB Letjend TNI Suharyanto menemui keluarga korban. Di sana kondisi mulai beragam. Ada yang cemas, ada yang tidak sabar, ada pula yang menangis menunggu kabar nasib 66 santri yang sudah terpampang di papan pengumuman. Mereka sedang hilang. Artinya, besar kemungkinan mereka ada di balik reruntuhan.
Di sana dijelaskan, ada 15 titik yang diketahui ada korban. Dan dari titik tersebut, sebagian besar masih ada tanda kehidupan. Akan tetapi, tim SAR Gabungan tidak bisa memastikan berapa jumlahnya. Sebab, ada di satu titik terdapat 4-5 korban.
Setelah sesi tersebut, kami coba berbagi tugas. Sebisa mungkin, mendekati lokasi, untuk update perkembanga evakuasi. Tapi, semua sudah dijaga ketat dan media pun tak bisa mendekat. Akhirnya, setelah pengumpulan data sekitar lima jam, kami memulai untuk menginventarisir dan membuat tulisan. Mulai dari rekaman suara, video dan foto. Harus valid.
Saya sempat bertemu dengan Abdul Hannan, ayah dari Alfatih Cakra Buana yang selamat dengan cara istimewa, banyak tertidur dan badannya tertimbun debu reruntuhan. Kisah Pak Hannan ini viral, karena dia juga jadi salah satu wali santri yang aktif berkomunikasi dengan banyak pihak. Meskipun cemas, cara dia menghadapi musibah ini luar biasa. Dia menenangkan saudara-saudara wali santri lainnya. Percayakan pada petugas. Apalagi, golden time kehidupan saat itu juga sudah kurang dari 24 jam.
Saya juga sempat wawancara Pak Imron, yang masih saudara dengan Abdul Hannan. Sayangnya, kabar duka akhirnya harus diterima karena M. Haikal Ridwan, dipastikan jadi korban dengan keterangan tim DVI pada 8 Oktober lalu. Pak Imron saat itu menyebut, dia sudah menyiapkan hati dengan segala takdir Tuhan untuk keluarganya, termasuk kehilangan anaknya. Sebab, dia sudah memiliki firasat dengan sejumlah perkataan Haikal sebelum berangkat ke Ponpes tiga hari sebelumnya. Mulai dari enggan berangkat, minta diundur hingga dua jam sebelum kejadian, telepon untuk minta dijemput. Haikal ingin pulang.
Menghadapi narasumber yang tentu saja terpukul, kita harus benar-benar tepat memilih diksi ketika berkomunikasi. Saya tidak berani meminta mereka sabar atau tabah. Saya menitipkan pesan. Bapak harus sehat, tidak lupa asupan makanan dan vitamin, untuk menantikan Haikal, menjaga keluarga yang juga sama-sama menunggu. Dia menangis, meskipun di hadapan istrinya dan anak bungsunya mencoba terlihat kuat.
Saat mulai melaporkan untuk tulisan, derai suara ambulans terus berbunyi. Sejak pukul 15.00 WIB, sudah ada sejumlah korban dievakuasi. Selamat dan ada juga yang meninggal. Ya, multitasking wajib, menulis berita dari data yang sudah saya kumpulkan, sekaligus terus update bila ada perubahan informasi. Terutama terkait evakuasi, baik korban selamat maupun meninggal.
Cerita lainnya, Slamet Prayitno dari tim digital. Saya kembali lagi ke Sidoarjo setelah 1998 pernah magang di percetakan dan desain Majalah Fakta. Namun kali ini, saya berangkat dengan tujuan meliput peristiwa ambruknya Musala Al-Khoziny.
Jika Stenly bertugas menulis berita, saya dan Dana mengambil video serta foto untuk Koran Malang Posco Media dan konten media sosial kami. Saya menunggu mereka di sebelah utara Pasar Lawang. Setelah mendapatkan tempat parkir, kami langsung menuju lokasi ambruknya musala. Kami sempat dihadang dan diarahkan ke gang sebelah, tempat Basarnas, jurnalis, dan keluarga korban menunggu kabar hasil evakuasi.
Di lokasi itu sudah hadir sejumlah pimpinan daerah seperti Gubernur Khofifah Indar Parawansa, Wakil Gubernur Emil Listianto Dardak dan Kepala BNPB Suharyanto. Kami kemudian berbagi tugas. Stenly mengikuti Wagub Emil, Dana mengikuti Kepala BNPB, dan saya mengikuti Bu Khofifah, dengan harapan ada yang bisa masuk ke lokasi kejadian sehingga kami bisa mendapatkan gambar, karena sebelumnya kami sempat dihadang dan tidak diperbolehkan masuk. Akhirnya, hanya Dana yang berhasil masuk ke lokasi bersama Kepala BNPB yang hanya sekilas melintas untuk melihat kondisi TKP.
Sementara itu, Dana menjadi salah satu yang memiliki sejumlah pengalaman. Mulai dari menegangkan hingga lucu. Saya dikagetkan telepon Whatsapp dari Manager Teknis yaitu Caktem dipukul 6:30 pagi. Diberitahulah bahwa ada tugas untuk pergi meliput ke Sidoarjo.
Di lokasi, saya berniat mengikuti Kepala BNPB Suharyanto agar bisa masuk ke lokasi kejadian ambruknya Mushala Pondok Pesantren Al Khoziny. Ketika Suharyanto sudah keluar dari lokasi pengungsian bersama rombongan, saya ikutilah mereka keluar, sampai jalan keluar ke jalan depan kurang lebih 200 meter. “Sekali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”, sesuai peribahasa saya sekalian foto-foto dan video Suharyanto untuk konten Digital Malang Posco Media. Sudah, setelah jalan agak jauh saya merasa seperti kena prank! Ternyata Suharyanto tak masuk ke lokasi, justru balik pulang. Saya salah prediksi.
Untung, saya masih dekat dengan jalan menuju ambruknya mushala Ponpes Al Khoziny. Lalu, saya coba masuk kesitu, di tempat di mana sebelumnya kami tim Malang Posco Media sempat dihadang oleh orang Ponpes yang berjaga. Ehhh, ternyata saya bisa masuk walaupun hanya di depan (dibalik) gedung yang ambruk. Apakah karena tas saya tas dengan corak loreng sehingga jadi saya dikira TNI? Kurang tahu saya.
Kebetulan, Emil Dardak masuk dari sisi timur. Akhirnya saya mendapatkan beberapa capture mengenai kondisi di dekat lokasi. Termasuk bangunan asrama Ponpes, dimana di belakangnya adalah bangunan musala yang ambruk.
Selain itu, ada cerita lucu dan mungkin membuat saya merasa malu untuk menceritakan hahaha. Yaitu ketika saya meliput kedatangan Menteri Sosial Saifullah Yusuf di lokasi dapur umum dan tempat keluarga santri menunggu kabar.
Begini ceritanya, tolong jangan kaget. Datanglah saya ke lokasi, berbarengan pula dengan banyak jurnalis dari lokal sampai internasional, termasuk saya mewawancarai Saifullah Yusuf di halaman depan camp keluarga santri. Sesak memang, tapi sudah menjadi tanggung jawab profesi harus bisa bagaimanapun caranya seperti saat saya masuk ke lokasi.
Setelah para jurnalis selesai wawancara, masuklah mereka dan Gus Ipul ke dalam lokasi, tempat pertama yang akan dituju adalah dapur umum. Saat itu saya memilih berjalan agak kebelakang karena mengingat banyaknya jurnalis yang ikut masuk kedalam. Ketika sedikit lagi sudah memasuki dapur umum. Kagetlah saya apalagi orang-orang, dengan jatuhnya tremos besar berisi kopi karena tersangkut tas yang saya pakai, BRUAAK!!! Basahlah sepatu saya terkena tumpahan kopi. Reflek saya langsung meminta maaf ke orang yang disamping yang saya kira mungkin yang menjaga tempat minum tersebut, sekali lagi saya minta maaf jika bapak tersebut membaca tulisan ini. (ley/tem/dan/udi)