Wednesday, October 22, 2025
spot_img

Fenomena Gunung Es, Kasus ISPA Diduga Jauh Lebih Banyak

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA – Dokter Spesialis Penyakit Paru dan Pernafasan RSUD dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang dr. Rezki Tantular, Sp.P(K) menyebut penyakit ISPA layaknya seperti fenomena gunung es. Artinya mereka yang datang dan periksa ke fasilitas kesehatan saja yang diketahui. Sementara yang tidak memeriksakan diri dan tetap berkegiatan di masyarakat ditengarai masih banyak.

Disampaikan Rezki, penyakit ISPA mayoritas memang tergolong relatif ringan dan bisa sembuh sendiri. Hanya sebagian kecil yang menjadi berat dan perlu dirawat lebih lanjut. Namun demikian, Rezki menyoroti masih rendahnya literasi masyarakat terkait penyakit yang menular tersebut.

-Advertisement- HUT

“Yang saya amati, memang literasi di masyarakat masih rendah. Contohnya adalah etika batuk. Banyak orang batuk tidak ditutupi, atau ketika sakit tidak menggunakan masker, meludah sembarangan, bersin tidak ditutup dan menghadap orang lain,” sebut Rezky, Senin (20/10).


HUT

Selain itu ventilasi rumah yang kurang baik juga belum terlalu dipahami oleh komunitas masyarakat saat ini. Tentunya, lanjut Rezky, hal ini merupakan tugas banyak sektor. Tidak hanya dokter dan tenaga kesehatan, tapi juga sektor lain seperti sekolah, dan tentunya juga media. Sebab media juga sangat diperlukan dalam memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai protokol kesehatan seperti itu.

Menurut Rezky, kasus ISPA biasanya banyak ditemukan saat musim pancaroba dan musim hujan. Kebanyakan kasus ISPA karena kasusnya ringan, Rezky menyebut hanya butuh ketahanan tubuh yang baik agar bisa sembuh karena ISPA tergolong self limited disease.

Dengan istirahat, minum cukup dan pengobatan simptomatik akan sembuh sendiri. Sebagian besar penyebabnya adalah virus. Sebaain kecil bisa menjadi berat untuk kelompok rentan misalnya mereka yang memiliki daya tahan tubuh baik, seperti balita atau mereka dengan daya tahan tubuh menurun seperti lansia. Atau bisa juga pasien kronik seperti komorbid atau penyakit penyerta yang sudah ada sebelumnya.

“Itu akan menjadi risiko, ISPA akan menjadi berat. Kasus yang berat bisa menjadi pnemonia, infeksi paru, gagal nafas, sepsis, sehingga kasus demikian bila masuk rumah sakit akan membutuhkan perawatan intensif. Jika gagal nafas, berisiko jatuh mengancam nyawa bahkan meninggal dunia,” terang dia.

Kendati begitu, Rezky menyebut kasus ISPA yang ditangani di RSSA Malang juga rumit untuk dihitung jumlahnya. Karena biasanya kasus ISPA terdeteksi dalam berbagai kasus. Misalnya ketika datang ke rumah sakit karena kecelakaan, ternyata pasien ternyebut juga mengidap ISPA.

Tidak hanya itu, RSSA Malang sebagai rumah sakit rujukan juga pasien ISPAnya tidak sebanyak faskes pertama yang lebih dulu menyaring penyakit respirator tersebut. Setidaknya, karena ISPA mayoritas kasusnya ringan, maka hanya perlu rawat jalan dan tidak sampai rawat inap.

Tidak perlu kontrol rutin seperti penyakit kronik lain yang membutuhkan waktu perawatan jangka waktu lama. Tentu berbeda kalau ISPA itu ada komorbid lain misal diabetes hipertensi, dia akan kontrol tapi karena diabet atau hipertensinya. 

“Secara jumlah kami tidak punya data, tapi sebagian besar yang saya tahu, ISPA sudah jarang yang ke RSSA. Karena lebih banyak telah ditangani di faskes primer,” tegas dia.

Lebih jauh, masih adanya anggapan ISPA sama seperti Covid-19, Rezky menyebut hal tersebut tentu ada perbedaannya. Untuk membedakannya tidak bisa hanya berdasarkan gejala. Tapi harus dilakukan pemeriksaan laboratorim untuk mengetahui virusnya.

Terlepas dari itu, Rezky meminta agar jangan menganggap remeh ISPA. Apabila tidak segera membaik, segera berobat dan mencari pertolongan. Karena kalau tidak diobati dengan baik dan kondisi makin memburuk atau daya tahan tubuh tidak kuat, maka kasus ISPA tersebut bisa menjadi lebih berta.

“Sementara kalau berat akan membutuhkan perawatan yang kompleks,” tutur dia.

Menyikapi masih banyaknya kasus ISPA, ia berharap kepada pemangku kebijakan yakni pemerintah untuk terus memperkuat surveilans ISPA dan pneumonia sehingga trennya bisa terpantau. Tentu bukan hal yang mudah karena bakal membutuhkan banyak sumber daya, dan pemerikssan yang tidak murah karena dalam jumlah banyak. Namun hal itu tentu akan membuat tren lebih terpantau kalau surveilens bagus.

“Kita pun bisa mengetahui jenis virus yng beredar di masyarakat, jumlah kenaikan menjadi berapa, tentu akan terpantau lebih baik dan cepat. Sehingga kewaspadaan dini dan antisipasinya akan lebih baik,” jelas dia

Berikutnya, ia juga mendorong adanya peningkatan edukasi terkait pola hidup bersih dan sehat kepada masyarakat lintas sektor. Tidak hanya di faskes saja, tapi juga di sekolah, tempat kerja, dan beragam tempat komunitas lainnya. Harapannya, jika pemahaman mengenai hidup bersih dan sehat, bisa mengurangi penularan penyakit dan bisa dipahami oleh banyak kalangan masyarakat.

“Selain itu juga memperkuat fasilitas kesehatan primer sehingga bisa mendeteksi dini dan obat obatan disuplai baik. Sehingga tata laksananya bisa lebih terjangkau pada masyarakat. Pada puskesmas juga diharapkan sudah ada penanganan memadai, jadi tidak harus pasien itu dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan lebih baik,” pungkas dia. (ian/aim)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img