Keteguhan Penjaga Warisan Budaya yang Menolak Punah
Sinar matahari sore menembus celah dinding bambu di sebuah ruangan sempit berukuran 2×3 meter di Kelurahan Penanggungan Kecamatan Klojen Kota Malang. Di tempat sederhana itu, tangan Hariono masih lincah memutar tanah liat di atas alat putar. Gerabah terakhir hari itu rampung ia bentuk, menandai akhir dari rutinitas yang telah ia jalani hampir seumur hidupnya.
MALANG POSCO MEDIA – Di tengah hiruk pikuk kota dan derasnya arus modernisasi, Hariono tetap setia dengan profesinya: perajin gerabah. Satu dari hanya lima perajin yang masih bertahan di Penanggungan, kampung yang dulu dikenal sebagai pusat kriya gerabah tertua di Kota Malang.
Dulu, pada masa keemasan tahun 1980-an, suara ketukan dan dentingan tanah liat mengisi hampir setiap sudut gang di kampung ini. Gerabah Penanggungan bahkan dikenal hingga mancanegara, menjadi kebanggaan warga Kota Malang. “Dulu di tahun 1980-an, di kampung ini ada sekitar 60 perajin gerabah, mungkin hampir 100 perajin malah. Terus sekarang menurun drastis, tinggal lima perajin saja, saya yang paling muda. Lainnya sudah sepuh. Kami tidak tahu lima tahun ke depan apakah ini masih ada,” ucap Hariono lirih.
Sebagai generasi ketiga, Hariono merasa terpanggil untuk menjaga warisan itu. Ia menolak ikut-ikutan beralih profesi seperti banyak perajin lain yang kini membuka warung, kos-kosan, atau usaha kuliner. “Jumlah pendatang atau anak-anak mahasiswa beberapa tahun ini yang banyak mempengaruhi. Banyak perajin yang akhirnya mengubah tempat produksinya jadi kos-kosan, ada juga yang berubah menjadi warung atau kuliner,” ungkapnya.
Hariono tak menyalahkan mereka. Ia paham, meningkatnya jumlah mahasiswa di Kota Malang membawa peluang ekonomi baru. Tapi di sisi lain, ia khawatir ikon gerabah di kampung tematik Penanggungan bisa benar-benar hilang. “Kalau tidak ada regenerasi, mungkin lima tahun lagi tidak ada yang melanjutkan,” katanya.
Zaman kejayaan itu masih membekas jelas di ingatannya. Tahun 1970 hingga 1980-an, setiap hari para perajin di Penanggungan sibuk memenuhi pesanan dari berbagai daerah — dari Bali hingga Kalimantan, bahkan sampai Australia dan Belanda. “Untuk jenis celengan saja, tiap perajin sampai punya motifnya sendiri-sendiri untuk menarik minat orang. Dulu saya sempat punya pekerja sendiri sampai lima orang. Sekarang ya terjun sendiri. Hasilnya kalau sekarang, satu bulan hitungannya paling banter keluar hanya 300 produk. Jadi sehari cuma 10-an, itu pun menunggu orderan baru mengerjakan,” tuturnya.
Kini, masa itu tinggal kenangan. Cuaca yang tak menentu dan proses pembuatan yang rumit membuat gerabah kalah saing dengan produk plastik dan sintetis. “Kendalanya mungkin di waktu juga. Karena dari luar negeri itu pemesannya minta ontime. Sementara kami perajin gerabah kan tergantung cuaca. Kalau musim hujan begini ya sudah, tidak bisa menjemur dan membakar gerabah,” keluhnya.
Selain cuaca, tantangan terbesar datang dari generasi muda yang cenderung mencari pekerjaan instan. “Karena anak muda kan maunya kerja yang instan. Lah kalau ini, dua minggu baru dapat uang,” tukasnya sambil tersenyum.
Meski begitu, Hariono belum kehilangan keyakinan. Ia mencoba cara baru agar gerabah tetap hidup: menjadikan Kampung Penanggungan sebagai Kampung Wisata Tematik. Di sana, pelajar mulai dari PAUD hingga SMA bisa belajar langsung membuat gerabah. Tiap akhir pekan, tawa anak-anak bercampur aroma tanah basah memenuhi ruang kerjanya.
Ia juga tengah bereksperimen membuat desain gerabah yang lebih modern agar menarik minat generasi muda. “Karena saya kira kalau profit dari gerabah itu memang masih menjanjikan. Saya bisa dapat rumah ini kami bangun dari hasil gerabah. Saya yakin potensinya masih ada, jadi saya setia menekuni ini,” ujarnya mantap.
Bagi Hariono, bertahan bukan sekadar soal ekonomi, melainkan menjaga identitas budaya Kota Malang. Namun ia tak menampik, perlu ada dukungan nyata dari pemerintah agar para perajin bisa terus bernafas.
“Misalnya saat ini banyak berdiri kafe, salah satunya mungkin bisa ada kebijakan barang dapur di kafe minimal menggunakan produk dari gerabah. Ya kayak asbak, tempat sendok, dan sebagainya yang kecil saja, itu dari gerabah. Ini pasti akan membantu perajin,” pungkasnya.
Di tengah modernitas yang kian menelan tradisi, Hariono tetap berdiri kokoh di atas tanah litany, simbol keteguhan seorang penjaga warisan budaya yang menolak punah. (ian nurmajdi/aim)








