MALANG POSCO MEDIA – ACAB adalah akronim dari ‘’All Cops Are Bastards’’, Semua Polisi Adalah Bajingan, sebuah gerakan anti-polisi yang berkembang di Amerika Serikat pada 2020 dan merantak ke seluruh dunia. Gerakan itu dipicu oleh kematian George Floyd di Philadelphia karena dianiaya sampai mati oleh polisi dalam proses penangkapan.
Publik memprotes dengan melancarkan demonstrasi yang berujung pada benturan fisik melawan polisi. Dalam waktu cepat polisi menjadi profesi yang paling dibenci di Minneapolis, negara bagian Minnesota dan kemudian meluas ke seluruh Amerika. Gerakan menentang polisi meluas menjadi huru-hara di banyak kota besar. Tidak lama kemudian meluas ke seluruh pelosok negeri sampai ke ibukota Washington dan mengepung sekitar Gedung Putih.
Suatu petang, 25 Mei 2020, seorang laki-laki bernama George Floyd keluar dari sebuah mini market di Minneapolis untuk membeli sebungkus rokok. Ia menyeberang jalan menuju ke mobilnya yang diparkir di pinggiran jalan.
Tiga orang polisi langsung menyergap dan membantingnya. Tubuhnya yang tinggi besr berdemo ke aspal ketika salah seorang polisi, Derek Chauvin, dengan gerakan judo membanting dan memiting lehernya ke aspal.
Floyd berusaha menggerakkan tangannya yang sudah terkunci dan terborgol untuk memberi isyarat menyerah. I can’t breath, saya tidak bisa bernafas. Suaranya makin lemah, nafasnya tersedak, tangannya melambai pelan, melunglai, Floyd mati kehabisan nafas dan dengkul Floyd masih menindih lehernya. Orang yang lewat di trotoar mengarahkan kamera hand phone merekam adegan itu. Beberapa pejalan kaki berteriak supaya Chauvin melepaskan Floyd, tapi Chauvin tidak peduli.
Adegan itu viral ke seluruh dunia. Rintihan ‘’I can’t breath’’ seolah menjadi war cry, teriakan perang, di seluruh dunia. Puluhan ribu orang, ratusan ribu orang, jutaan orang, turun ke jalan memprotes pembunuhan brutal itu.
Gelombang demonstrasi menentang pembunuhan biadab itu menyebar cepat seperti api membakar rumput kering. Para pemrotes mengangkat isu yang seragam, yaitu Black Lives Matter (BLM), Nyawa Orang-Orang Kulit Hitam Penting. Gerakan ini sudah mulai muncul sejak 2013 setelah banyaknya pembunuhan oleh polisi terhadap orang-orang kulit hitam di Amerika. Gerakan yang semula merupakan protes sosial berubah menjadi gerakan politik.
Tujuan awal gerakan ini menuntut agar kekejaman polisi dihentikan, lalu meluas menjadi tuntutan agar anggaran negara kepada polisi dihentikan, ‘’Defund the Police’’, lalu memuncak lagi menjadi tuntutan agar kepolisian dibubarkan.
Poster “ACAB” muncul di setiap demonstrasi. Muncul tuduhan bahwa BLM sudah disusupi gerakan komunis dan gerakan kaum anarkis. Bahkan muncul pula tuduhan bahwa BLM adalah gerakan anti fasis yang sering disebut sebagai Antifa dan Anarko. Gerakan anti fasis dan gerakan anarkis yang menentang kekuasaan negara.
Gerakan ini menjadi salah satu unsur radikal dalam BLM. Mereka menganggap pemerintahan Donald Trump adalah pemerintahan fasis ala Nazi Jerman. Fasisme menginginkan adanya kekuasaan negara yang dominan dan melemahkan hak-hak demokratis warga negara.
Trump dianggap fasis karena kebijakannya yang rasialis dan merugikan orang-orang kulit hitam dan kulit berwarna. Donald Trump dan Partai Republik dituduh sebagai pendukung “White Supremacy”, supremasi kulit putih.
Dalam berbagai demo benturan antara BLM melawan kelompok White Supremacy tak terhindarkan. Demonstran tandingan kulit putih ini dengan mencolok membawa senjata api laras pendek dan panjang lengkap dengan peluru dan perlengkapan perang. Dalam beberapa insiden demonstran kulit hitam luka dan meninggal ditembak oleh demonstran kulit putih.
Trump kalah dalam pilpres, tapi dia tidak mengakui kekalahan dan menuduh terjadi banyak kecurangan dalam penghitungan suara. Ketika DPR Amerika akan melakukan pleno untuk memutuskan pemenang, ribuan pendung Trump membuat kegaduhan dengan mengepung dan menyerbu gedung DPR di Capitol Hill.
Gerakan ACAB sudah mulai merembet ke Indonesia. Pada 2018 sekelompok anak muda berpakaian serba hitam menyebut dirinya Anarko-Syndicalism yang menyusup ke demonstrasi buruh dan melakukan corat-coret graffiti ‘’ACAB.’’ Fenomena ini sudah muncul di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan beberapa kota lain.
Kasus pembunuhan Brigadir Joshua bisa menjadi pemicu munculnya gerakan ACAB di Indonesia. Implikasi politiknya bisa sangat serius bagi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan pemerintahan Jokowi secara keseluruhan.
Karena itu Jokowi sampai tiga kali mengingatkan Kapolri supaya menyelesaikan kasus ini secara tuntas. Menko Polhukam Mahfud MD nyaris tiap hari berkomentar terhadap update perkembangan kasus ini. Jokowi sadar sepenuhnya bahwa jika kasus ini tidak dibongkar secara total maka kredibilitas polisi akan rusak dan akan berimbas pada kredibilitas pemerintahan Jokowi.
Polisi akan dipaksa membongkar kasus ini sampai tuntas, meskipun itu berarti harus melakukan amputasi dengan memotong banyak jendera yang terlibat penghapusan jejak pembunuhan. Lebih baik menahan sakit amputasi daripada menahan gelombang gerakan ACAB yang bisa muncul setiap saat. (*)