Oleh : drh. Puguh Pamungkas, MM
Founder RSU Wajak Husada
Presiden Nusantara Gilang Gemilang
Banyak versi yang membicarakan asal muasal kapan pertama kali perayaan kemerdekaan Republik Indonesia diwarnai dengan beragam kegiatan “dolanan” seperti yang kita saksikan hari ini, seperti lomba balap karung, loma panjat pinang, lomba makan krupuk, karnaval dan beragam perlombaan lainnya yang kegiatan itu dinisbatkan untuk turut memeriahkan perayaan hari kemerdekaan Indonesia ini.
Namun yang pasti, proses perjalanan kemerdekaan bangsa Indonesia yang kita nikmati hari ini adalah satu rangkaian perjalanan panjang yang telah diinisiasi dan diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa dengan pengorbanan dan perjuangan yang tidak sederhana. 17 agustus 1945 jalan pegangsaan timur Jakarta telah menjadi saksi bahwa kemerdekaan yang telah di upayakan oleh anak-anak bangsa saat itu, menjadi tonggak bagi terlesenggaranya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara hingga saat ini.
Memaknai “agustusan” adalah memaknai sejarah perjalanan para pahlawan bangsa yang telah mendedikasikan jiwa dan raganya untuk bangsa ini. Beragam aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat hari ini untuk merayakan kemerdekan seyogyanya bukan hanya sekedar pesta pora, namun harus bisa mengambil hikmah dan nilai-nilai spirit perjuangan yang dibawa untuk memajukan dan mengharumkan nama bangsa.
Era yang terus berganti dan persaingan globalisasi yang terus menghantui tidak bisa dipungkiri telah membawa pengaruh tersendiri bagi sikap perilaku dan keluruhan karakter anak bangsa dalam menjalankan kehidupannya hari ini. Indonesia yang di kenal dengan pemilik keluruhan masyarakat timur dengan kekhasan keluruhan pekertinya seolah turut terdistrupsi dengan era kebermajuan yang terjadi hari ini.
Indonesia dengan segudang resourcesnya tentu memiliki potensi yang sangat besar untuk terus bertumbuh menjadi negara yang maju, berdaulat, adil dan makmur, namun tentu tidak bisa dipungkiri perubahan zaman dan percepatan dunia global menuntut bangsa ini dapat beradaptasi dengan cepat dan tepat agar bisa menjawab dan memenuhi tuntutan zaman tersebut.
Kemiskinan, kebodohan, kesehatan, pemerataan pendidikan, jaminan sandang pangan dan papan merupakan isu penting dan perihal serius yang harus terus di upayakan dalam upaya mewujudkan kemerdekaan yang hakiki bagi bangsa.
Per maret 2023 tahun lalu, dibangsa ini masih ada 25,9 juta masyarakat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan, disatu sisi gini rasio atau tingkat ketimpangan pengeluaran masyarakat di tanah air justru mengalami peningkatan pada Maret 2023. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rasio Gini Indonesia naik menjadi 0,388 poin, dari sebelumnya 0,381 pada September 2022 atau meningkat 0,007 poin. Angka ini juga meningkat 0,004 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2022 yang sebesar 0,384. Padahal jika standar ukuran kemiskinan itu di samakan dengan standar bank dunia, maka setidaknya ada 44 juta masyarakat Indonesia yang masuk dalam garis kemiskinan.
Ribuan tahun yang lalu, pada saat Nabi Ibrahim dibakar oleh Raja Namrud, ada seekor semut yang terlihat susah payah membawa sesuatu ke arah Nabi Ibrahim dibakar, sekawanan burung Gagakpun bertanya “Wahai semut kamu terlihat kesusahan, dan kepayahan membawa sesuatu, sebenarnya apa yang engkau bawa ?”, tanya Burung Gagak. “Aku membawa air yang akan aku gunakan untuk memadamkan api yang membakar Nabi Allah Ibrahim”, jawab semut.
Sontak gelak tawa dan kalimat ejekanpun terlontar dari sekawanan burung tersebut, “kamu hanya melakukan hal kebodohan, tidak akan mungkin setetes airmu bisa memadamkan kobaran api Namrud yang membakar Ibrahim”, nyinyir sekawanan burung.
“Aku hanya ingin menunjukan dimana aku berpihak, meski aku tahu bahwa setetes air yang aku bawa tidak akan mungkin memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim, aku melakukan sesuatu dengan yang aku mampu untuk menegakan kebenaran”, Jawab semut.
Dialah Munib Al Masri, pria asal Nablus Palestina kelahiran 1934 yang telah menorehkan dedikasinya membangun PADICO Holding “Palestine Development and investmen Company”, sebuah perusahaan yang digunakannya untuk membangun perekonomian Palestina. Atas itu dia membangun kampus, sekolah, hotel, rumah sakit, jalur distribusi barang dan banyak lini bisnis lainnya.
Dia menginvestasikan 310 miliar uang pribadinya untuk membangun rumah, memberi obat-obatan gratis, beasiswa sekolah dan banyak yang lainnya. Munib Al Masri seorang Yatim, yang Bapaknya meninggal karena serangan Zionis Isael telah menunjukan karakter dan jati dirinya sebagai seorang “change maker”, bahwa cita-citanya untuk membangun Palestina sejak dia kecil tidak pernah “diralat” hingga ia berusia senja, dengan segala yang ia miliki, dengan kekuatan dan keberlimpahan yang dia punya.
Seperti itulah kira-kira watak seorang “Change maker”, sebagaimana yang dicontohkan oleh semut pembawa setetes air untuk Api yang membakar Nabi Ibrahim, sebagaimana Munib Al Masri yang tetap teguh dan kokoh terhadap tujuan dan hasil yang dia ingin tuju, menghasilkan perilaku dan legacy terbaik.
Menjadi “change maker” dengan terus meluaskan kontribusi dan meneguhkan dedikasi atas apa yang miliki, atas profesi yang kita jalani dan atas kesempatan yang kita punya adalah pemahaman yang terinstall dalam diri saya. sebagaimana ungkapan Anthony Robbins bahwa “It is Not what we get.. But who we become.. what we contribute..thats gives meaning to our lives” .
Mengisi kemerdekaan dengan tidak hanya sekedar melakukan ritual “agustusan” merupakan perkara yang harus terus di upayakan. Menjadikan perayaan agustusan dengan menyuguhkan beragam prestasi dan mengupayakan diri menjadi “change maker” sebagaimana semut di zaman Nabi Ibrahim dan Munif Al-masri adalah hal yang harus di install dalam dada dan diri setiap anak bangsa.(***)