Aspek keadilan menjadi hal penting dalam penegakan hukum di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Namun dalam praktiknya, ada banyak celah yang membuat keadilan semakin susah untuk dicapai, khususnya bagi mereka yang tidak mampu. Misalnya saja kasus seorang lansia yang ‘hanya’ mengambil ranting di tanah yang bukan miliknya, kemudian dijatuhi hukuman lima tahun penjara.
Sementara, ada pejabat yang melakukan korupsi ratusan juta bahkan miliaran rupiah lalu hanya mendapatkan 5-8 tahun penjara. Bagaimana bisa ini disebut adil?
Salah satu aspek yang memberikan dampak besar dalam fenomena ketidakadilan ini adalah bantuan hukum. Dalam banyak kasus, orang-orang berduit sering diuntungkan karena memiliki pengacara berkaliber dan berpengalaman. Para pengacara ini sudah diakui dan terbukti membantu meringankan hukuman yang dituntut oleh jaksa.
Kondisi berbeda dialami mereka yang tidak mampu. Bagaimana bisa menyewa jasa bantuan hukum, jika memenuhi biaya hidup saja susah. Bagaimana bisa mereka membayar pengacara jika makan sesuap nasi saja sulit.
Memang, sudah ada beberapa beberapa regulasi yang mengatur hal ini. Termasuk pada pasal 56 KUHAP yang menyatakan bahwa tersangka yang terancam pidana 5 tahun atau lebih wajib didampingi pengacara. Jika tersangka tidak mampu, maka negara wajib menyediakan bantuan hukum secara cuma-cuma. Hal serupa juga bisa kita temukan di UU Nomor 16 Tahun 2011 yang menjamin hak bantuan hukum gratis bagi masyarakat miskin.
Sayangnya, pemberlakukan aturan tersebut belum begitu maksimal. Berdasarkan data, jumlah organisasi bantuan hukum (OBH) yang terakreditasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia hanya berjumlah 524 di Indonesia sepanjang periode 2022-2024.
Jumlah sebaran OBH ini masih belum merata di seluruh provinsi dan jumlahnya dinilai belum proporsional dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin. Bahkan jika dilihat lebih dalam, hanya ada 42 persen dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia yang memiliki organisasi pemberi bantuan hukum.
AI Hadir sebagai Solusi
Perkembangan teknologi nyatanya memberikan pelbagai perubahan, baik itu yang menguntungkan maupun yang merugikan. Jika meneropong beberapa ratus tahun ke belakang, kita bisa melihat bagaimana teknologi mengubah dunia kesehatan, otomotif, bahkan komunikasi. Perubahannya begitu masif dan benar-benar memberikan dampak signifikan.
Namun hal itu sepertinya tidak banyak terlihat di dunia hukum. Cara dan metodenya tidak banyak berubah. Mungkin yang berubah hanya bagaimana dokumen yang dahulunya ditulis tangan, berganti menjadi ketikan alat ketik, dan kini menjadi tulisan digital melalui komputer.
Menurut penulis, sudah seharusnya dunia hukum memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan juga keadilan hukum. Salah satunya dengan memanfaatkan Artificial Intelligence (AI) untuk membuka ruang keadilan bagi semua orang, tidak hanya untuk kalangan menengah ke atas. Paling tidak, ada beberapa aspek dalam proses hukum yang bisa disisipi dengan teknologi ini dan sangat mungkin untuk dilakukan.
Pertama, pemanfaatan AI atau akal imitasi dalam konsultasi awal. Pada tahap ini, chatbot hukum bisa memberikan solusi yang menarik. Memberikan informasi dasar terkait hak-hak tersangka, prosedur hukum, dan langkah yang bisa diambil seseorang ketika menghadapi kasus hukum. Bahkan juga bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan hukum sederhana.
Sederet negara sudah mempraktikkannya dan terbukti memberikan dampak yang tidak kecil. Misalnya platform DoNotPay dari Amerika Serikat yang membantu pengguna dalam sengketa hukum yang tergolong kasus kecil.
Kedua, AI untuk otomasi dokumen hukum. Masyarakat tidak mampu yang menghadapi situasi hukum bisa dibantu dengan cara ini. AI bisa langsung mengisi dan menyiapkan dokumen hukum yang cenderung tidak begitu rumit. Seperti surat gugatan perdata, gugatan cerai, banding hukum, atau permohonan bantuan hukum. Dengan begitu, masyarakat tidak perlu bingung bagaimana menyiapkan draft dokumennya dan meminimalisir permohonan atau gugatan tidak diterima atau ditolak.
Ada banyak contoh AI yang saat ini memiliki fungsi di atas. Misalnya Gavel.io yang memudahkan masyarakat maupun pengacara dalam mengisi dokumen hukum. Hal ini tentu akan meningkatkan efisiensi dan membuka gerbang keadilan hukum bagi semua orang.
Ketiga, AI sebagai bantuan untuk menerjemahkan ‘bahasa hukum.’ Penulis yakin, tidak semua orang memahami bahasa yang biasa dipakai di dunia hukum. Apalagi susunannya yang kadang malah membuat bingung. Maka, AI bisa memberikan solusi dengan menerjemahkan atau menjelaskan istilah-istilah hukum yang rumit menjadi bahasa yang lebih mudah dipahami oleh kalangan awam. Dengan begitu, tingkat literasi hukum masyarakat bisa lebih seimbang.
Sayangnya, sama seperti pisau bermata dua, fenomena AI ini juga tidak hanya memberikan kemudahan tapi juga tantangan. Sekalipun penggunaan AI ditingkatkan, namun akses teknologi yang terbatas akan menjadi tembok tinggi yang harus terlebih dahulu ditaklukkan.
Banyak masyarakat tidak mampu yang belum memiliki akses ke perangkat digital seperti smartphone maupun komputer. Terutama mereka yang berada di daerah terpencil. Kalaupun sudah memiliki, kadang akses internet yang stabil belum memadai. Akan percuma jika platform AI sudah dibuat sedemikian rupa tapi akses teknologi belum maksimal.
Tantangan lain yang perlu diperhatikan adalah akurasi jawaban AI dan keterbatasannya menganalisis kasus yang kompleks. Terakhir, belum adanya regulasi terkait AI di Indonesia juga harus dipertimbangkan. Bagaimana etika penggunaannya, batas-batas yang tidak boleh dilampaui, atau pertanggungjawaban jika AI malah memberikan kerugian. Meski begitu, penulis yakin bahwa tantangan di atas bukan menjadi alasan untuk tidak memanfaatkan AI untuk kebaikan bersama. Apalagi tujuan utamanya adalah meningkatkan aspek keadilan hukum dan efisiensi proses hukum untuk membuka lebar-lebar pintu kesetaraan hukum.(*)