Setelah ribut-ribut soal bahaya microplasticbeberapa waktu yang lalu, belakangan ini kita kembali dibuat resah oleh kabar tentang kontaminasi bahan kimia Bisphenol-A (BPA) ke dalam air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang. Kontaminasi menjadi masalah karena migrasi BPA yang ditemukan oleh BPOM kadarnya sudah melampaui batas aman 0,60 bpj (bagian per juta) atau setara dengan 0,60 miligram BPA per 1 liter air.
Ambang batas tersebut tercantum dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) No. 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Kontaminasi di atas level tersebut ditemukan di beberapa daerah seperti Jakarta, Bandung, Medan, Manado, Banda Aceh dan Aceh Tenggara.
Temuan BPOM pada tahun 2021 dan 2022 tersebut juga merekam hasil uji migrasi BPA pada tingkat yang mengkhawatirkan (0,05 – 0,60 bpj) , yaitu sebesar 46,97 persen dari produk yang diawasi di sarana peredaran dan 30,91 persen dari produk yang diawasi di sarana produksi. Bahkan sebesar 3,4 persen sampel produk di sarana peredaran tidak memenuhi persyaratan migrasi BPA (bpom.go.id).
BPA merupakan bahan kimia campuran Polycarbonate (PC), yaitu jenis plastik galon guna ulang yang sangat banyak digunakan di Indonesia. Sebagai bahan kimia, BPA berfungsi agar plastik polikarbonat mudah dibentuk, ringan, kuat, tahan panas, jernih, serta menarik.
Simalakama Bisphenol-A
Paparan BPA yang melebihi ambang batas berpotensi mengancam kesehatan berupa bahaya gangguan endokrin seperti infertilitas (gangguan kesuburan), gangguan kehamilan, gangguan ginjal dan jantung, serta tumor yang dipengaruhi oleh hormon seperti kanker payudara dan prostat. Walaupun level serta dampak paparannya masih banyak diperdebatkan dan memerlukan penelitian lanjutan, tetapi meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya tersebut sangat diperlukan.
Di beberapa negara maju, air minum lebih banyak diperoleh dari jaringan pipa distribusi air bersih layak minum yang disediakan oleh negara. Dengan demikian tidak memerlukan plastik polikarbonat untuk wadah AMDK seperti di Uni Eropa dan Amerika Serikat. Bahkan mereka sudah melarang kemasan plastik dengan BPA untuk makanan dan minuman bagi bayi dan anak.
Namun, upaya untuk menghilangkan paparan BPA pada air minum dalam kemasan galon polikarbonat bukan perkara gampang. Resistensi datang dari berbagai pihak. Bahkan keberatan terjadi sejak BPOM berencana mewajibkan pencantuman peringatan tentang bahaya kontaminasi BPA melalui merevisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Kementerian Perindustrian pun bahkan meminta wacana revisi Peraturan BPOM itu perlu disikapi hati-hati agar tidak membawa kerugian secara ekonomi bagi produsen dan pelaku usaha, sebab rencana tersebut dapat mengganggu keberlangsungan usaha.
Bahkan ada yang mencurigai terdapat aroma persaingan usaha atau perang dagang di balik rencana tersebut. Kabar bagusnya BPOM sudah mendapatkan kepastian tentang tidak adanya isu persaingan usaha langsung dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), sebuah lembaga independen yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Jika targetnya BPA Free, maka biaya yang harus ditanggung industri AMDK akan sangat berat. Biayanya bisa mencapai beberapa triliun rupiah sebab harus menarik dan mengganti sekitar 170 juta galon guna ulang yang telah terlanjur beredar di tengah masyarakat.
Tercatat jumlah rumah tangga pengguna air minum dengan galon polikarbonat guna ulang sebanyak 22,8 juta atau 30,1 persen dari total 75,6 juta rumah tangga di Indonesia. Bandingkan dengan yang menggunakan sumur bor atau pompa yang hanya sebanyak 13,3 juta rumah tangga atau leding sebanyak 6,7 juta rumah tangga (Susenas, BPS 2021).
Harus diakui nilai bisnis AMDK sangat menjanjikan. Tahun 2021 nilainya sebesar 10,51 miliar dolar AS atau setara 149,9 triliun rupiah dengan kurs Rp 14.265 per dolar AS (Statista, 2022). Hampir setengah dari market share-nya dikuasai raksasa global produsen makanan dan minuman asal Prancis, Danone-AQUA.
Pemakaian galon sekali pakai juga akan memberatkan konsumen karena harus membeli AMDK galon dengan lebih mahal. Belum lagi sampah plastik yang muncul dari galon sekali pakai yang pasti tidak ramah lingkungan, meskipun masih bisa didaur ulang.
Langkah (Ideal) untuk Bebas Bisphenol-A
Setidaknya langkah pertama yang harus didukung adalah menyegerakan kewajiban mencantumkan label peringatan tentang bahaya kontaminasi BPA pada galon polikarbonat guna ulang. Hal ini penting untuk menumbuhkan kewaspadaan di masyarakat akan bahaya kontaminasi BPA.
Selain itu, perlu meningkatkan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat untuk menyimpan galon isi ulang berbahan polikarbonat dengan lebih berhati-hati, misalnya, jauh dari paparan sinar matahari langsung, untuk mencegah migrasi BPA dari kemasan ke air. Industri diwajibkan menempel instruksi penanganan atau penempatan galon pada kemasan atau menggunakan berbagai saluran media sosial.
Selama masyarakat, khususnya yang tinggal di perkotaan, masih kesulitan mendapatkan air bersih layak minum, maka AMDK galon guna ulang akan tetap menjadi pilihan utama. Bagaimanapun AMDK galon guna ulang telah menawarkan hampir semua keinginan konsumen tentang air minum dalam kemasan seperti praktis, mudah diperoleh, aman, rasa lebih enak serta harga relatif masih terjangkau.
Sesungguhnya solusi paling ideal adalah kehadiran pemerintah, dengan segala kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki, menyediakan jaringan pipa distribusi air bersih layak minum yang memadai. Diperlukan political will serta komitmen yang sangat kuat agar air minum sebagai barang publik benar-benar bisa terwujud. Sebab harus disadari bahwa biaya investasinya akan sangat besar hingga triliunan rupiah.
Pemerintah perlu menggandeng pihak swasta dan para investor lainnya agar tidak semua beban biayanya ditanggung negara. Pemerintah hanya perlu menutup selisih antara biaya produksi dan keuntungan pihak swasta dengan cara mengalokasikan anggaran berupa subsidi untuk masyarakat.
Dengan upaya tersebut rakyat tidak perlu lagi repot membeli air minum dalam kemasan guna ulang yang rawan terkontaminasi BPA. Pemerintah hanya harus mengontrol dan memastikan penyediaan air minum oleh pihak swasta dapat memenuhi kebutuhan pokok masyarakat.
Sehingga pada akhirnya, air bersih layak minum akan benar-benar menjadi barang publik yang bisa diakses dengan mudah dan murah, dan bukan lagi menjadi sebuah komoditas ekonomi yang hanya bisa didapatkan dengan biaya yang mahal. Dengan demikian akan tercapai dua hal sekaligus, yaitu masyarakat yang sehat dan bebas dari bahaya paparan BPA serta kebutuhan air bersih layak minum tercukupi.(*)