MALANG POSCO MEDIA, MALANG – Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) kembali menuai kritik tajam dari kalangan akademisi dan praktisi hukum. Dalam diskusi ilmiah yang digelar di Gedung Wahab Hasbullah Universitas Islam Malang (UNISMA), Kamis (24/4), para pakar hukum menyoroti potensi tumpang tindih kewenangan antar-aparat penegak hukum (APH) jika RKUHAP disahkan tanpa kejelasan dan ketegasan norma hukum.
Pakar Kriminologi Universitas Brawijaya, Dr. Prija Djatmika, SH, MS, menegaskan pentingnya partisipasi publik yang bermakna dalam proses penyusunan RKUHAP. Ia mengingatkan agar DPR RI tidak terburu-buru mengesahkan regulasi strategis ini tanpa mempertimbangkan dampak luas terhadap sistem peradilan pidana.
“Partisipasi yang mindfulness harus dikedepankan. KUHAP adalah fondasi hukum acara pidana, yang harus adil bagi semua pihak—baik korban maupun pelaku. Jangan sampai hanya demi kejar target, justru merusak sistem hukum yang sudah dibangun,” tegasnya.
Forum yang dihadiri para akademisi lintas kampus ini sepakat bahwa pembaruan KUHAP harus konsisten dengan asas legalitas dan menjamin pemisahan fungsi dalam sistem peradilan pidana. Salah satu kekhawatiran terbesar adalah munculnya kembali upaya perluasan kewenangan penyidikan oleh kejaksaan, yang sebelumnya sudah ditolak publik.

“Kami merekomendasikan agar Komisi III DPR membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya. Pasal-pasal krusial dalam RKUHAP harus dikaji ulang agar benar-benar selaras dengan prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia, bukan hanya untuk pelaku, tetapi juga untuk korban dan masyarakat luas,” ujarnya.
Senada dengan itu, Prof. Dr. Deni Setya Bagus Yuherawan, SH, MS, menyoroti pasal-pasal multitafsir dalam draf RKUHAP, khususnya Pasal 1 dan 6 yang menyebutkan adanya penyidik tertentu dari KPK, Kejaksaan, dan OJK. Ia menilai hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan konflik antar-lembaga penegak hukum.
“RKUHAP harusnya mempertegas pembagian peran dalam peradilan pidana, bukan malah membingungkan. Penyidik, jaksa, hakim, hingga petugas lapas harus bekerja dalam koridor masing-masing, tidak boleh tumpang tindih,” tandasnya.
Pemateri ketiga, Dr. Sholehuddin, SH, MH, juga menegaskan bahwa RKUHAP adalah regulasi yang menyangkut langsung nasib masyarakat pencari keadilan. Karena itu, menurutnya, DPR harus lebih banyak mendengar suara akademisi, bukan hanya aparat.
“KUHAP bukan alat perluasan kewenangan. Penyelidikan harus punya batas waktu dan dapat diuji lewat pra peradilan. Tanpa pengaturan yang tegas, justru bisa merugikan korban dan masyarakat,” tutupnya.
Diskusi tersebut menjadi alarm kritis agar legislasi RKUHAP tak hanya dikebut tanpa dialog, melainkan dibangun dengan semangat transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan pada prinsip keadilan. (rex/aim)
-Advertisement-.