.
Thursday, December 12, 2024

Aksi Boikot Produk India oleh Negara Islam

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – SERINGKALI kita dengar kata boikot. Tapi apakah kita paham dengan makna boikot? Apakah kita paham dengan dampak dari boikot itu sendiri dan boikot bisa jadi solusi masalah ketersinggungan? Boikot sendiri merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris, yakni Boycott. Makna boikot atau boycott sendiri berarti penolakan untuk melakukan hubungan, kerjasama, hingga interaksi dengan suatu pihak.

Secara historis diawali pada tahun 1870-an. Mengutip dari Wikipedia, istilah ini diambil dari nama kapten asal Inggris Charles C. Boycott yang pada masa purnanya bekerja sebagai agen tanah di bawah seorang Tuan Tanah bernama John Chicton the 3rd Earl Erne. Kapten Boycott tidak jarang melakukan kekerasan terhadap penyewa atau penggarap lahan yang tidak mampu membayar pajak tanah.

Hal tersebut memicu gerakan Liga Tanah Nasional Irlandia untuk memberi keadilan bagi penyewa dan penggarap tanah untuk mogok kerja, hingga memaksa semua warga untuk tidak berafiliasi dengan Tuan Tanah Erne dan Charles Boycott. Inilah mengapa kata boikot digunakan untuk memaknai penolakan atau pengucilan terhadap suatu pihak.

Akibat dari gerakan boikot ini tentu berpengaruh pada menurunnya pendapatan dari pajak dan hasil panen, berdampak langsung pada pemilik modal dan semua pihak yang berafiliasi dalam bisnis tanah tersebut. Hasil dari gerakan boikot tersebut itu membuahkan hasil dimana akhirnya Charles C. Boycott berhenti dari pekerjaannya pada tahun 1880-an.

Dari sejarah kata boikot sendiri, dapat kita pahami tujuan dari boikot, dampak, dan juga sebagai cara yang tepat sebagai gerakan penolakan/ sebagai sanksi terhadap suatu pihak yang memiliki masalah. Tetapi apakah boikot menjadi cara yang tepat sebagai solusi bagi permasalahan yang baru-baru ini terjadi?

Soal politisi partai Bharatiya Janata Party (BJP) India, Nuphur Sharma dan Naveen Jindal yang diklaim menyinggung umat Islam dengan menghina Islam dan Nabi Muhammad SAW. Kronologi seruan boikot produk India oleh negara-negara Islam diawali dengan pernyataan Nuphur Sharma pada debat di stasiun televisi “Times Now” dengan topik sengketa Masjid Gyanvapi.

Politisi BJP ini menyatakan dan menyinggung soal Nabi Muhammad SAW menikahi anak di bawah umur yakni Aisyah pada usia 6 tahun, kemudian melakukan hubungan badan dengannya saat menginjak usia 9 tahun. Tayangan debat pada 26 Mei 2022 tersebut akhirnya dihapus oleh pihak stasiun televisi setelahnya, karena memancing kecaman banyak pihak, terutama kaum muslim.

Kerusuhan juga terjadi di Uttar Pradesh, India bagian Utara yang menyebabkan 40 warga dan polisi. Masalah ini semakin mencuat setelah cuitan Naveen Jindal di Twitter pada 1 Juni 2022. Jubir BJP ini diklaim menyamakan Nabi Muhammad SAW sebagai pemerkosa, karena bersetubuh dengan anak di bawah umur yakni Aisyah.

Efek dari globalisasi media informasi, kabar tersebut tersebar cepat ke segala penjuru dunia hingga menyebabkan kebencian. Dari cuitan ini, Naveen mendapat banyak sekali pesan makian hingga ancaman pembunuhan terhadap dirinya dan juga keluarganya yang tidak hanya dilayangkan oleh pemeluk Islam di India.

Ketersinggungan yang dialami kaum Muslim di dunia mendorong terbentuknya gerakan boikot terhadap produk India pada banyak negara Islam, seperti di Bangladesh dan Pakistan. Kaum Muslim di negara tersebut juga mendorong pemerintah India untuk segera menahan Nuphur Sharma.

Hal serupa dilayangkan negara-negara Islam seperti Arab Saudi, Qatar, Kuwait, UEA, Oman, dan Bahrain yang menjalin kerja sama dengan India dalam organisasi Gulf Cooperation Council (GCC) juga menuntut permintaan maaf dari Pemerintah India. Ancaman boikot terhadap produk India berlangsung apabila tuntutan permintaan maaf secara publik tidak dilakukan.

Terutama oleh pihak bersangkutan dan Pemerintahan India. Hal ini bukanlah tuntutan yang sepele karena akan berimbas pada sektor perekonomian India. India mendapat banyak penghasilan melalui remitansi yang diberikan dari tenaga kerja yang menetap di negara-negara GCC. Tercatat sebanyak 1,5 juta jiwa merupakan diaspora dari India.

Mereka bekerja di Arab Saudi sebagai asisten rumah tangga, pekerja konstruksi dan sektor pertambangan. Menurut International Organization of Migrants (IOM) pada 2017, sejumlah 3,5 juta warga negara India bekerja di sektor pertambangan, transportasi, dan keuangan. Pada tahun 2020, tercatat oleh KNOMAD sebesar 83,1 miliar USD pendapatan India melalui tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri.

Dengan jumlah tersebut India mengalahkan China dengan jumlah 59,5 miliar USD. Masih banyak lagi kerjasama India dengan negara-negara Teluk yang dapat terancam apabila hubungan India rusak, seperti sektor energi. India adalah ‘pelanggan tetap’ bagi Arab Saudi dalam bisnis perdagangan minyak.

Dapat dikatakan kerja sama India dengan banyak negara Islam, terutama GCC sangatlah menguntungkan dan krusial. Maka dari itu, kerjasama dan hubungan baik negara-negara Islam sangatlah penting untuk membantu India menopang perekonomiannya, sudah terjalin ketergantungan India dalam bekerjasama dengan negara GCC.

Jika boikot produk jasa dan barang India benar terjadi oleh negara anggota GCC yang merupakan mayoritas negara Islam dan memiliki potensi besar dalam menopang perekonomiannya, maka stabilitas ekonomi India dapat terganggu. Penghasilan dari remitansi dan pasokan energi minyak dari negara tersebut dapat hancur.

Tak hanya itu, berpotensi timbulnya stigma negatif terhadap warga negara India karena diklaim Islamofobia akibat dari penghinaan Nabi Muhammad SAW oleh kedua politisi India. Tentu dampak gerakan boikot ini sangat besar dan merugikan India di sektor ekonomi-sosialnya dan tidak rasional jika pemerintah India tidak memenuhi tuntutan untuk “menghukum” kedua politisi dari partai penguasa pemerintahan saat ini.

Pada akhirnya memang tuntutan kaum Muslim ditepati dengan menskors Nuphur Sharma dari BJP dan memenjarakan Naveen Jindal demi meredam aksi boikot dan sebagai bentuk supremasi hukum. Berkaca juga dari kasus Majalah asal Prancis yang juga mempublikasi karikatur Nabi Muhammad SAW sebagai seorang teroris.

Berdampak pada aksi boikot produk Prancis seperti Nestle yang menyebabkan anjloknya penjualan produk Nestle dan pendapatan Prancis dari perusahaan tersebut. Hingga akhirnya permintaan maaf dari Prancis dilayangkan kepada semua pihak yang tersinggung. Tentu boikot merupakan gerakan yang murah dan mudah dilakukan mulai dari level masyarakat.

Boikot sangat efektif sebagai bentuk aksi mengecam dan menekan suatu pihak untuk memenuhi tuntutan atau kepentingan pihak lain. Dengan negara-negara Islam memboikot produk India, maka tuntutan untuk meminta maaf dari pihak India dapat tercapai. Di sisi lain, dengan tindakan memboikot juga berdampak buruk bagi masyarakat India yang tidak terlibat atau tidak mendukung statemen dari kedua politisi BJP tersebut.

Goyahnya stabilitas ekonomi-sosial India juga berpengaruh pada masyarakat India, tanpa terkecuali kaum Muslim yang menempati India. Gerakan memboikot ini menjadi pisau bermata dua, dan masih banyak cara lain yang dapat dilakukan untuk mencapai tuntutan kaum Muslim tersebut.

Indonesia sebagai negara muslim tidak melakukan boikot di level pemerintahan, melainkan mengutamakan diplomasi secara damai. Pemanggilan Duta Besar India untuk berdiskusi sebagai resolusi konflik dari kasus ini tentu bisa dilakukan. Tujuan untuk membuat permintaan maaf terbuka pun juga tercapai dengan diwakilkan oleh Dubes India untuk Indonesia, sebagai representasi negara tersebut.

Boikot dapat dikatakan efektif untuk menekan suatu pihak, tetapi aksi ini tidaklah akurat dalam skala negara dan pemerintahan melihat imbasnya terhadap masyarakat yang mungkin tidak terlibat dan berkepentingan dalam kasus ini. Dalam konteks kasus penghinaan Nabi Muhammad SAW oleh politisi India ini, seharusnya sasaran boikot adalah pemerintah India, meski berimbas pada masyarakatnya yang tidak terlibat. (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img