spot_img
Friday, October 18, 2024
spot_img

Aku, Kamu dan Senja Kala Itu

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Cerpen Oleh: Arunika Wardani

Malang Posco Media – Malam semakin larut ketika aku membuka jendela kamar, di luar suasana sepi bahkan terasa sedikit menakutkan. Aku berdiri di depan jendela, menatap para bintang yang terlihat jelas di langit pedesaan. Aku berpikir, kapan terakhir kali aku menatap bintang dan bulan seperti in? Rasanya itu sudah lama sekali, mungkin aku terlalu sibuk bekerja sampai melupakan para bintang yang kadang kala menjadi obat lelah, dan lagi di kota jarang bintang terlihat seperti disini.

Aku senang ketika pulang ke rumah seperti ini, rasanya aku bisa kembali ke saat dimana yang kupusingkan hanyalah tugas sekolah saja. Semuanya terlalu cepat berlalu, rasanya seperti baru kemarin aku berpusing ria karena kesulitan mengerjakan kalkulus. Sekarang pun aku masih sama frustasinya, bukan lagi karena matematika, namun karena masalah lain yang lebih rumit dari sekadar mencari x.

- Advertisement -

Pohon mangga depan rumah yang dulu sering aku panjat sekarang sudah tak ada, ditebang karena takut roboh menimpa rumah, padahal mangganya manis sekali. Ketidak beradaan pohon mangga hanyalah salah satu diantara banyak perubahan yang terjadi beberapa tahun terakhir.

Entah karena waktu yamg terus berjalan, atau karena memang sudah seharusnya berubah, semua hal akan menjadi asing pada waktunya, termasuk diri sendiri. Entah apa yang aku lakukan sampai mampu mengubah diri sendiri sedemikian rupa. Aku bukan lagi anak SMA yang gendut seperti dulu, aku juga bukan lagi seseorang yang berharap menjadi putri yang dicintai pangeran dari negeri dongeng. Aku yang sekarang adalah orang yang mencintai diri sendiri lebih dari siapapun.

Pandanganku beralih, aku menatap beberapa potret yang tertempel di dinding samping jendela, poto-poto itu tak sedikitpun luntur, masih bagus seperti pertama kali dicetak. Kebanyakan potret itu berisikan aku dan para sahabatku, aku mengingat betul momen ketika potret-potret ini diambil, suara tawa teman-temanku, candaan mereka dan senyum mereka masih tetap aku simpan rapi di memori hatiku yang paling dalam.

Aku merindukan mereka, terakhir kali aku bertemu mereka adalah beberapa bulan yang lalu, sulit mencari waktu untuk saling bertemu sekarang, tentunya karena sebagian dari mereka sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari sini, sebagian lagi sibuk bekerja dan memperkaya diri, seperti aku.


Aku tersenyum getir ketika menatap poto paling bawah, lama sekali aku tidak memikirkan pemuda ini, apa kabarnya sekarang? Aku tidak tahu dan tak pernah ingin tahu lagi. Potret ini diambil ketika aku dan dia sama-sama menjuarai olimpiade tingkat kota saat itu, dia biologi dan aku ekonomi. Kami sengaja berfoto bersama trofi masing-masing hanya untuk kenangan saja.

Foto itu adalah salah satu foto yang paling lusuh, beberapa sudutnya sudah terlipat karena dulu pernah aku buang ke tempat sampah, meskipun akhirnya aku ambil kembali karena merasa berlebihan. Padahal dia hanya teman, mengapa aku harus merasa menyedihkan ketika melihat fotonya?

Jika dipikir sekarang, tentunya aku merasa malu mengingat betapa aku mengaguminya dulu. Aku tidak tahu bagaimana mulanya, yang jelas dia sering menungguku sehabis bimbingan olimpiade setiap Selasa sore. Rumah aku dan dia searah, jadi kami terbiasa pulang bersama dengan menatap langit sore. Sebenarnya desa kami tidak terlalu kampung, namun tidak cukup besar untuk disebut sebuah kota, mungkin hanya desa kecil di pinggiran kota. Tentunya, banyak angkutan umum yang bisa kami naiki untuk sampai ke rumah, namun baik aku atau dia, sama-sama lebih menyukai berjalan kaki menyusuri trotoar.

Tak sulit bagi kami untuk menemukan topik obrolan, kami menyukai buku, film bahkan komik yang sama, sehingga obrolan kami tak pernah habis. Seringnya kami menikmati momen sampai tidak sadar bahwa rumahku sudah tepat di depan mata. Dia benar-benar teman mengobrol yang menyenangkan, apa mungkin karena itu lah aku menyukai dia?

Setiap kali menatap langit sore, terkadang aku terkenang dia, suaranya, tawanya bahkan candaannya. Saat itu benar-benar waktu yang indah untuk jatuh cinta, seperti dalam novel-novel picisan yang kadangkala aku baca. Namun semuanya berubah, saat kami sudah tidak lagi mengikuti olimpiade.

Kami masih saling menyapa di sekolah, namun rasanya seperti ada yang aneh antar aku dan dia, seperti ada jarak yang sengaja dibuat untuk memisahkan kami. Tapi aku tak pernah ambil pusing, aku masih selalu menyapanya, setiap malam pasti aku selalu mengirimkan banyak video lucu ke dm instagram pribadinya.

Awalnya, dia sering menanggapi dan bersikap ramah seperti biasa, tetapi lama kelamaan dia tak pernah membalas, tak pernah menjawab ketika aku sapa. Mungkinkah dia merasa risih saat itu? Apa mungkin perasaanku begitu terlihat jelas sampai dia mengabaikanku?


Waktu itu akhir Juni, tahun ajaran sekolah baru saja berakhir dan aku resmi naik kelas 12. Seperti kata orang, bangku kelas dua belas adalah masa paling sulit ketika SMA, pasalnya kita harus mulai merencanakan kehidupan setelah sekolah, apakah kuliah atau bekerja? Jika mungkin kuliah, jurusan apa yang aku ingin ambil? Semua pertanyaan itu membebaniku, dan aku selalu mengandai jika aku mendiskusikan hal ini dengan dia, sepertinya semuanya akan terasa mudah. Bagaimanapun dia adalah salah satu sosok pemberi solusi yang murah hati.

Pernah satu kali aku memberanikan diri berbicara padanya di depan perpustakaan sekolah, kebetulan saat itu dia sedang menunggu temannya untuk pergi ke tempat les. Aku tersenyum, menyapanya dengan ramah seperti biasa yang kami lakukan dulu, namun dia membalas masam. Wajahnya sama sekali tak tersenyum dan dia hanya menunduk seolah tidak mau menatapku.

Aku mengambil duduk di sebelahnya, dia sedikit bergeser menjauhiku seolah tak mau berdekatan denganku. Untuk sesaat aku terdiam, memikirkan rangkaian kata yang akan aku ucap padanya. Dalam hati aku sedikit berharap dia menyapaku, setidaknya bertanya kabar untuk sekadar basa-basi seperti dulu. Tapi dia tak mengatakan satu patah kata pun, dia hanya menatap lurus kedepan.

“Hai Di? Apa kabar?” tanyaku agak canggung.
“Baik.” Balasnya tanpa ekspresi.
“Nanti kuliah mau jurusan apa nih?” tanyaku lagi, berusaha mengakrabkan diri.
“Mungkin kedokteran.” Katanya, dia menoleh sedikit padaku. Tatapannya sedikit melunak, tidak sedingin tadi.
“Oh iya, menurut kamu aku pantesnya masuk jurusan apa?” tanyaku lagi
“Ya ga tau, itu kan terserah lo. Kenapa nanya gue?” katanya, dia membalas masam. Sebagian hatiku menahan sakit, mengapa dia bisa sedingin ini?
“Ya aku cuma pengen tahu saran dari kamu aja.” Kataku, dia beranjak dan tak memedulikan kata-kataku barusan. Aku bertanya-tanya mengapa dia bersikap sebegitu dinginnya. Apa yang mengubah kepeduliannya itu?.


Beberapa bulan kemudian, barulah aku tahu alasannya. Dia ternyata sudah memiliki pacar, dan pacarnya itu lah yang memaksanya untuk bersikap dingin padaku. Gadis itu benar-benar takut pacarnya terlalu dekat denganku. Dari saat itu, aku mulai menjauhinya. Sekeras mungkin aku berusaha melupakan dia, tapi tetap saja kadangkala aku meresapi rasa sakit di hati. Cinta tak terbalas memang menyakitkan. Namun, rasa sakit itu tidak selalu tentang kesedihan. Mungkin menyakitkan, tapi dari saat itu aku mulai berusaha memahami diri sampai akhirnya aku berhasil menemukan diriku sendiri.

Dunia terus berputar, tak peduli bahwa aku sedang tak mampu mengimbangi kecepatan rotasinya. Kesulitan akan hidup, kegagalan, dan masih banyak hal menyedihkan lainnya merupakan bumbu kehidupan, tanpa bumbu itu, hidup hanyalah sekadar bernapas, hambar. Itulah yang aku pahami selama hampir seperempat abad menjadi manusia. Rasa sakit akan penolakan secara tidak langsung bertahun-tahun lalu tak ada artinya bagiku sekarang. Aku berpikir bahwa saat itu memang masanya aku merasakan patah hati, layaknya remaja pada umumnya. Jadi, tak sepantasnya aku membenci dia.

Aku menatap undangan yang tergeletak di atas meja. Aldi baru saja mengantarkannya, katanya dia sengaja memberikan undangan pernikahannya secara langsung kepadaku. Aku tersenyum ketika menyambut kedatangannya, dia masih seperti dulu, tidak tampak berbeda sama sekali meskipun badannya bertambah tinggi, dia sudah menjadi dokter sekarang.
“Aku minta maaf sama kamu karena saat itu aku bertingkah gak sopan.” Katanya tulus
“Gak apa-apa lagian itu juga udah lama, btw makasih ya udah ngundang aku.” Kataku, dia tersenyum.
“Iya, jangan lupa dateng ya.” Aku mengangguk, matanya menatapku. Kilasan balik akan masa lalu menyerangku tiba-tiba, aku teringat akan jalan yang biasa aku lewati bersamanya dulu, cerita-ceritanya dan tawanya.

“Aku jadi ingat masa lalu, gimana kalo kita jalan-jalan dulu. Sampe taman depan aja, aku kangen jalan-jalan sama kamu kaya dulu.” Katanya, ternyata dia pun merindukan hal yang sama denganku. Tanpa pikir panjang lagi aku menyutujui ajakannya, kami berjalan berdampingan di bawah langit menuju senja. Setelah sampai di taman, kami duduk di bangku putih menghadap danau buatan. Kami bercerita banyak hal, tentang karir, pekerjaan bahkan film marvel yang baru saja rilis. Bercerita dengannya masih tetap menyenangkan.

Aldi juga menceritakan bahwa dulu dia menjauhiku karena pacarnya terlalu obsesif, awalnya dia mewajari. Namun, lama kelamaan dia muak juga, katanya hubungannya terlalu toxic, pacarnya selalu melarangnya melakukan hal yang dia suka, akhirnya tepat setelah acara perpisahan SMA, Aldi memutuskan gadis itu. Katanya, dia sempat ingin meminta maaf padaku saat itu, dia ingin aku menjadi temannya lagi, dia sempat mengirim pesan teks padaku, tapi aku tak pernah membalas pesannya. Aku meminta maaf, karena aku pikir pesannya tidak sengaja terhapus sebelum aku sempat membacanya.

Aku juga bercerita tentang perasaanku padanya dulu, tentang patah hatiku dan tentang aku yang sekarang. Dia menatapku dan tersenyum, katanya dia merasa senang pernah disukai orang sepertiku. Kemudian, dia bercerita tentang seseorang yang diyakini menjadi masa depannya, seseorang yang namanya tertulis di atas undangan pernikahn yang Aldi berikan padaku, gadis yang bernama Alea. Aku melihatnya, binar mata yang Aldi tunjukan dan senyum manis yang dia tampilkan saat menceritakan Alea benar-benar menghangatkan hatiku, Aldi sudah menemukan kebahagiaannya, bisikku dalam hati.

“Kamu sekarang benar-benar hebat Na, aku selalu berdoa semoga segala hal dilancarkan bagimu, bahkan untuk urusan jodoh sekalipun.” Katanya, aku hanya tertawa tapi mengamini juga doanya, aku benar-benar berpikir bahwa aku tak akan lagi jatuh cinta.

Mungkin aku pernah menyukai Aldi sampai rasanya menyakitkan saat dia menolak secara tidak langsung. Namun, kehidupan terus berjalan, tak mau menunggu kesembuhan lukaku. Awalnya, rasa sakit itu mengganggu, tapi lama kelamaan aku terbiasa dan mampu menerima.

Jika sekarang aku ditanya apakah aku masih mencintai Aldi? Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak. Aldi adalah salah satu orang baik yang pernah aku jumpai, aku masih menyayanginya sampai sekarang, tak peduli bahwa dulu dia pernah mematahkan hatiku. Terkadang aku merindukannya, tapi untuk saat ini aku sudah tidak berambisi untuk didekatnya lagi. Aku hanya ingin menjadi temannya bercerita, layaknya dulu yang sering dia lakukan sepulang sekolah, di bawah langit menuju senja. (*/cerpenku/bua)

- Advertisement -
spot_img
spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img