.
Thursday, November 21, 2024

Aku Memberontak, Maka Aku Ada

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Albert Camus, filosof dan sastrawan kelahiran Aljazair berkebangsaan Prancis namun lebih senang disebut esais, pernah mengalami paradoks kemiskinan, yang ia yakini sebagai ‘kekayaan’ yang tak tergantikan.

“Dahulu sekali, selama delapan hari, pernah aku bermewah-mewah dengan pelbagai hal di dunia ini: tidur tanpa atap, di sebuah pantai, hanya makan buah-buahan, dan menghabiskan separuh waktu dalam air. Saat itulah aku belajar sesuatu yang membuatku menerima—dengan ironi, ketaksabaran, dan terkadang rasa gusar—tempat yang mantap dan nyaman… Aku tak tahu bagaimana memiliki.”—Albert Camus, dalam (Goenawan Mohamad, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, 2021)

Paradoks tersebut didapatkannya setelah melakukan observasi terhadap kenyaatan hidup, yang ternyata kerap kali ditemukan begitu berjarak dengan apa yang dia pikirkan. Permisalan paling enteng soal cita-cita: Berapa banyak manusia yang bercita-cita menjadi dokter namun kenyataan berkata lain, manusia-manusia itu malah menjadi dukun.

Bagi orang yang tidak serius, masalah semacam itu mungkin bisa menemukan solusi dalam waktu 5 menit diskusi. Tetapi Camus melihatnya sebagai masalah besar, yang menunjukkan masalah absurdnya kehidupan. Dari situ, Camus tidak ambil pusing, “yang kongkrit”, terutama, bagi Camus adalah mencakup tubuh “daging.”

Camus menyatakan tubuh adalah “yang konkrit”, karena tubuh yang tidak pernah berjarak dengan pikiran maupun kenyataan. Pikiran yang lapar tidak pernah berbohong kepada tubuh. Rasa lemas sebagai akibat dari lapar tidak pernah membohonginya.

Membunuh Kehidupan

Waktu terus berjalan hinga Le Mythe de Sisyphe, salah satu esai Camus, yang menjelaskan absurdnya hidup, meskipun Camus juga bukanlah yang pertama memberi kesimpulan itu. Jean Wahl, yang menulis Vers Le Concert (1932), sebenarnya telah mengajak warga negerinya merapat ke pandangan metafisika Heidegger—itu sepuluh tahun sebelum esai Camus berjudul Le Mythe de Sisyphe terbit.

Lebih dari paradoks kemiskinan, perpisahan antara kenyataan dan pikiran, Camus ateis sejak muda dan paru-parunya rusak oleh TBC sejak berumur belasan tahun, sehingga membuatnya sadar akan kematian. (Goenawan Mohamad, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, 2021) Karena, “yang konkrit” baginya adalah tubuh.

Mencermati kenyataannya, Camus bertanya-tanya: “Apa aku harus bunuh diri?” Kurang lebih, itu yang dapat digambarkan dari sebagaian esai Le Mythe de Sisyphe karya Camus, yang memperkenalkan filsafat absurdnya untuk mempertanyakan, apakah realisasi tentang yang absurd ini harus dijawab dengan bunuh diri?

Lalu ia memikirkan pertanyaan itu berhari-hari. Walhasil Camus menemukan jawaban: “Yo ndak to, mending ‘ngopi’ saja!” Kira-kira begitu, kalau disesuaikan dalam dialog Indonesia. Itu juga yang ada dalam Le Mythe de Sisyphe, jawaban Camus: “Tidak. Yang dibutuhkan adalah pemberontakan.” Di sini disesuaikan dengan kata ‘ngopi.’

Menurut Camus, manusia tidak dikehendaki mengakhiri hidup lantaran absurdnya kenyataan hidup yang dihadapi. Jangankan bunuh diri dalam pengertian sebenarnya, lari dari kenyataan bagi Camus juga bunuh diri filosofis, karena sama dengan menghentikan, atau membunuh akal rasional. Terlebih, lari dan menyerahkan masalah hidup kepada agama, artinya sama dengan mengkambinghitamkan Tuhan. Dengan demikian seseorang telah membunuh kehidupan.

Kata Camus, tetap memilih hidup akan membuat manusia bangkit, menemukan jawaban absurdnya kehidupan. Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani, yang dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia mendorong batu karang ke puncak gunung, tetapi pada akhirnya batu itu bergulir jatuh kembali.

Esai Le Meythe de Sisyphe karya Camus mengambil mitos tersebut sebagai contoh kenyataan hidup yang tidak mudah dipahami. Camus berkesimpulan bahwa “Perjuangan itu sendiri… Sudah cukup untuk mengisi hati manusia. Kita harus membayangkan bahwa Sisifus berbahagia.”

Apabila dipahami secara kontekstual, mitos itu ibarat “muter-muter”, “mbolak-mbalik” membicarakan, atau mendebatkan ide-ide yang sudah pernah dikonsepsikan pada ribuan tahun lalu, sampai melahirkan mitos Sisifus, yang dialami manusia saat tetap memilih menjalani hidup.   Salah satu alasan “muter-muter”, “mbolak-balik” itu dialami manusia adalah bukan karena ide-ide yang ribuan tahun lalu itu masih relevan sebagai pemecahan masalah di zaman sekarang, tetapi karena kita saja yang tidak naik kelas.

Bangkit dengan Pemberontakan

Maka yang harus dilakukan manusia adalah melakukan “Pemberontakan.” Pemberontakan bagi Camus adalah cara untuk melepaskan diri dari jeratan absurditas yang dialaminya. “I rebel; therefore I exist” (Albert Camus, The Rebel, 1956).

Artinya, aku memberontak; maka aku ada. Boleh jadi pemikiran Camus dipengaruhi eksistensialisme Rene Descartes, “aku berpikir maka aku ada” dari ungkapan Latin “cogito ergo sum.”

Sebab itu, Camus menafsir perilaku pemberontakan sebagai cara untuk menemukan eksistensi diri -agar kenyataan tidak lagi berjarak dengan pikiran. Pemberontakan menjadi suatu penjungkirbalikan yang utuh (Albert Camus, The Rebel, 1956).

Camus mencontohkan pemberontakan seorang budak yang bertindak di bawah ancaman cambuk majikannya (selain mitos Sisifus yang bertugas untuk mendorong batu karang ke atas gunung). Tiba-tiba budak itu berbalik dan menghadapi majikannya. Di situlah ia akan menghadapi apa yang ia kehendaki atau senangi, dan apa yang tidak.

Tujuan pemberontakan Camus adalah menuntut “sesuatu yang telah ia miliki dan telah ia kenal sebelumnya.” Jika pernyataan Camus ini dielaborasi lebih jauh, “sesuatu yang telah ia miliki dan telah ia kenal sebelumnya” adalah jenis perbuatan yang selalu berhubungan dengan nilai-nilai. Sesuatu yang ia kenal sebelumnya, bisa merupakan sesuatu dalam wilayah yang dicita-citakan.

Salah satu contoh yang terdekat dengan kita adalah pemberontakan bangsa Indonesia melawan imperialisme Belanda. Selain memperjuangkan sesuatu yang telah dimiliki sebelumnya—kemerdekaan, juga memperjuangkan nilai-nilai yang dicita-citakan, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 45.

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.…Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…”

Namun, kadang -seperti diungkap Scheler, pemberontakan kerap dikaitkan dengan kemarahan dan dendam. Padahal jauh dari itu, pemberontakan adalah laku terpelajar yang sangat menghormati hak-haknya.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img